
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam panggung politik Indonesia, Presiden Prabowo Subianto tampaknya memutuskan untuk mengubah negara menjadi laboratorium kebijakan, di mana rakyat menjadi kelinci percobaannya. Sejak dilantik, serangkaian kebijakan kontroversial telah diluncurkan, menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat.
Salah satu kebijakan yang menuai kritik tajam adalah pemotongan anggaran sebesar Rp306 triliun melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Pemotongan ini berdampak signifikan pada berbagai sektor vital, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Advertisement
Ironisnya, langkah ini diambil untuk mendanai program ambisius seperti makan siang gratis, yang biayanya mencapai Rp450 triliun per tahun. Akibatnya, proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara terancam mangkrak, dan layanan publik mengalami gangguan serius.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengesahkan undang-undang yang memperluas peran militer dalam pemerintahan sipil. Langkah ini memicu kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi militer ala Orde Baru, yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Protes dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia, pun bermunculan, menyoroti potensi kemunduran demokrasi di Indonesia.
Kebijakan kontroversial lainnya adalah pemblokiran sementara terhadap 122 juta rekening bank yang tidak aktif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Meskipun bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan, langkah ini menimbulkan keresahan di masyarakat dan akhirnya dibatalkan setelah mendapat tekanan publik.
Dalam upaya untuk menunjukkan komitmen terhadap rekonsiliasi nasional, pemerintah juga memberikan grasi kepada ribuan narapidana, termasuk tokoh-tokoh politik dan mantan pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus korupsi.
Meskipun langkah ini dipuji oleh sebagian pihak, banyak yang mempertanyakan motif di balik kebijakan ini dan dampaknya terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan pola pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan kurang mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Alih-alih memperkuat institusi demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, kebijakan-kebijakan ini justru menimbulkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan di masyarakat.
Sebagai warga negara, kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Dalam situasi seperti ini, satire menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan kritik dan membangkitkan kesadaran publik. Dengan menggunakan humor dan ironi, kita dapat menyoroti absurditas kebijakan pemerintah dan mendorong perubahan yang positif. Karena, seperti kata pepatah, "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang."
Kebijakan Berbasis Bukti
Pemerintah harus merumuskan kebijakan dengan pendekatan berbasis bukti yang kuat dan relevan. Hal ini mencakup pelibatan riset ilmiah terpublikasi, data statistik memadai, serta analisis manfaat-biaya yang jernih.
Tanpa fondasi riset yang kredibel, kebijakan berisiko meleset dari realitas dan menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi.
Wajib ada posisi analis kebijakan profesional (JFAK) di tiap kementerian dan lembaga, bertugas menganalisis dampak kebijakan sejak formulasi awal hingga evaluasi pasca-implementasi. Kolaborasi antara pemerintah dan analis publik seperti melalui AAKI dapat memperkuat kualitas, transparansi, dan akuntabilitas kebijakan.
Setiap kebijakan harus melalui tahap konsultasi publik yang terstruktur dan inklusif mulai dari analisis dampak (ex-ante assessment) hingga evaluasi pasca-penerapan (ex-post). Publik harus mendapat akses terhadap dokumen dan data pendukung, serta diberi ruang menyampaikan masukan secara nyata, bukan sekadar formalitas.
Pemerintah perlu menerapkan reformasi regulasi merapikan tumpang tindih aturan, memperkuat sistem regulasi yang koheren, dan menyediakan pelatihan regulasi berbasis biaya-manfaat kepada birokrat. Ini meminimalkan ketidakpastian dan menciptakan landasan hukum yang lebih solid bagi pengembangan kebijakan.
Pemanfaatan data dan teknologi serta penerapan analitik sistem antar-lembaga harus dirancang agar mendukung pengambilan keputusan cepat dan akurat. Implementasi sistem Multi-Level Governance juga penting agar kebijakan menyeluruh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah berasaskan sinergi dan kejelasan peran.
Kebijakan publik harus menerapkan prinsip open government terbuka, akuntabel, dan melibatkan masyarakat sipil. Hal ini mencakup transparansi anggaran, keterlibatan CSO dalam pengawasan, serta sistem pelaporan dan audit yang kuat. Semua ini menumbuhkan kepercayaan publik dan integritas dalam kebijakan negara.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |