
TIMESINDONESIA, BLITAR – Profesi dosen di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh pengakuan dan penghargaan yang layak. Tidak hanya dosen di perguruan tinggi swasta yang kerap kali diabaikan, bahkan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) pun belum mendapatkan penghargaan yang setimpal dari pemerintah.
Ironisnya, pemerintah yang seharusnya menjadi teladan dalam menghargai tenaga pengajar malah menunjukkan sikap yang bertentangan dengan kebijakan yang mereka tetapkan sendiri.
Advertisement
Peraturan yang sudah diterbitkan sebagai bentuk perlindungan dan kompensasi untuk dosen seringkali tidak dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, menunjukkan kurangnya niat dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para pendidik ini.
Ketidakseriusan pemerintah dalam hal ini terlihat jelas dari tiga peraturan penting, yakni Peraturan Presiden No. 65 tahun 2007 tentang Tunjangan Dosen, Peraturan Presiden No. 100 tahun 2012 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Peneliti, serta Peraturan Badan Kepegawaian Negara No. 14 tahun 2022 tentang Kamus Kelas Jabatan di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Ketiga peraturan tersebut seharusnya menjadi landasan bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan dosen, namun kenyataannya jauh dari harapan. Kompensasi yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang telah diatur, menggambarkan kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan.
Kesenjangan nyata antara regulasi dan implementasi tunjangan untuk profesi dosen dan peneliti di Indonesia mengungkap fakta yang mengejutkan. Peraturan Presiden No. 65 tahun 2007 yang mengatur tunjangan dosen menetapkan besaran penghasilan tambahan mulai dari Rp 375.000 hingga Rp 1.350.000. Ironisnya, aturan ini tidak mengalami revisi selama 18 tahun, sehingga nilai tunjangan tersebut kian tertinggal dari perkembangan kebutuhan hidup.
Sementara itu, Peraturan Presiden No. 100 tahun 2012 tentang Jabatan Fungsional Peneliti menetapkan tunjangan jauh lebih tinggi, berkisar antara Rp 1.100.000 hingga Rp 5.200.000.
Lebih menarik lagi, apabila dibandingkan dengan Peraturan Badan Kepegawaian Negara No. 14 Tahun 2022, nilai jabatan peneliti berada di kisaran 1.280 sampai 3.010, sedangkan nilai jabatan dosen berada di kisaran yang lebih tinggi, yaitu 1.355 sampai 3.455.
Artinya jika dikonversi secara rupiah, setiap poin nilai jabatan peneliti setara dengan Rp 859 sampai Rp 1.728, sedangkan setiap poin nilai dosen dihargai jauh lebih rendah yaitu hanya Rp 277 sampai Rp 391.
Perbedaan ini sangat mencolok mengingat beban tugas dosen jauh lebih kompleks dan berat daripada peneliti karena mereka harus melaksanakan tiga fungsi sekaligus: pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat.
Kesenjangan tajam ini menimbulkan ketidakadilan dan mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap profesi dosen, yang sejatinya adalah pilar utama pembangunan sumber daya manusia bangsa.
Fakta ini harus membuka mata publik agar tuntutan perbaikan kesejahteraan dosen mendapat tempat yang layak dalam agenda nasional. Kesejahteraan dosen bukan hanya soal angka tunjangan, melainkan penghargaan atas peran strategis mereka dalam mencetak generasi masa depan.
Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung dan pendukung yang serius, bukan hanya sekedar pembuat regulasi yang tidak dijalankan secara konsisten.
Melihat fakta yang terungkap, pemerintah seharusnya segera menghentikan penundaan revisi tunjangan jabatan fungsional dosen yang sudah mandek selama 18 tahun.
Dosen bukan hanya pengajar, melainkan pilar utama pembangunan sumber daya manusia yang berhak mendapatkan penghidupan dan penghargaan yang layak. Ketidakadilan ini mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan tinggi di Indonesia.
Sudah saatnya negara menunjukkan keseriusan melalui kebijakan konkret yang menghargai kontribusi dosen secara adil, bukan sekadar janji tanpa tindakan. Publik harus sadar bahwa kemajuan pendidikan sejati dimulai dari keadilan dan kesejahteraan para pendidik negeri ini.
***
*) Oleh : Adiguna S. W. Utama, S.Si., MBA., Dosen Lektor/Assistant Professor Operasionalisasi Perkantoran Digital (OPD) Akademi Komunitas Negeri Putra Sang Fajar Blitar.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |