Kopi TIMES

Tafsir Filosofis Merah Putih di Era Krisis Moral

Selasa, 12 Agustus 2025 - 16:15 | 9.04k
Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.
Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Menjelang ulang tahun kemerdekaan ke-80, Merah Putih, dua pita warna yang sederhana namun sarat makna, seharusnya menjadi cermin obyektif bagi kondisi moral dan politik bangsa Indonesia. 

Bendera itu bukan sekadar atribut upacara; ia merangkum janji historis: keberanian (merah) dan kesucian/ketulusan (putih), simbol tubuh dan jiwa yang saling melengkapi, warisan sejarah yang ditarik dari panji-panji Nusantara dan dikokohkan sebagai identitas negara modern. 

Advertisement

Pemaknaan resmi dan historis ini merujuk pada tradisi dan keputusan kenegaraan yang menempatkan Sang Saka sebagai lambang kedaulatan dan kehormatan bangsa.

Namun ketika filosofi simbolik itu dipertemukan dengan realitas empiris hari ini, keretakan menjadi jelas. Pancasila, sebagai dasar negara yang menyusun nilai-nilai normatif (Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial), mestinya menjadi perangkat institusional yang menerjemahkan makna bendera ke praktik kenegaraan. 

Kenyataannya, sejumlah indikator menunjukkan bahwa janji-janji tersebut kerap dilanggar atau tidak dipraktikkan secara konsisten. Menurut data terbaru (CPI 2024 yang dirilis Februari 2025), skor CPI (Corruption Perceptions Index) Indonesia meningkat dari 34 menjadi 37, dengan peringkat naik dari 115 ke 99 dari total 180 negara. 

Itu artinya, Indonesia tercatat dengan skor indeks persepsi korupsi yang relatif rendah, sebuah sinyal bahwa integritas publik rapuh dan praktik-praktik koruptif masih merongrong kepercayaan publik terhadap negara.

Lebih dari sekadar angka, pelanggaran HAM dan intoleransi berulang menodai klaim kesucian dan kemanusiaan. Komnas HAM pada catatan akhir tahun melaporkan ribuan pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi yang diterima selama setahun terakhir, sebuah akumulasi kasus yang tidak bisa dipandang sepele ketika dikontekskan dalam wacana kegagalan perlindungan warga negara. 

Data konkret ini memperlihatkan bahwa retorika Pancasila tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab” belum sepenuhnya terealisasi dalam praktik penegakan hak asasi.

Sementara itu, fenomena intoleransi beragama dan regulasi diskriminatif menunjukkan bahwa sila pertama dan kedua Pancasila mendapat tekanan yang nyata: kelompok minoritas mengalami kebijakan dan praktik yang mengekang kebebasan beragama dan berekspresi, serta potensi kriminalisasi atas perbedaan. 

Laporan organisasi hak asasi internasional memetakan pola-pola regulasi dan tindakan yang membatasi ruang kebebasan beragama dan ekspresi agama minoritas, isu yang secara langsung bertabrakan dengan nilai-nilai Pancasila.

Kerangka teoretis membantu kita memahami mengapa simbol semacam bendera dapat kehilangan substansinya ketika institusi gagal? Benedict Anderson menyajikan gagasan penting bahwa bangsa adalah “komunitas yang dibayangkan”: simbol, narasi, dan praktik publik (termasuk upacara kebangsaan) membentuk rasa kebersamaan yang memungkinkan wacana kenegaraan bertahan. 

Bila narasi itu tercemar oleh praktik korupsi, pelanggaran HAM, atau pembungkaman publik, imajinasi kolektif menjadi rapuh, lambang tetap ada, tetapi maknanya terdegradasi. Jurgen Habermas selanjutnya menyoroti pentingnya ruang publik deliberatif yang sehat agar norma-norma demokrasi dapat dirumuskan dan diawasi publik; ketika ruang ini mengalami kemunduran.

Misalnya karena tekanan terhadap kebebasan pers dan pengaruh oligarki ekonomi, maka legitimasi simbol-simbol kenegaraan melemah karena tidak ada mekanisme deliberatif yang menautkan simbol ke akuntabilitas nyata. 

Dari perspektif Hegelian, negara berfungsi sebagai wujud realisasi kemerdekaan etis; kegagalan institusi hukum dan penegakan hak sama artinya dengan gagalnya negara mengaktualkan etika kolektif yang diwakili oleh bendera. 

Bendera Merah Putih, sebagai simbol visual, memadatkan identitas bangsa dalam dua warna sederhana namun sarat makna. Merah melambangkan keberanian, putih kesucian; keduanya bukan sekadar estetika, melainkan nilai moral yang seharusnya menjadi ruh kehidupan bernegara. 

Dalam pandangan Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, makhluk yang membangun dunia melalui simbol. Bendera, dalam kerangka ini, adalah bahasa simbolik yang mengikat komunitas dalam narasi bersama. Ketika narasi itu dikhianati oleh korupsi, ketidakadilan, dan intoleransi, makna simbolik melemah, dan bendera berubah menjadi tanda tanpa daya ikat moral. 

Hannah Arendt menekankan bahwa simbol politik hanya hidup bila didukung oleh vita activa,  partisipasi aktif warga dalam ruang publik. Jika warga teralienasi dari proses politik atau diam di hadapan pelanggaran Pancasila, maka simbol kehilangan fungsinya sebagai pemanggil keberanian kolektif. 

Sementara itu, menurut Paul Tillich seorang filsuf dan teolog yang banyak berbicara tentang simbol dan makna dalam kehidupan manusia, simbol sejati bukan hanya menunjuk pada sesuatu, tetapi ikut menghadirkan realitas yang dilambangkannya. 

Merah Putih seharusnya menghadirkan keberanian untuk menegakkan keadilan dan kesucian hati dalam tindakan nyata; ketika yang hadir justru ketakutan dan kepentingan sempit, simbol itu menjadi hampa. 

Jacques Derrida mengingatkan tentang differance, jarak antara tanda dan maknanya; jarak ini membesar ketika nilai-nilai bendera tidak terwujud dalam perilaku negara dan masyarakat, menciptakan ketegangan antara citra visual dan realitas sosial. 

Dalam kerangka komunikasi, kekuatan bendera bukan hanya pada desain, tetapi pada kredibilitas moral yang diasosiasikan dengannya. Krisis terjadi ketika bentuk bertahan, tetapi makna runtuh. Maka refleksi yang mendesak adalah: bagaimana mengembalikan bendera sebagai simbol yang menghadirkan kembali keberanian dan kesucian dalam praktik berbangsa, bukan sekadar artefak yang dikibarkan setiap Agustus namun diabaikan maknanya sepanjang tahun.

Dampak pelanggaran nilai-nilai filosofis bendera ini bersifat multi-dimensi. Internally, legitimasi simbol negara melemah: warga merasa jarak antara simbol (keberanian dan kesucian) dan pengalaman sehari-hari (korupsi, ketidakadilan) semakin besar, hal ini berpotensi mengikis rasa kebersamaan dan loyalitas sipil. 

Eksternalnya, indeks persepsi korupsi yang buruk dan kemunduran kebebasan pers mengirim sinyal kuat ke komunitas internasional bahwa komitmen Indonesia terhadap tata kelola yang baik dan hak asasi tidak sepenuhnya stabil, yang pada gilirannya memengaruhi reputasi diplomatik, minat investasi jangka panjang, dan posisi tawar menawar nilai negara di forum global. 

Laporan global tentang kebebasan pers dan indeks integritas memberi cermin tentang bagaimana dunia melihat kredibilitas negara yang menegakkan simbol, namun belum konsisten menegakkan norma. 

Apa solusi yang sesuai agar makna filosofis bendera dapat direstorasi menjadi kenyataan politis? Pendekatannya harus simultan: normatif, institusional, dan kultural. 

Pertama, penguatan institusi penegak hukum yang independen dan transparan, termasuk reformasi yang meningkatkan akuntabilitas birokrasi dan peradilan adalah langkah praktis untuk menuntaskan jarak antara simbol dan praktik. 

Kedua, kebebasan pers dan ruang publik harus dilindungi secara nyata: reformasi regulasi yang mengurangi campur tangan politik dalam media, serta dukungan terhadap media independen dan jurnalisme investigatif, akan menegakkan mekanisme kontrol sosial yang vital dalam demokrasi deliberatif. 

Ketiga, pendidikan kewarganegaraan yang serius dan sistematis yang mengajarkan tidak hanya hafalan sila-sila, tetapi juga kemampuan kritis, etika publik, dan pemahaman sejarah simbol akan merevitalisasi pemaknaan kolektif terhadap merah-putih di generasi berikutnya. 

Keempat, kebijakan inklusif yang menanggapi intoleransi dan diskriminasi perlu dijalankan, termasuk revisi regulasi yang rentan disalahgunakan untuk menekan kebebasan beragama dan ekspresi; perlindungan hak minoritas harus dipandang sebagai implementasi konkret sila kedua Pancasila. 

Keberhasilan langkah-langkah ini hanya mungkin bila ada kerja sama antara negara, masyarakat sipil, dan aktor internasional yang mendorong standar hak asasi dan tata kelola. Rekomendasi ini selaras dengan pemahaman tentang pentingnya ruang publik dan akuntabilitas institusional menurut Habermas dan Hegelian idea of ethical state.

Merah Putih adalah janji, bukan sekadar kain. Mempertahankan keluhuran makna bendera berarti menegakkan janji-janji Pancasila dalam praktik harian: penegakan hukum yang adil, penghormatan pada hak asasi, pengurangan korupsi, dan ruang publik yang hidup. 

Jika bangsa ingin agar bendera itu tetap berbicara dengan kredibilitas di hadapan masyarakatnya dan dunia, maka persemakmuran simbolik mesti diikuti oleh rekonstruksi etika publik yang nyata. 

80 tahun merdeka adalah momen refleksi; bukan sekadar perayaan estetis, tetapi panggilan untuk mempertemukan kembali “merah” dan “putih”, sebuah keberanian untuk memperbaiki, dan kesucian untuk menegakkan keadilan.

***

*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES