
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Betapa krusialnya memahami hubungan antara negara, moral pajak, dan legitimasi publik. Peristiwa ini menggarisbawahi perlunya peta jalan konseptual yang mampu menjelaskan bagaimana kebijakan pajak seharusnya dibangun di atas kepercayaan, transparansi, dan timbal balik yang adil antara pemerintah dan warga negara.
Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di beberapa daerah, menuai penolakan dan gejolak masyarakat. Secara teori, pajak properti ini adalah instrumen efektif untuk memperkuat PAD dan mendorong akuntabilitas jika dikelola transparan serta berbasis kontrak sosial fiskal (pajak yang dibayarkan masyarakat dipertukarkan dengan layanan publik, perlindungan).
Advertisement
Namun, dalam kasus ini, relasi sehat antara pembayar pajak dan pemerintah kabur akibat framing informasi yang bias. Pemerintah daerah membantah adanya kenaikan sambil memobilisasi aparaturnya juga kepala desa untuk mendukung narasi resmi, meski revisi raperda telah disahkan. Seperti Forum publik bertajuk “Benarkah Pajak Naik?” justru mengalihkan fokus dari substansi ke angka, dengan audiens yang didominasi unsur pemerintah.
Praktik seperti ini, menurut prinsip good governance, menggerus transparansi dan partisipasi publik, menggantinya dengan legitimasi semu. Masalah utama bukan sekadar besaran tarif, melainkan legitimasi proses pengambilan kebijakan.
Tanpa keterbukaan dan dialog sejati, pajak yang seharusnya menjadi kontrak sosial berubah menjadi beban politik yang merusak kepercayaan masyarakat.
Pertanyaan tentang bagaimana negara bekerja merupakan salah satu isu paling mendasar dalam ilmu sosial. Para ilmuwan menekankan bahwa memahami hubungan antara negara, redistribusi, dan layanan publik adalah kunci untuk menjelaskan mengapa pajak dipungut, bagaimana sumber daya digunakan, dan sejauh mana legitimasi publik dapat terbentuk.
Dalam literatur, terdapat tiga pemikiran utama yang saling bersaing: state-autonomy, state-capture, dan fiscal contract. Ketiganya menawarkan kerangka berbeda tentang siapa yang mengendalikan negara, bagaimana pajak dipungut, dan bagaimana manfaat publik didistribusikan.
Paradigma pertama, state-autonomy (negara otonom), memandang negara sebagai entitas yang memiliki kekuasaan koersif cukup kuat untuk bertindak secara independen dari tekanan sosial.
Dalam pandangan ini, kepatuhan pajak lahir karena paksaan masyarakat membayar pajak karena mereka harus, bukan karena mereka ingin. Pendapatan pajak dan pengeluaran publik dilihat sebagai proses terpisah, tanpa hubungan timbal balik yang jelas.
Pemikiran ini memiliki dua varian utama: versi public finance klasik yang mengasumsikan pejabat negara adalah “penjaga yang bijak” yang mengutamakan kesejahteraan publik sehingga lebih banyak pajak berarti lebih banyak layanan; dan versi public choice yang justru melihat pejabat negara sebagai “predator rasional” yang memaksimalkan keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dalam kedua varian, rakyat tetap berada dalam posisi pasif, sementara negara memegang kendali penuh.
Pemikiran kedua, state-capture (penangkapan negara), menolak anggapan bahwa negara memiliki kepentingan mandiri. Sebaliknya, negara dipandang sebagai instrumen kelompok-kelompok kuat entah itu oligarki ekonomi, kelas dominan, atau partai politik yang memanfaatkan kebijakan publik untuk mengalirkan sumber daya kepada dirinya sendiri.
Dalam model ini, kebijakan pajak dan belanja publik adalah cerminan dari keseimbangan kekuatan antar kelompok kepentingan. Teori ini mencakup versi Marxian yang melihat negara sebagai alat kelas borjuis untuk mempertahankan ketimpangan.
Versi populis yang menggambarkan negara sebagai alat kelas bawah untuk mengeksploitasi kelas atas, hingga model interest group yang menyoroti peran kelompok terorganisir dalam “memerah” kelompok yang tidak terorganisir.
Kepatuhan pajak di sini tetap dipahami sebagai akibat dari paksaan, namun arah penggunaan pajak ditentukan oleh siapa yang sedang berkuasa dan mampu memengaruhi negara.
Paradigma ketiga, fiscal contract (kontrak fiskal), menawarkan pendekatan yang berbeda secara mendasar. Di sini, pajak tidak hanya dilihat sebagai kewajiban yang dipaksakan, tetapi sebagai bagian dari kontrak timbal balik antara negara dan warga negara.
Konsep ini menekankan bahwa pemungutan pajak selalu memiliki biaya negara perlu membangun birokrasi, melakukan pengawasan, dan memberikan sanksi kepada yang lalai.
Semakin tinggi biaya pemaksaan, semakin besar insentif bagi negara untuk mengurangi beban itu melalui pertukaran: memberikan layanan publik yang bernilai, membuka ruang partisipasi dalam perumusan kebijakan, dan membangun kepercayaan.
Dalam model ini, kepatuhan pajak yang ideal adalah kepatuhan sukarela yang muncul karena warga merasakan manfaat yang sepadan dengan beban pajak yang mereka bayar. Ini adalah bentuk tertinggi legitimasi fiskal.
Dalam kerangka Prisoner’s Dilemma yang digunakan Jeffrey F. Timmons, hubungan antara negara dan warga negara dalam perpajakan dapat digambarkan melalui empat kemungkinan.
Pertama, Comply, Trade mencerminkan kondisi ideal kontrak fiskal, di mana warga membayar pajak secara sukarela karena negara memberikan layanan publik yang memadai dan sepadan dengan beban yang ditanggung.
Kedua, Comply, Coerce menggambarkan situasi ketika warga tetap patuh membayar pajak, tetapi negara tidak memberikan layanan setimpal, sehingga negara berperan layaknya entitas otonom yang cenderung eksploitatif.
Ketiga, Comply, Trade terjadi saat warga tidak patuh membayar pajak, namun negara tetap memberikan manfaat publik, biasanya karena mengandalkan sumber pendanaan eksternal seperti utang atau pendapatan non-pajak.
Keempat, Comply, Coerce adalah kondisi terburuk, di mana warga berusaha menghindari pajak dan negara merespons dengan paksaan, yang justru menimbulkan biaya penegakan tinggi dan efektivitas rendah, serta merusak kepercayaan publik.
Dalam konteks Indonesia, ketiga paradigma ini tampak saling tumpang tindih. Kenaikan PBB P2 yang memicu demonstrasi di berbagai daerah menunjukkan sisi state-autonomy negara memutuskan kebijakan fiskal tanpa konsultasi publik yang memadai, sambil menegaskan legitimasi kebijakannya lewat retorika dan framing media.
Di sisi lain, kekecewaan masyarakat terhadap minimnya kontribusi industri besar terhadap PAD mencerminkan state-capture di mana kebijakan fiskal tampak lebih menguntungkan kelompok ekonomi kuat ketimbang publik luas.
Meski demikian, potensi menuju fiscal contract tetap terbuka, jika pemerintah mampu mengaitkan setiap kebijakan pajak dengan manfaat publik yang jelas, transparan, dan dapat diukur.
***
*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si., Ketua Yayasan Pendidikam Muslimat NU Banyuwangi, dan Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |