Kopi TIMES

Asketisme dan Ortodoksi dalam Pusaran Sejarah Jawa

Senin, 18 Agustus 2025 - 19:31 | 4.21k
Fikri Mahbub, Pengamat Sosial Budaya.
Fikri Mahbub, Pengamat Sosial Budaya.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Domestikasi peran perempuan dalam kebudayaan Nusantara menjadi epos yang tiada habis mengambil diskursus tersendiri. Dalam pemahaman masyarakat awam, perempuan diberikan tempat sebagai Konco Wingking (teman belakang) atau peran kelas kedua dalam tatanan sosial masyarakat.

Kendati demikian, sejarah kemudian banyak mencatat perempuan dengan keistimewaan khusus yang mendobrak kemapanan ruang publik yang penuh dengan imajinasi Patriarkal.

Advertisement

Perdebatan peran kelas sosial itu lantas di kemudian hari memunculkan salah seorang ratu yang melegenda di era kolonial Portugis. Namanya tersohor sebagai Putri Raja Demak, Sultan Trenggana dan dijuluki De Krange Dame.

Di kemudian hari nama itu menjadi cerita epik di beberapa naskah kuno Jawa. Perempuan itu Kanjeng Ratu Kalinyamat yang dikenal karena Tapa Wuda Asinjang Rikma.

Perempuan bernama asli Ratna Kencana tersebut menempuh banyak lelaku kehidupan termasuk pengalaman spiritualitasnya yang menyedot perhatian banyak kalangan.

Perannya dalam Tapa Wuda Asinjang Rikma di luar pembahasan simbolik atau nyata, tetap memantik multi interpretasi bagi banyak intelektual muslim. Kaum intelektualis kemudian melabeli kehidupan sang Ratu dengan pola keagamaan asketis sejak kehilangan Pangeran Hadiri yang berselisih dengan Arya Penangsang dan orang-orang Jipang. Meski dalam aspek ekonomi, masyarakat Jepara kala itu memasuki era puncak kejayaan.

Sebagian pendapat, fragmen Tapa Wudanya Ratu Kalinyamat tidak tepat jika dimaknai secara literal seperti halnya khalayak awam.

Intelektualis aliran kontekstual cenderung memaknai Tapa Wuda memiliki pengertian meninggalkan segala bentuk urusan keduniaan dan melepaskan kebesaran mahkota sebagai Ratu lalu menyendiri ke gunung Danaraja.

Pergolakan cerita sang Ratu dengan penguasa Jipang seperti mempertemukan antara asketisme dan ortodoksi. Setidaknya itu konflik sosial yang terjadi saat permulaan Islam berkembang di tanah Jawa.

Cerita lain dibawakan oleh Among Raga, seorang aristokrat yang tidak ditakdirkan duduk dalam istana megah kerajaan. Among Raga tak bisa menjadi Raja di kedatonnya, Giri Kedaton, lantaran telah luluh lantak oleh kekuasaan Mataram Islam pada masa kepemimpinan Sultan Agung. Lelaki berlabel pangeran itu berjalan menjadi pengembara atau santri dari satu padepokan ke padepokan lain.

Akibat dari pengembaraannya, Among Raga lantas menjadi seorang yang sangat menguasai ilmu keislamaman. Dia memegang teguh ortodoksi Islam yang kemudian direstui oleh Ki Baji Panurta menikah dengan putrinya, Ken Tambang Raras.

Among Raga, dalam Serat Centini seperti digambarkan sebagai pengembara yang haus ilmu. Dia dideskripsikan sedemikian lantaran pengembaraannya kembali ia dijalani meski sudah beristri. Sarengat, kata Among Raga, tak cukup jika ingin mencapai kesempurnaan hidup.

Dalam khazanah keislaman, setidaknya terdapat 4 tahapan untuk sampai di level sempurna. Sarengat, Tarekat, Hakekat, dan Makrifat. Dengan alasan itu ia kembali mengembara.

Relevansi Serat Centini yang menceritakan Among Raga dalam kehidupan beragama masyarakat Jawa hingga kini begitu dirasakan. Hikayatnya mengingatkan pada Syaikh Siti Jenar yang mengusung pola keagamaan asketis.

Akhir ceritanya juga memiliki kesamaan, dieksekusi mati oleh raja yang berkuasa pada masanya masing-masing lantaran dianggap melenceng dari pemahaman fundamental agama. Pola ini lestari dalam ingatan masyarakat Jawa.

Dalam pusaran masyarakat bawah, Asketisme dan Ortodoksi tak pernah benar-benar menjadi perseteruan nyata dalam kehidupan manusianya. Keduanya hanya berseteru bagi pegiat asketis dan ortodoksi yang dibawa oleh penguasa.

***

*) Oleh : Fikri Mahbub, Pengamat Sosial Budaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

__________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES