Kopi TIMES

Payment ID, Solusi dari Wujud Rupiah Digital

Selasa, 19 Agustus 2025 - 11:56 | 11.12k
Rusydi Umar, Dosen Fakultas Teknologi Industri UAD, Investor Saham dan Cryptocurrency.
Rusydi Umar, Dosen Fakultas Teknologi Industri UAD, Investor Saham dan Cryptocurrency.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Transformasi keuangan digital di Indonesia bergerak cepat. Hampir semua lapisan masyarakat kini terbiasa dengan transaksi non-tunai: dari belanja di marketplace, membayar tagihan listrik, hingga membeli segelas kopi susu di warung dekat rumah.

QRIS, e-wallet, dan mobile banking telah menjadi bagian dari keseharian kita. Namun, di balik kemudahan itu, ada tantangan besar: bagaimana memastikan setiap aliran uang digital dapat tercatat dan diawasi dengan baik?

Advertisement

Di sinilah gagasan Payment ID muncul. Payment ID dirancang sebagai nomor identitas unik yang melekat pada setiap pengguna sistem pembayaran digital di Indonesia.

Dengan sistem ini, transaksi apa pun entah lewat mobile banking, dompet digital, atau kartu debit bisa dilacak dengan satu identitas yang seragam. Ibarat nomor ponsel yang memudahkan komunikasi lintas operator, Payment ID berfungsi sebagai “nomor induk” untuk memetakan arus uang nasional.

Bagi pemerintah, Payment ID menawarkan sejumlah manfaat. Pertama, transparansi: aliran dana digital dapat dipantau lebih rapi, sehingga upaya melawan pencucian uang atau pendanaan terlarang menjadi lebih efektif.

Kedua, efisiensi regulasi: dengan satu sistem terpusat, Bank Indonesia dan OJK bisa lebih mudah menyusun kebijakan berbasis data riil.

Ketiga, potensi pajak: sektor ekonomi informal yang sebelumnya sulit terjangkau bisa lebih terbuka jika sebagian transaksinya mulai terdigitalisasi.

Namun, harus diakui bahwa Payment ID bukan solusi akhir. Selama uang tunai masih beredar luas, manfaatnya bagi negara tetap terbatas. Seorang pedagang pasar bisa saja menerima Rp100 ribu cash dari pembeli tanpa pernah menyentuh Payment ID.

Suap, gratifikasi, hingga transaksi “di bawah meja” masih bisa berlangsung dengan uang kertas. Dalam konteks ini, Payment ID hanya bisa menjangkau transaksi non-cash sementara ruang gelap ekonomi tunai tetap eksis.

Di sinilah letak perbedaan fundamental dengan Rupiah Digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang tengah dikembangkan Bank Indonesia lewat Proyek Garuda.

Jika Rupiah Digital terwujud, maka setiap orang, bahkan anak sekolah sekalipun, bisa punya dompet digital resmi yang langsung terhubung dengan sistem BI.

Setiap rupiah akan tercatat di ledger bank sentral, sehingga nyaris tidak ada ruang transaksi yang luput dari pantauan. Bandingkan dengan Payment ID yang masih menyisakan “blind spot” besar selama cash beredar.

Mengapa kemudian pemerintah meluncurkan Payment ID terlebih dahulu? Jawabannya sederhana: CBDC belum siap sepenuhnya. Membangun Rupiah Digital butuh waktu panjang, baik dari sisi desain teknologi, kesiapan infrastruktur, maupun literasi masyarakat.

Sementara itu, kebutuhan akan sistem identifikasi transaksi digital sudah mendesak. Maka, Payment ID bisa dianggap sebagai jembatan sementara: sebuah solusi transisi untuk meningkatkan keterlacakan transaksi sebelum Rupiah Digital matang.

Meski begitu, implementasi Payment ID tidak tanpa tantangan. Dari sisi teknis, semua aplikasi pembayaran, baik mobile banking maupun e-wallet, harus mengintegrasikan sistem baru ini. Itu berarti jutaan pengguna perlu memperbarui aplikasi mereka, sementara server pusat harus siap menampung miliaran transaksi per hari.

Dari sisi sosial, masyarakat perlu diyakinkan bahwa Payment ID tidak akan membahayakan privasi mereka. Kekhawatiran bahwa “setiap jajan bakso pun bisa dilihat negara” harus dijawab dengan edukasi dan regulasi yang transparan.

Lalu, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi Payment ID? Menurut saya, langkah ini patut didukung sepanjang tujuannya jelas: meningkatkan efisiensi dan keamanan sistem keuangan nasional.

Publik juga berhak menuntut jaminan privasi serta akuntabilitas pengelolaan data. Jika Payment ID hanya menjadi pintu masuk menuju sistem yang lebih matang seperti Rupiah Digital, maka transisi ini bisa dimaknai sebagai bagian dari perjalanan panjang kita menuju cashless society.

Ke depan, pertanyaan yang lebih besar menanti: apakah Indonesia siap benar-benar meninggalkan uang tunai? Di satu sisi, cash memberikan kebebasan dan privasi; di sisi lain, digitalisasi uang menjanjikan efisiensi dan transparansi.

Payment ID hanyalah awal dari perdebatan itu. Dan sebagaimana kisah uang yang selalu berevolusi, pada akhirnya masyarakatlah yang akan menentukan bentuk dan arah transformasi keuangan di masa depan. (*)

***

*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen Fakultas Teknologi Industri UAD, Investor Saham dan Cryptocurrency.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES