Kopi TIMES

Paradoks Pajak di Banyuwangi

Selasa, 19 Agustus 2025 - 12:34 | 12.74k
Dr. M.Iqbal Fardian, SE, M.Si., Pemerhati  Kebijakan Publik.
Dr. M.Iqbal Fardian, SE, M.Si., Pemerhati  Kebijakan Publik.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Dalam tulisan saya sebelumnya, persoalan kenaikan PBB-P2 dianalisis dari sudut ekonomi makro. Di Banyuwangi, PBB-P2 merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang paling stabil. 

Stabilitas ini penting, dalam teori stabilization function kebijakan fiskal (Musgrave, 1959), pajak yang relatif tidak berfluktuasi dapat membantu pemerintah menjaga kesinambungan program pembangunan, bahkan ketika sektor lain mengalami kelesuan. Dengan demikian, dari perspektif ekonomi makro, PBB-P2 berperan sebagai jangkar fiskal daerah.

Advertisement

Namun, dalam tulisan ini saya mencoba melangkah lebih jauh: mengkaji isu PBB-P2 bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sudut filsafat ilmu, terutama melalui tiga teori kebenaran: koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. 

Hal ini penting, sebab sebuah kebijakan publik tidak hanya dituntut benar secara fiskal, tetapi juga harus benar secara filosofis. Koherensi menuntut konsistensi antarpernyataan, korespondensi menuntut kesesuaian klaim dengan realitas, dan pragmatisme menuntut manfaat praktis yang bisa dirasakan masyarakat.

Jika aspek-aspek filosofis ini diabaikan, kebijakan yang secara teknokratis benar bisa kehilangan logika kebenarannya di mata publik. Pemerintah mungkin melihat PBB-P2 sebagai sumber PAD yang stabil, tetapi warga bisa melihatnya sebagai beban yang paradoksal jika klaim pemerintah tidak konsisten, tidak sesuai realitas, dan tidak membawa manfaat praktis. 

Maka, memperhatikan aspek filosofis ini bukan sekadar tambahan remeh, melainkan prasyarat agar kebijakan publik tidak kehilangan legitimasinya.

Dalam filsafat ilmu, kebenaran dapat diuji melalui tiga teori utama: koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Masing-masing memberi perspektif berbeda, tetapi semuanya menuntut konsistensi antara klaim, realitas, dan manfaat praktis. 

Kasus penerapan single tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Banyuwangi memberi ruang yang menarik untuk menguji kebijakan publik dengan tiga teori kebenaran tersebut.

Teori koherensi menyatakan bahwa kebenaran lahir dari konsistensi logis antarpernyataan dalam satu sistem pemikiran yang utuh (Rescher, 1973; Blanshard, 1939). Sementara itu, teori korespondensi menekankan bahwa suatu pernyataan benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas (Aristoteles, Metaphysics; Tarski, 1944). 

Adapun teori pragmatisme, seperti dirumuskan oleh William James (1907) dan Charles S. Peirce (1878), menilai kebenaran dari manfaat praktisnya: suatu klaim benar jika bekerja dalam praktik dan menghasilkan konsekuensi positif.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menegaskan bahwa penerapan sistem tarif tunggal tidak akan menimbulkan kenaikan pajak. Namun keresahan publik muncul karena logika tarif tunggal membuka ruang kenaikan beban pajak, terutama bagi kelompok masyarakat tertentu. 

Kontradiksi ini semakin jelas ketika Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/4528/SJ tertanggal 14 Agustus 2025 tentang Penyesuaian Penetapan Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Surat edaran tersebut menegaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan pajak daerah, kepala daerah harus memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 

Bahkan secara eksplisit, Bupati/Wali Kota dapat menunda atau mencabut Peraturan Kepala Daerah terkait kenaikan tarif dan/atau kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB-P2 bila kenaikan itu memberatkan masyarakat, dengan memberlakukan kembali peraturan tahun sebelumnya.

Dari sisi koherensi, kebijakan ini runtuh. Bila benar tidak ada kenaikan pajak, mengapa pemerintah pusat memberi ruang untuk penundaan? Penundaan hanya masuk akal jika memang ada kenaikan yang dianggap memberatkan. Klaim pemerintah daerah tidak konsisten dengan kebijakan pusat.

Dari sisi korespondensi, klaim “tidak ada kenaikan” juga gagal. Fakta di lapangan menunjukkan keresahan warga, terutama kelompok menengah-bawah, yang merasakan potensi beban lebih besar akibat single tarif. Menurut teori korespondensi, klaim yang tidak sesuai dengan realitas sosial tidak dapat disebut benar.

Dari sisi pragmatisme, klaim pemerintah juga gagal. Pernyataan “tidak ada kenaikan” tidak menghasilkan konsekuensi positif, melainkan menimbulkan kebingungan dan resistensi sosial. 

Klaim yang benar secara pragmatis seharusnya bekerja dalam praktik: misalnya, jujur mengakui ada kenaikan, lalu menghadirkan stimulus korektif berupa penundaan, keringanan, atau pengecualian, sehingga kebijakan tetap bisa diterima masyarakat.

Analogi sederhana bisa dilihat pada kebijakan harga BBM. Pemerintah sering secara terbuka menyampaikan bahwa harga BBM naik karena faktor global. Namun untuk mencegah gejolak sosial, pemerintah memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada kelompok miskin. Dengan cara itu, klaim pemerintah memenuhi koherensi (logis), korespondensi (sesuai fakta), dan pragmatisme (bermanfaat praktis).

Lebih jauh, penolakan sebagian warga Banyuwangi terhadap single tarif harus dipahami dalam kerangka teori Public Choice. Teori ini memandang masyarakat sebagai aktor rasional yang berusaha menegosiasikan kepentingannya dalam arena kebijakan publik (Buchanan & Tullock, 1962). 

Penolakan bukan berarti rakyat enggan membayar pajak, melainkan bentuk rasionalitas politik-ekonomi: rakyat siap membayar jika beban pajak adil dan proporsional dengan manfaat. Oleh karena itu, protes warga jangan dianggap sikap anti pajak, melainkan tanda bahwa masyarakat ingin menegosiasikan kontrak sosial secara lebih adil.

Akhirnya, kelemahan terbesar dari kebijakan pajak di Banyuwangi bukan pada tarif itu sendiri, melainkan pada logika kebenaran yang runtuh. Dari teori koherensi, klaim pemerintah gagal karena tidak konsisten. 

Dari teori korespondensi, klaim gagal karena tidak sesuai fakta. Dari teori pragmatisme, klaim gagal karena tidak membawa manfaat praktis. Tiga teori kebenaran bertemu pada satu simpul: klaim “tidak ada kenaikan” kehilangan legitimasinya.

Pemerintah harus ingat, rakyat bukan objek pasif. Mereka adalah aktor rasional yang berhak menegosiasikan kepentingannya. Koherensi, korespondensi, dan pragmatisme bukan sekadar istilah filsafat, melainkan fondasi kepercayaan publik. Ketika pajak kehilangan ketiganya, yang runtuh bukan hanya logika fiskal, tetapi juga kontrak sosial antara negara dan rakyat.

***

*) Oleh : Dr. M.Iqbal Fardian, SE, M.Si., Pemerhati  Kebijakan Publik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES