Satire Prabowo Soal Pertumbuhan Ekonomi 5%: Antara Angka dan Realita Rakyat

TIMESINDONESIA, MALANG – Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan MPR 2025 membuka ruang diskusi yang cukup tajam mengenai arah perekonomian Indonesia. Dalam paparannya, Prabowo menyentil fakta bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% selama tujuh tahun terakhir ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil rakyat. Kritik ini bukan tanpa dasar. Di balik angka makro yang terlihat stabil, ada potret nyata kesenjangan kesejahteraan yang masih menganga lebar di tengah masyarakat.
Prabowo menyoroti bahwa masih banyak anak-anak yang mengalami kelaparan, petani dan nelayan kesulitan memasarkan hasil panennya, rakyat yang belum memiliki rumah layak, guru yang belum dihargai, hingga keluarga yang tidak mampu berobat karena ketiadaan fasilitas kesehatan di daerahnya. Potret ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi, meski konsisten di angka 5%, tidak menjamin pemerataan manfaat di semua lapisan masyarakat.
Advertisement
Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% memang sering dibanggakan sebagai bukti ketahanan ekonomi nasional. Namun, jika angka tersebut tidak mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan atau mempersempit jurang ketimpangan, maka pertumbuhan itu hanya akan menjadi prestasi di atas kertas. Angka pertumbuhan makro tidak secara otomatis berarti rakyat menjadi lebih sejahtera. Inilah yang menjadi inti kritik Presiden Prabowo—bahwa pertumbuhan harus diiringi pemerataan, bukan hanya pencapaian target statistik.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Selama tujuh tahun terakhir, berbagai indikator makro memang menunjukkan tren positif. Namun, jika dibandingkan dengan realita lapangan, masih ada kontradiksi yang mencolok. Pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi distribusi pendapatan yang merata justru memperlebar kesenjangan antara kelas menengah-atas dan masyarakat bawah. Kelompok kecil yang memiliki akses modal dan jaringan ekonomi cenderung menikmati keuntungan lebih besar, sementara sebagian besar rakyat hanya merasakan dampak minimal.
Meski melontarkan kritik terhadap kondisi sebelumnya, Prabowo juga memaparkan capaian positif dalam masa pemerintahannya yang baru berjalan 299 hari. Data menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% pada kuartal II 2025, sedikit lebih tinggi dari tren tujuh tahun terakhir. Selain itu, investasi pada semester pertama 2025 mencapai Rp 942 triliun, naik 13,6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 1,2 juta orang.
Dari perspektif ekonomi, capaian ini patut diapresiasi. Pertumbuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja merupakan indikator adanya aktivitas ekonomi yang bergerak. Bahkan, sejumlah pakar ekonomi memprediksi tren pertumbuhan akan tetap di atas 5% ke depan. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: apakah pencapaian ini sudah mulai menyentuh akar persoalan kesenjangan sosial-ekonomi?
Pertumbuhan ekonomi yang sehat idealnya tidak hanya ditunjukkan oleh peningkatan angka PDB, melainkan juga oleh perbaikan taraf hidup masyarakat di berbagai sektor. Ketika Prabowo menyinggung anak-anak kelaparan, guru yang belum dihargai, dan minimnya akses kesehatan, ini berarti persoalan distribusi manfaat ekonomi masih jauh dari ideal.
Masalah ini kerap terjadi karena kebijakan pembangunan dan investasi lebih terkonsentrasi di wilayah tertentu—terutama kota besar—sehingga daerah terpencil tertinggal dalam arus kemajuan. Petani di desa dan nelayan di pesisir seringkali tidak mendapat akses pasar yang memadai, sehingga pendapatan mereka stagnan atau bahkan menurun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi nasional tidak diiringi perbaikan kualitas hidup mereka.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan perekonomian berasaskan kekeluargaan dan keadilan sosial, pemerataan ekonomi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Angka pertumbuhan 5% bisa menjadi modal awal yang baik, tetapi tanpa kebijakan distribusi yang jelas dan efektif, capaian tersebut tidak akan memberikan manfaat luas. Program investasi harus diarahkan untuk menciptakan nilai tambah di daerah, memberdayakan UMKM, dan memperluas akses infrastruktur dasar bagi seluruh rakyat.
Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter harus berpihak pada sektor riil yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat bawah. Insentif pajak, bantuan modal, dan pendampingan usaha kecil menengah adalah langkah konkret yang dapat membantu pemerataan manfaat pertumbuhan. Investasi besar dari luar negeri juga harus diiringi syarat transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja lokal, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh segelintir kelompok.
Pidato Prabowo di Sidang Tahunan MPR 2025 memberikan pesan penting: angka pertumbuhan ekonomi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Selama masih ada rakyat yang kelaparan, kesulitan mengakses pendidikan, dan tidak memiliki fasilitas kesehatan layak, pertumbuhan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kondisi ekonomi yang baik.
Pertumbuhan 5% atau bahkan 5,12% memang patut disyukuri sebagai indikator daya tahan ekonomi. Namun, tanpa pemerataan yang nyata, angka itu hanyalah catatan statistik yang tidak menyentuh kehidupan sebagian besar rakyat. Pemerintah ke depan harus berani mengubah paradigma pembangunan dari sekadar mengejar angka menjadi memastikan kesejahteraan merata di setiap pelosok negeri.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru bisa disebut sehat jika setiap warganya—baik di kota maupun di desa, di Jawa maupun luar Jawa—merasakan manfaat yang sama dari kemajuan tersebut. (*)
***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |