80 Tahun Merdeka: Kepemimpinan Menjawab Ketertinggalan

TIMESINDONESIA, LAMPUNG – Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia merdeka. Usia ini semestinya membawa Indonesia sejajar dengan bangsa lain yang lahir di era yang sama. Namun, kenyataan berkata lain: Indonesia masih tertinggal hampir di segala bidang.
Pertumbuhan ekonomi, kualitas pendidikan, indeks inovasi, hingga tata kelola pemerintahan kita masih jauh di bawah standar negara-negara yang bahkan merdeka belakangan. Perbedaan mencolok itu terutama dipengaruhi oleh satu hal: kualitas kepemimpinan. Dan kualitas itu ditentukan oleh bagaimana sistem kita merekrut para pemimpin.
Advertisement
Harapan yang Tak Kunjung Nyata
Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dengan penuh keyakinan memproklamasikan kemerdekaan. Harapan besar tercipta: bangsa ini akan berdiri sejajar dengan dunia. Namun, setelah delapan dekade, jurang kesenjangan makin lebar.
Korea Selatan yang merdeka di tahun yang sama kini memiliki PDB per kapita lebih dari USD 34.000 (World Bank, 2024). Singapura yang merdeka tahun 1965 melesat dengan PDB per kapita USD 87.000.
Indonesia? Masih tertahan di angka USD 5.050. Perbandingan ini menunjukkan bahwa masalah kita bukan pada potensi, melainkan pada manajemen bangsa, terutama kepemimpinan.
Ekonomi kita masih rapuh, bergantung pada komoditas mentah. BPS (2024) mencatat kontribusi industri manufaktur terhadap PDB hanya 18%, turun jauh dari 27% pada akhir 1990-an. Sektor pendidikan juga tertinggal: PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara, jauh di bawah Vietnam.
Dalam inovasi, Global Innovation Index 2023 menempatkan kita di peringkat 61 dari 132 negara. Jumlah peneliti hanya 1.200 per 1 juta penduduk, sementara Korea Selatan 8.300.
Transparency International (2024) menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Dengan realitas ini, tidak heran bila kualitas layanan publik, birokrasi, hingga hukum kerap melemahkan daya saing bangsa.
Sistem Rekrutmen Kepemimpinan
Banyak analisis menyebut korupsi, birokrasi, atau pendidikan sebagai akar masalah. Namun sesungguhnya, ada masalah yang lebih mendasar: sistem rekrutmen kepemimpinan yang keliru. Justru korupsi, kegagalan birokrasi dan terpuruknya pendidikan itu disebabkan oleh sistem rekrutmen kepemimpinan yang koruptif. Apa penyebabnya?
Pertama, biaya politik yang mahal. Untuk menjadi pemimpin di Indonesia, seseorang harus menempuh proses elektoral yang sangat mahal. Menurut KPK (2022), biaya kampanye calon kepala daerah bisa mencapai Rp65–100 miliar. Untuk level nasional, jauh lebih besar.
Akibatnya, hanya mereka yang punya modal finansial besar atau dukungan oligarki yang bisa tampil. Dengan sistem seperti ini, meritokrasi tenggelam. Figur berintegritas, cerdas, dan visioner kerap kalah karena tidak memiliki “mesin uang” atau “akses elite”.
Kedua, dominasi popularitas instan. Partai politik lebih suka mengusung figur populer ketimbang figur berkapasitas. Akibatnya, pemimpin lahir dari popularitas media, bukan dari rekam jejak kepemimpinan, integritas, atau gagasan. Inilah yang membuat politik kita penuh pencitraan, bukan ide pembangunan jangka panjang.
Ketiga, partai politik sebagai mesin transaksi. Partai seharusnya menjadi sekolah demokrasi yang melahirkan kader berkualitas. Namun realitasnya, banyak partai berubah menjadi “agen tiket” kekuasaan. Rekrutmen kandidat sering lebih ditentukan oleh transaksi finansial daripada kinerja dan rekam jejak.
Dengan pola ini, hampir mustahil lahir pemimpin visioner. Yang ada adalah pemimpin kompromistis, tunduk pada sponsor politik, dan tidak leluasa membuat kebijakan demi kepentingan rakyat.
Keempat, dampak rekrutmen yang salah. Sistem rekrutmen yang keliru menciptakan lingkaran setan. Pemimpin yang lahir dari biaya politik mahal akan mencari cara untuk mengembalikan modalnya. Korupsi pun dianggap wajar, birokrasi dijadikan alat balas budi, dan kebijakan publik rentan diarahkan untuk menguntungkan segelintir pihak.
Tidak heran, banyak kebijakan jangka panjang terbengkalai. Perencanaan pembangunan berubah setiap ganti pemimpin. Proyek mercusuar sering lebih diprioritaskan demi citra, ketimbang kebijakan struktural seperti reformasi pendidikan, riset, atau kesehatan.
Reformasi Rekrutmen Politik
Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan ketertinggalan, maka reformasi sistem rekrutmen pemimpin menjadi agenda mendesak. Ada beberapa langkah penting:
Pertama, Pendanaan Politik Transparan. Negara harus menjamin pendanaan partai politik dan kampanye yang transparan. Tanpa itu, politik akan terus dikuasai pemodal besar.
Kedua, demokratisasi internal partai. Partai harus benar-benar menjalankan demokrasi internal, bukan sekadar “kendaraan elite”. Kaderisasi harus menjadi mekanisme utama lahirnya pemimpin, bukan transaksi.
Ketiga, seleksi berbasis kapasitas dan integritas. Partai dan publik harus berani menuntut standar tinggi bagi calon pemimpin: rekam jejak bersih, kompetensi, serta visi jangka panjang.
Keempat, peran publik yang lebih kritis. Masyarakat harus berani menolak politik uang dan pencitraan semu. Kesadaran kolektif rakyat adalah benteng terakhir agar proses rekrutmen tidak jatuh pada transaksi semata.
Kelima, rakyat harus diberi opsi (pilihan). Ketika sebuah kebijakan diambil oleh sebuah rezim penguasa maka rakyat harus mampu mendapatkan opsi lain dari partai politik non pemerintah sebagai pemberi solusi alternatif.
Pada saatnya maka rakyat akan tercerahkan dan dapat melihat potensi tertentu dari individu dalam partai tersebut, ini Adalah pendidikan politik.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam, tidak kekurangan tenaga kerja, bahkan memiliki posisi strategis di antara dua samudra. Namun, semua itu akan menjadi sia-sia jika dikelola oleh pemimpin yang lahir dari sistem rekrutmen politik yang salah.
Kualitas kepemimpinan adalah faktor paling menentukan kemajuan bangsa. Dan kualitas itu hanya mungkin lahir bila kita memperbaiki cara kita merekrut pemimpin. Jika sistem tetap seperti sekarang, mahal, transaksional, dan pragmatis, maka pemimpin terbaik bangsa ini tidak akan pernah punya kesempatan tampil.
Menjelang satu abad kemerdekaan, reformasi rekrutmen kepemimpinan harus menjadi agenda nasional. Tanpa itu, 100 tahun merdeka nanti, kita masih akan bicara hal yang sama: sebuah bangsa besar yang gagal bangkit karena sistemnya tidak pernah memberi ruang bagi lahirnya pemimpin yang visioner dan mumpuni. (*)
***
*) Oleh : Prof. Erry Yulian Triblas Adesta, Ph.D., Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Inovasi Universitas Bandar Lampung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |