Kopi TIMES

Tren Kerja Generasi Z dalam Karier

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 00:31 | 11.55k
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.
Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Beberapa tahun terakhir, dunia kerja global diramaikan istilah baru: job hugging dan great stay. Jika sebelumnya publik mengenal great resignation atau quiet quitting, kini tren justru berbalik arah. Banyak pekerja, terutama generasi muda, memilih bertahan di pekerjaan mereka meski tanpa gairah dan inovasi.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, gejala yang sama mulai terasa. Seorang ASN muda misalnya, mengaku bertahan karena status aman meski pekerjaannya monoton. 

Advertisement

Begitu pula karyawan startup yang pasca-gelombang PHK memilih bermain aman, mengurangi inisiatif, dan sekadar menunggu instruksi. Pertanyaannya: apakah ini sekadar tren baru generasi Z, atau justru jalan buntu bagi karier mereka?

Secara psikologis, job hugging lahir dari rasa aman. Banyak anak muda lebih memilih “berpelukan” dengan pekerjaan yang ada daripada mengambil risiko mencoba hal baru. Gaji tetap, fasilitas, dan status dianggap cukup, meski semangat berinovasi menurun.

Teori motivasi Herzberg bisa menjelaskan hal ini. Faktor-faktor dasar seperti gaji dan rasa aman disebut hygiene factors. Kehadirannya membuat orang tidak mengeluh, tetapi tidak otomatis menumbuhkan motivasi. 

Sebaliknya, semangat kerja lahir dari motivator intrinsik seperti prestasi, pengakuan, dan makna. Artinya, banyak pekerja muda puas hanya dengan “bertahan”, tanpa benar-benar berkembang.

Di era yang serba cepat seperti sekarang, sikap ini berisiko besar. Dunia kerja menuntut adaptasi, kreativitas, dan inovasi. Bertahan tanpa kontribusi hanya akan melahirkan stagnasi.

Dari Great Stay ke Great Contribution 

Fenomena great stay bisa menjadi jebakan karier. Seorang karyawan mungkin merasa nyaman hari ini, tetapi dalam jangka panjang, minimnya perkembangan membuat mereka tertinggal.

Jawaban strategisnya adalah membangun spirit kewirausahaan. Kewirausahaan tidak selalu berarti mendirikan usaha, melainkan menanamkan mental proaktif: berani mengambil risiko, kreatif menghadapi keterbatasan, dan berpikir solusi.

Seorang ASN muda yang hanya bertahan demi status aman jelas berbeda dengan ASN yang membawa inovasi digital, memperbaiki pelayanan publik, atau menghadirkan ide efisiensi. Begitu pula karyawan swasta. 

Mereka yang sekadar menunggu instruksi lambat laun akan tergeser. Tetapi mereka yang berani menawarkan ide baru akan menjadi aset perusahaan.

Dalam literatur psikologi modern, Edward Deci dan Richard Ryan melalui Self-Determination Theory menjelaskan bahwa motivasi sejati lahir dari tiga kebutuhan: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. 

Menariknya, kebutuhan ini sering terabaikan dalam budaya job hugging. Akibatnya, pekerja merasa tidak berkembang dan kehilangan makna kerja.

Etos Kerja sebagai Penopang 

Indonesia sebenarnya punya modal kuat untuk keluar dari jebakan ini: etos kerja berbasis nilai. Dalam budaya lokal, kerja bukan sekadar mencari aman, tetapi juga tanggung jawab moral.

Etos kerja menekankan tiga hal utama: amanah (dapat dipercaya), profesionalisme, dan kesungguhan. Jika nilai-nilai ini dipraktikkan, pekerjaan tidak akan berhenti pada sekadar “bertahan”, melainkan menjadi ruang untuk memberi manfaat.

Nilai ini sejalan dengan tuntutan zaman. Dunia kerja modern membutuhkan orang-orang yang tidak hanya hadir, tetapi juga menghadirkan arti. Dengan etos kerja, fenomena great stay bisa diubah menjadi great contribution.

Fenomena job hugging dan great stay memang tampak nyaman bagi sebagian generasi Z. Namun, kenyamanan itu bisa menjadi jebakan yang membuat mereka kehilangan momentum untuk tumbuh.

Pertanyaannya sederhana: maukah generasi muda Indonesia sekadar menjadi bagian dari great stay, atau berani melangkah menuju great contribution?

Bertahan memang pilihan, tapi kontribusi adalah panggilan zaman. Pada akhirnya, dunia kerja tidak menilai seberapa lama kita bertahan, tetapi seberapa besar kita memberi arti.

***

*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES