Efek Biaya Politik dari Kenaikan Tunjangan DPR RI

TIMESINDONESIA, BIMA – Isu kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali mencuat ke permukaan setelah Menteri Keuangan membacakan nota keuangan RAPBN untuk 2026 nanti. Bagi publik, isu ini selalu menimbulkan reaksi yang massif dari netizen di media social maupun public di kehidupan nyata, bahkan sering berujung pada kemarahan.
Bagaimana tidak, ketika mayoritas rakyat masih berjuang menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok, akses layanan kesehatan, serta keterbatasan lapangan kerja, wakil rakyat justru tampak sibuk memikirkan kesejahteraan finansial mereka sendiri.
Advertisement
Salah satu alasan yang kerap dilontarkan adalah tingginya biaya politik yang harus ditanggung untuk sampai ke kursi DPR. Namun, apakah beban biaya politik itu layak “diganti rugi” dengan menaikkan gaji dan tunjangan?
Biaya Politik yang Mahal dan Kursi DPR sebagai Investasi
Demokrasi di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang paling mahal di dunia. Calon anggota legislatif (caleg) DPR harus mengeluarkan dana besar untuk biaya kampanye, logistik sosialisasi, iklan di media, hingga praktik transaksional yang menjadi rahasia umum.
Penelitian sejumlah lembaga dari KISP menunjukkan, untuk maju sebagai caleg DPR RI, seorang kandidat bisa menghabiskan sekitar 30 miliaran rupiah sesuai dengan konteks dinamika di setiap dapil masing-masing.
Realitas ini menimbulkan logika baru: kursi legislatif dianggap sebagai investasi. Ketika seseorang sudah “berkorban” besar secara finansial, ia terdorong untuk mengembalikan modalnya setelah duduk di kursi parlemen.
Dalam konteks inilah muncul gagasan bahwa gaji dan tunjangan perlu dinaikkan agar sebanding dengan biaya politik yang dikeluarkan. Tetapi pola pikir seperti ini sesungguhnya berbahaya, sebab menggeser makna jabatan publik dari pengabdian menjadi investasi pribadi untuk menambah puing-puing kekayaan.
Beban yang Kembali ke Rakyat
Masalah utama dari wacana kenaikan tunjangan DPR RI adalah beban akhirnya akan kembali ditanggung oleh rakyat melalui APBN. Ketika anggaran negara terbatas dan defisit masih menjadi persoalan.
Ditengah upaya pemerintah efesiensi terhadap anggaran Negara, menaikkan gaji wakil rakyat berarti mengurangi porsi anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik: pendidikan, kesehatan, subsidi pangan, maupun, infrastruktur desa dan sektor-sektor pembangunan lainnya harus dikurangi dan dipangkas.
Selain itu, kenaikan tunjangan tidak menjamin peningkatan kualitas kinerja legislatif. Tingkat kehadiran yang rendah dalam sidang, kualitas undang-undang yang sering diperdebatkan karena substansi dan esensi yang lemah, hingga kasus korupsi yang masih menjerat anggota dewan, semuanya menunjukkan bahwa problem DPR bukan pada kesejahteraan finansial, melainkan pada moralitas, akuntabilitas, dan integritas.
Efek Domino Politik Mahal
Biaya politik yang tinggi menciptakan efek domino yang berbahaya bagi demokrasi. Pertama, politisi akan mencari jalan pintas untuk mengembalikan modal, termasuk melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, hanya mereka yang memiliki modal besar yang bisa bersaing dalam kontestasi politik, sehingga membuka ruang bagi dominasi oligarki.
Ketiga, wakil rakyat cenderung lebih loyal pada para penyandang dana ketimbang pada rakyat yang memilihnya.
Efek domino inilah yang seharusnya menjadi fokus pembenahan. Jika biaya politik terus dibiarkan tinggi, maka demokrasi Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi mereka yang kuat secara finansial, bukan ruang bagi kader terbaik bangsa yang ingin mengabdi.
Reformasi Politik sebagai Solusi
Alih-alih menaikkan gaji dan tunjangan, DPR RI seharusnya berfokus pada reformasi sistem politik yang menekan biaya tinggi. Misalnya: Transparansi dana kampanye semua pengeluaran caleg harus terbuka dan bisa diakses public, Pembatasan biaya kampanye negara perlu membuat aturan limitasi yang ketat agar tidak ada persaingan modal yang timpang.
Penguatan partai politik, partai harus benar-benar menanggung biaya kaderisasi dan kampanye kadernya, bukan sekadar menjual tiket pencalonan. Pendanaan politik negara subsidi dana kampanye dari negara bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan politisi pada sponsor besar.
Dengan reformasi ini, biaya politik bisa ditekan, sehingga tidak ada lagi alasan bagi DPR untuk menaikkan gaji dan tunjangan atas dasar “beban politik yang mahal”. Sebagai penutup dari tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa “Wacana kenaikan gaji dan tunjangan DPR RI atas alasan tingginya biaya politik sesungguhnya adalah refleksi dari demokrasi yang belum sehat.
Rakyat tidak boleh dijadikan pihak yang menanggung akibat dari mahalnya ongkos politik. Justru DPR harus menunjukkan keberpihakan pada rakyat dengan memperjuangkan reformasi politik yang menekan biaya tinggi, memperbaiki akuntabilitas, dan mengembalikan marwah legislatif sebagai representasi rakyat, bukan representasi kepentingan modal.
Demokrasi bukanlah tentang siapa yang sanggup membayar paling mahal untuk kursi kekuasaan, melainkan tentang siapa yang mampu mengemban amanah rakyat dengan penuh integrita”. (*)
***
*) Oleh : Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP., Lingkar Pinggir Bima.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |