
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kita hidup di tengah zaman yang buram akan nilai dan makna, era yang oleh banyak pemikir sebut sebagai post-truth, ketika kebenaran objektif tak lagi menjadi poros utama dalam membentuk opini publik.
Di masa ini, emosi dan keyakinan pribadi lebih dipercaya ketimbang data dan fakta. Kebenaran tak lagi dicari ia dikonstruksi sesuai selera.
Advertisement
Akibatnya, kebohongan bisa tampil memesona penuh gaya, dielu-elukan, bahkan dibela mati-matian. Realitas menjadi panggung sandiwara, tempat aktor-aktor politik memainkan peran bukan berdasarkan moral, tapi demi citra dan keuntungan sesaat.
Fenomena ini menyusup ke hampir seluruh ruang kehidupan, termasuk politik dan pemerintahan. Berangkat dari kasus Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang baru-baru ini terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK menjadi salah satu cermin paradoks zaman ini.
Publik mengenalnya sebagai aktivis yang vokal, keras dalam menyuarakan keadilan, sering turun langsung membela pekerja yang dirugikan. Sosok yang selama ini tampil sebagai penyeru kebenaran justru kini terseret dalam dugaan praktik yang selama ini ia tentang. Ironi pun terjadi, simbol perlawanan justru tergelincir dalam kubangan yang selama ini dikritiknya.
Peristiwa yang bukan sekadar gambaran kegagalan personal, melainkan mencerminkan terjadinya krisis moral. Dalam dunia yang kehilangan arah nilai, yang buruk bisa tampil sebagai persona yang baik, dan yang jahat bisa mendapatkan panggung.
Kini, kita menyaksikan bagaimana kebenaran sering kalah oleh sensasi. Reputasi dibangun bukan dari integritas, melainkan dari kemampuan mencitrakan diri.
Media sosial memperparah keadaan. Di ruang ini, persepsi lebih cepat dibentuk ketimbang fakta bisa diverifikasi. Satu unggahan viral bisa mengubah nasib seseorang dalam semalam.
Maka, bukan lagi integritas yang dicari, melainkan keberlanjutan eksistensi di linimasa. Popularitas jadi mata uang baru, menggantikan moralitas.
Di tengah pusaran ini, moral pun menjadi fleksibel. Ia tak lagi kokoh sebagai fondasi, melainkan alat justifikasi yang bisa dibelokkan sesuai kepentingan. Reza A.A Wattimena dalam tulisannya pernah mengatakan moral hanyalah pertimbangan pikiran yang rapuh mudah goyah, mudah dipelintir.
Tindakan baik maupun buruk, keduanya melahirkan tegangan dan penderitaan batin. Namun dari kegamangan itulah lahir kekejaman, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Ini adalah lingkaran setan, ketika nilai-nilai dibalikkan, orang-orang yang awalnya menjadi simbol kebaikan justru menjadi pelaku kejahatan.
Fakta bahwa banyak pelaku kriminal dulunya dikenal sebagai sosok baik menunjukkan bahwa krisis nilai ini bukan omong kosong. Dunia seolah kehilangan kompas moral. Kebaikan bukan lagi prinsip, hanya sekadar performa.
Di tengah kekacauan nilai, mempertahankan akal sehat adalah bentuk perlawanan paling radikal. Kebenaran mungkin tidak menarik perhatian sebanyak kebohongan, tapi ia tetap bernilai. Kejujuran mungkin tidak membuat kita viral, tapi merupakan jalan untuk membangun kepercayaan sejati.
Sudah saatnya kita kembali pada prinsip dasar, bukan untuk pencitraan, melainkan karena itu satu-satunya jalan untuk hidup dengan integritas.
Di era post-truth, memilih waras dan jujur bukan hal biasa. Ia adalah tindakan subversif. Ia adalah perlawanan. (*)
***
*) Oleh : Masyudi, MP., Peggiat Medsos.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |