
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan untuk memangkas dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 29% dari Rp919,9 triliun pada tahun 2025 menjadi Rp650 triliun pada tahun 2026. Kebijakan ini memunculkan kegaduhan serius, bukan hanya tentang teknis fiskal, tetapi juga berkaitan dengan pembangunan Indonesia dan semangat desentralisasi kekuasaan.
Bila sejenak kita lihat, kebijakan ini sekilas seperti strategi pemerintah di tengah sempitnya ruang fiskal yang dimiliki pemerintah. Namun jika digali lebih dalam, kebijakan ini nantinya akan berdampak sistemik.
Advertisement
Tata kelola pembangunan daerah akan terdistorsi, kesenjangan antar daerah juga akan semakin lebar. Kebijakan ini juga secara substansi bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU no.23 Tahun 2024.
Aliran dana ke daerah dalam bentuk TKD adalah wujud dari pemerataan ekonomi. Hal ini dikarenakan setiap daerah tidak memiliki kapasitas fiskal yang sama. Jawa dan kota-kota besar bisa mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bahan bakar operasional dalam menjalankan kebijakan.
Berbeda dengan daerah-daerah terpencil, kepulauan, atau daerah yang tidak memiliki basis industri akan sulit dalam menjalankan pembangunan jika tanpa adanya dana transfer.
Sekitar 83% APBD di banyak kota/kabupaten masih bergantung pada TKD. Bahkan dari 510 kota/kabupaten di Indonesia ada 232 kota/kabupaten yang presentasi PAD nya di bawah 10% terhadap total pendapatan daerahnya.
Hal ini mengisyaratkan pengurangan 29% bukan hanya tentang angka, tetapi juga ancaman nyata terhadap pembangunan daerah. Infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan hingga program bantuan sosial sangat mungkin terdampak.
Karena itu, pemangkasan TKD tentu akan menciptakan efek domino. Pemerintah daerah akan melakukan refocusing program dengan menghentikan proyek-proyek strategis.
Berkurangnya proyek akan memperlambat penyerapan tenaga kerja lokal yang biasanya tergantung pada proyek infrastruktur pemerintah daerah. Pelayanan publik tentu akan ikut terdampak karena anggaran belanja sosial yang dipangkas demi efisiensi anggaran.
Pemangkasan ini akan berdampak pada semakin lebarnya disparitas antar wilayah. Daerah dengan PAD yang besar masih bisa bertahan, tetapi daerah dengan PAD yang terbatas akan semakin tertinggal.
Beberapa daerah melakukan beberapa manuver dalam menghadapi ancaman kekurangan dana. Sebagai contoh Bupati Sudewo dari Pati memilih untuk memperluas objek pajak atau menaikkan tarif pajak lokal seperti PBB. Pati menaikkan PBB hingga 250%.
Kebijakan ini tidak mengherankan karena Pati adalah daerah yang bergantung banyak pada TKD. Pada 2024, PAD Pati hanya menyumbang 14,56% dari total pendapatan daerah sebesar Rp2,85 triliun.
Artinya ⅘ operasional Pati disokong oleh TKD dan jika dikurangi hampir 30% bisa dibayangkan bagaimana sulitnya Bupati mengatur dana untuk menggaji pegawai ASN dan juga merealisasikan janji-janji politiknya. Jalan pintas kemudian diambil dengan menaikkan PBB secara drastis.
Kenaikan pajak secara drastis ternyata menyulut ketidakpuasan masyarakat sehingga melakukan demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi di Pati. Di beberapa kota walaupun tidak sejelas Pati, masyarakat menyatakan keberatan akan naiknya pajak padahal ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
PBB walaupun hanya satu kali setahun dianggap kebijakan yang tidak empati terhadap rakyat kecil. Di saat tunjangan DPR RI naik, anggaran gaji menteri naik, sementara yang naik bagi rakyat adalah pajaknya.
Desentralisasi dibuat untuk memberikan peran bagi pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan sesuai kondisi masyarakat lokal. Tetapi dengan adanya pemangkasan TKD sebesar 29%, kemampuan daerah untuk berkembang kembali terbatas. Tidak mungkin sebuah kebijakan tanpa dibackup anggaran yang cukup.
Banyak yang menganalisis adanya kebijakan pemangkasan ini akibat terfokusnya dana APBN kepada program-program mercusuar pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih.
Terbukti dengan meningkatnya anggaran MBG menjadi Rp335 triliun dan koperasi merah putih senilai Rp 86 triliun. Program ambisius yang sifatnya sentralistik, top down dari pusat kepada daerah.
Sebuah ironi dalam kondisi saat ini dimana reformasi sudah jauh melangkah pemerintah malah tidak konsisten dalam merealisasikan visi otonomi daerah. Pusat seakan mengirim sinyal bahwa daerah hanya perpanjangan tangan dari kebijakan fiskal nasional. Padahal otonomi membutuhkan keleluasaan fiskal bagi daerah agar pembangunan bisa tepat sasaran berdasarkan konteks lokal.
Pengurangan TKD bukan sekadar persentase dalam grafik dan neraca fiskal negara. Ini berkaitan dengan visi pembangunan Indonesia. Apakah strategi pembangunan sudah sesuai dengan semangat otonomi dengan dibarengi peningkatan kapasitas daerah.
Sebaliknya, pola ini secara sadar atau tidak sadar mengembalikan kita ke sistem sentralisasi yang jelas-jelas terbukti gagal dalam menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
JIka pemerintah memang memiliki visi pemerataan dan keadilan, maka pemangkasan TKD secara drastis adalah kebijakan kontraproduktif. Pemerintah mengikis ketahanan fiskal daerah, melebarkan kesenjangan, dan memperlambat pembangunan daerah. Pada ujungnya, daerah yang lemah akan menjadi gambaran rapuhnya pembangunan nasional.
***
*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |