Kopi TIMES

OTT Noel: Bersih-bersih dari Korupsi atau Politik

Senin, 25 Agustus 2025 - 09:13 | 13.97k
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer adalah tamparan keras di awal perjalanan kabinet Prabowo. Publik kaget bukan main. Noel sapaan akrabnya selama ini dikenal vokal, keras, dan sering tampil lantang membela kepentingan politik tertentu. Ia juga baru beberapa bulan diberi kepercayaan mengisi kursi penting di kementerian yang mengurusi tenaga kerja. 

Ironisnya, pejabat yang dinilai punya kinerja “cukup memuaskan” itu justru ditangkap KPK karena diduga bermain-main dengan sertifikasi K3. Tentu, ini bukan sekadar kasus suap. Ini alarm besar bahwa jabatan publik di negeri ini masih rawan jadi ladang rente.

Advertisement

Bayangkan, sertifikasi yang mestinya menjamin keselamatan pekerja justru diperlambat dan dijadikan komoditas untuk memeras pihak-pihak yang membutuhkan. KPK bahkan menyita belasan mobil mewah dan uang miliaran rupiah. 

Di titik ini, kita seakan ditampar untuk kesekian kalinya: betapa mudahnya pejabat publik tergoda mengubah pelayanan negara menjadi ladang pribadi. Bagaimana mungkin orang yang baru duduk di kursi jabatan sudah tega menggadaikan amanah publik demi kepentingan pribadi? Pertanyaan ini hanya punya satu jawaban: integritas tidak bisa diukur dari rapor kinerja, melainkan dari moral yang tak bisa ditawar.

Meski begitu, ada sisi lain yang layak dicatat. Mahfud MD menilai KPK kini mulai berani kembali, “menunjukkan taringnya” dengan menindak pejabat aktif di kabinet. Langkah ini sekaligus jadi ujian besar bagi Presiden Prabowo. 

Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan tidak ada ruang bagi korupsi. Maka, ketika wamenakernya sendiri yang kena OTT, publik menunggu: apakah Prabowo benar-benar konsisten menepati ucapannya? Ataukah kasus ini hanya jadi catatan pinggir yang cepat dilupakan begitu badai media reda?

Yang membuat kasus Noel semakin menarik adalah aroma politik yang ikut menyeruak. Banyak yang melihat OTT ini bukan sekadar penindakan hukum, tapi juga bisa jadi pintu masuk untuk “bersih-bersih” kabinet dari loyalis Jokowi. 

Noel sendiri, meski belakangan dekat ke lingkaran Prabowo, tak bisa dilepaskan dari jejak dukungannya pada Jokowi. Maka, wajar jika isu reshuffle semakin kencang. 

Beberapa kelompok purnawirawan TNI bahkan terang-terangan mendorong perombakan, termasuk mengganti tokoh-tokoh yang dianggap masih mewakili kepentingan lama. Dalam skema ini, Noel seolah menjadi “tumbal” pertama yang membuka jalan.

Tapi mari kita berhati-hati membaca situasi. Pemberantasan korupsi yang tulus tidak boleh bercampur dengan agenda politik. Kalau OTT hanya dijadikan alasan untuk melemahkan satu kubu, sementara kubu lain tetap dibiarkan nyaman dengan praktik serupa, publik hanya akan semakin muak. 

Kita sudah terlalu sering disuguhi skenario semacam itu. Hari ini ada pejabat yang dipermalukan, besok ada reshuffle dengan jargon bersih-bersih, tapi lusa semua kembali normal seperti semula. Pada akhirnya, yang berubah hanya wajah-wajahnya, sementara kultur busuknya tetap lestari.

Di sinilah tantangan sekaligus peluang besar bagi Prabowo. Jika ia ingin dicatat sejarah sebagai pemimpin yang berani, maka kasus Noel harus dijadikan momentum untuk merombak sistem, bukan sekadar mengganti orang. 

Sertifikasi, perizinan, dan proyek-proyek publik harus dibersihkan dari celah rente. Digitalisasi layanan, audit independen, dan kontrol masyarakat sipil harus diperkuat. Tanpa itu semua, setiap reshuffle hanya akan melahirkan pejabat-pejabat baru dengan cara lama: menjadikan jabatan sebagai tambang pribadi.

Kita juga perlu jujur, publik sudah terlalu sering dikecewakan. Setiap kali ada OTT, muncul harapan bahwa babak baru dimulai. Tapi apa yang terjadi? Korupsi seakan tidak pernah surut, hanya berganti aktor. 

Itu sebabnya kasus Noel harus dibaca sebagai peringatan dini. Jika Prabowo gagal merespons dengan langkah konkret, maka integritas yang digadang-gadang hanya akan terdengar sebagai slogan kosong. 

Sebaliknya, jika momentum ini benar-benar dijadikan pijakan untuk reformasi, publik akan melihat bahwa ada harapan baru di bawah kepemimpinan yang berani menyingkirkan siapa saja, bahkan orang dekat, demi kepentingan rakyat.

Kasus Noel adalah cermin bahwa korupsi masih menggerogoti tubuh birokrasi, bahkan di level pejabat tinggi. Tapi di balik itu, kasus ini juga bisa menjadi titik balik. Apakah ia akan menjadi awal dari sebuah era pemerintahan yang bersih, atau sekadar catatan dalam drama politik “bersih-bersih” kekuasaan? 

Semua bergantung pada langkah Prabowo. Sejarah akan mencatat, apakah ia benar-benar menegakkan integritas, atau justru membiarkan korupsi tetap hidup dengan wajah baru. (*)

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 **) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES