Antara Kesejahteraan Elite DPR dan Keadilan Publik

TIMESINDONESIA, JEMBER – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan demokrasi, publik masih menyisakan satu harapan besar, hadirnya langkah nyata dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aspirasi rakyat terus mengalir melalui unjuk rasa, ruang digital, dan forum resmi. Namun, semakin sering publik menyuarakan kegelisahan, semakin besar pula tuntutan agar DPR bergerak cepat, tegas, dan terukur.
Isu penghasilan anggota DPR kini kembali menjadi pemicu kritik tajam publik. Data terbaru mengungkap bahwa total take-home pay anggota DPR bisa melampaui ratusan juta per bulan, setelah skema rumah dinas digantikan dengan kompensasi tunjangan, meskipun gaji pokok tetap di kisaran Rp4-5 juta per bulan.
Advertisement
Tunjangan rumah ini sendiri mencapai Rp50 juta per bulan per anggota, belum termasuk tunjangan-tunjangan lain. Ketua DPR, Puan Maharani, membela kebijakan ini: “Jumlah Rp50 juta per bulan sudah ditelaah sebaik-baiknya menurut harga pasaran yang ada di Jakarta,” sambil membuka ruang evaluasi bila dirasa berlebihan.
Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat, memberi peringatan tajam terkait paket penghasilan “all-in” termasuk gaji, tunjangan, dan fasilitas untuk anggota DPR diperkirakan mencapai Rp230-240 juta per bulan. Jika ditambahkan tunjangan perumahan, total bisa menembus Rp287,9 juta per bulan.
Disparitas itu makin mencolok ketika dibandingkan dengan UMP tertinggi di Indonesia yaitu Jakarta (Rp5,4 juta), menghasilkan rasio 44 kali lipat dan lebih tinggi lagi rasio kalau dibandingkan dgn UMP rata-rata nasional yang hanya Rp3,3 juta per bulan.
Tidak heran bila Prof. Mahfud MD menyebutnya “berlebihan” dan menyindir gaya hidup hedonis para wakil rakyat “ yang memicu kejengkelan rakyat”.
Namun, publik menaruh perhatian lebih pada agenda lain yang jauh lebih strategis, pengesahan RUU Perampasan Aset. Pemerintah dan masyarakat percaya bahwa regulasi ini krusial bagi pemberantasan korupsi agar aset hasil kejahatan yang sulit disita bisa kembali ke kas negara.
Peneliti dari ICW pun menegaskan bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya soal hukum, tapi soal menyelamatkan aset negara yang merugikan triliunan rupiah setiap tahun.
Di sinilah letak kritik konstruktif yang harus direnungkan DPR. Mereka tidak boleh terjebak prioritas sempit atau agenda internal semata. Sebagai wakil rakyat, mandat konstitusional mereka adalah memperjuangkan kepentingan publik.
Ketika rakyat bergumul dengan tingginya biaya hidup, ketidakpastian lapangan kerja, dan ancaman korupsi, DPR harus menempatkan agenda seperti RUU Perampasan Aset sebagai prioritas nasional.
Sayangnya, citra DPR lebih sering dikaitkan dengan kontroversi ketimbang prestasi legislatif. Padahal, produk hukum yang responsif dan berpihak adalah peluang emas untuk mengembalikan kepercayaan publik. Legitimasi politik bukan hanya soal kursi yang diduduki usai pemilu, tetapi soal kepercayaan yang dirawat lewat kerja nyata.
Masyarakat masih memberi ruang untuk DPR memperbaiki citra. Namun, ruang ini rapuh sekali abai, sangat sulit diperbaiki. Oleh sebab itu, DPR harus segera menunjukkan langkah aktif dalam tiga hal utama:
Pertama, Transparansi penetapan penghasilan anggota DPR agar publik tidak lagi merasa dibohongi.
Kedua, Percepatan pengesahan UU strategis, terutama RUU Perampasan Aset, sebagai bukti nyata keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi.
Ketiga, Penetapan kebijakan publik yang berpihak, mencerminkan kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat bukan elite semata.
Rakyat tak butuh janji baru, mereka menuntut bukti. Apakah DPR berani membalik stigma publik? Sejarah politik selalu memberi Pelajaran bahwa lembaga yang membuktikan keberpihakannya pada rakyat akan dikenang dengan hormat, sebaliknya, mereka yang abai akan dianggap memupuk kekecewaan. Pilihan kini ada di tangan DPR.
Ketika publik menanti dan sejarah mencatat, masa depan bangsa menuntut. Kepercayaan rakyat bukan hadiah, ia lahir dari kerja nyata yang konsisten. Bila DPR memilih bergerak aktif, mereka tidak hanya menjaga martabat lembaga, tetapi juga menyalakan kembali optimisme bangsa.
Sebaliknya, jika DPR membiarkan kepercayaan itu memudar, maka rakyat akan bertanya, apakah DPR akan menjawab harapan dengan tindakan nyata atau membiarkannya luntur seiring waktu? Jawabannya tidak akan muncul dari kata-kata, tetapi dari langkah-langkah konkret yang segera diambil. (*)
***
*) Oleh : M.A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Praktisi Jaring Asesmen Indonesia & Rengganis Indonesia Fundation. Serta Pendidik di SMP Negeri 2 Balung, Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |