
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pati, sebuah kabupaten yang jarang menghiasi headline nasional, kini mendidih bak kawah vulkanik yang tak lagi mampu menahan tekanan. Ledakan amarah warga pada pertengahan Agustus 2025 bukan sekadar riak kecil di permukaan, melainkan letusan sosial yang memporak-porandakan citra pemerintah daerah.
Dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBBP2) sebesar 250% hingga sederet kebijakan yang dinilai arogan dan tak berpihak, Pati menjadi panggung perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang dianggap mengkhianati amanah.
Advertisement
Gelombang protes yang memuncak pada 10-13 Agustus 2025 bukanlah reaksi spontan terhadap satu kebijakan semata. Kenaikan pajak hanyalah pemantik yang memercikkan api di hutan kering kekecewaan rakyat.
Menurut pengakuan dari salah satu penduduk, yang menjadi pemicu warga Pati “ngamuk” lebih dari sekadar pembatalan kenaikan pajak. Kekecewaan ini berlapis mulai dari komunikasi arogan, prioritas anggaran yang tidak pro-rakyat, hingga kebijakan yang justru memukul kelompok rentan.
Mereka meminta pembatalan kebijakan lima hari sekolah, penghentian proyek renovasi Alun-Alun senilai Rp 2 miliar, penolakan pembongkaran Masjid Alun-Alun yang bersejarah, pembatalan proyek videotron Rp 1,39 miliar, hingga pengembalian hak 220 pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) RAA Soewondo yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) tanpa pesangon. Hakikatnya, mereka menuntut legitimasi dan empati yang hilang, bukan sekadar pencabutan kebijakan.
Semua ini adalah tanda bahwa krisis kepercayaan sudah total. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan aspirasi warga justru memposisikan diri layaknya korporasi yang mengejar keuntungan tanpa empati sosial.
Sebagaimana Jean-Jacques Rousseau dalam Du contrat social (1762) menjelaskan bahwa “perjanjian sosial” (social contract) menyatakan kedaulatan rakyat harus dijalankan demi kemaslahatan umum (volonté générale), bukan dipakai sebagai topeng legitimasi untuk kebijakan yang menindas.
Pengambilan kebijakan oleh bupati Pati bukan hanya gagal memenuhi janji kesejahteraan. Kebijakan tersebut secara aktif memicu penderitaan, memarjinalkan suara warga, dan mengalihkan anggaran ke proyek yang manfaatnya diragukan. Kasus ini bukan sekadar soal perbedaan pandangan kebijakan, tetapi ini adalah pelanggaran prinsipil terhadap hak-hak dasar warga.
Antara Gaya Kepemimpinan Arogan dan Krisis Legitimasi
Salah satu pemicum ledakan kemarahan warga Pati yang tak kalah besar dari soal pajak adalah sikap dan cara bicara Bupati Sudewo. Ketika rakyat mengeluh soal kebijakan yang memberatkan, ia malah mengucapkan kalimat: “silakan demo 5.000, 50.000 orang”.
Bagi rakyat, ini bukan sekadar salah bicara, melainkan sinyal arogansi politik yang memandang enteng partisipasi rakyat. Pernyataan itu viral di media sosial, memicu sentimen bahwa pemimpin daerahnya lebih suka menantang warganya sendiri daripada mau mendengarkan.
Sikap seperti ini merusak hubungan kepercayaan antara rakyat dan pemimpin. Aristoteles dalam Politics (sekitar 350 SM) menegaskan bahwa polis (negara/kota) ada untuk mewujudkan kehidupan yang baik (the good life).
Ketika pemimpin mengadopsi gaya komunikasi yang merendahkan martabat rakyat, ia mengikis philia politikē yakni ikatan kebersamaan yang menjadi fondasi negara.
Masalah tak berhenti di situ. Selanjutnya kebijakan lima hari sekolah yang diterapkan tanpa dialog terbuka dengan masyarakat menunjukkan gaya kepemimpinan yang memaksakan kehendak (top-down).
Data dari Kementerian Pendidikan membuktikan bahwa di wilayah pedesaan, kebijakan lima hari sekolah sering berdampak buruk: biaya transportasi naik karena jarak sekolah jauh, orang tua harus mengeluarkan ongkos tambahan, dan ada risiko siswa dari keluarga miskin putus sekolah karena tidak mampu mengikuti beban baru ini.
Di sisi lain, pemerintah daerah justru menggelontorkan anggaran untuk proyek-proyek mahal yang manfaatnya dipertanyakan. Seperti renovasi Alun-Alun Pati yang menelan dana hingga Rp 2 miliar, dan juga proyek videotron menghabiskan Rp 1,39 miliar.
Hal ini juga menjadi faktor pemicu ledakan amarah rakyat, yang mana di tengah keluhan rakyat soal pajak dan biaya hidup, prioritas anggaran bermiliar-miliar itu dialokasikan pada infrastruktur yang harusnya bukan kepentingan urgent.
John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) menegaskan bahwa “Social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged” (prinsip perbedaan, difference principle).
Artinya, kebijakan dan alokasi dana publik seharusnya memprioritaskan mereka yang paling membutuhkan. Tapi yang terjadi di Pati justru sebaliknya. Dana besar mengalir ke proyek kosmetik, sementara kebutuhan mendesak seperti pendidikan murah, layanan kesehatan, dan infrastruktur desa terabaikan.
Kasus paling telanjang dari ketidakadilan ini adalah pemecatan 220 pegawai RSUD RAA Soewondo tanpa pesangon. Padahal mereka sudah lama mengabdi di sektor kesehatan, sektor yang menjadi urat nadi keselamatan publik.
Tidak ada ruang dialog, tidak ada solusi transisi, dan tidak ada perlindungan bagi mereka yang kehilangan penghasilan. Ini bukan hanya melanggar rasa kemanusiaan, tetapi juga mengindikasikan pelanggaran aturan ketenagakerjaan.
Gambaran ini membentuk satu pola jelas bahwa gaya komunikasi arogan, kebijakan tanpa partisipasi publik, dan alokasi anggaran yang timpang telah membuat rakyat kehilangan kepercayaan total. Ini bukan sekadar krisis kebijakan, melainkan krisis legitimasi yang menyentuh jantung pemerintahan di Pati.
Tindakan Etis Demi Rakyat yang Adil dan Makmur
Setelah legitimasi runtuh dan kepercayaan terpecah, satu-satunya jalan keluar konstitusional adalah pelengseran melalui hak angket. Ketika seorang kepala daerah kehilangan legitimasi moral dan politik, mekanisme konstitusional harus diaktifkan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati telah mulai membuka opsi hak angket, sebuah langkah yang mesti didukung penuh sebagai manifestasi fungsi kontrol terhadap eksekutif.
Ini bukan sebagai balas dendam politik, melainkan sebagai implementasi prinsip rule of law. Dalam prinsip rule of law, pelengseran bukanlah tindakan emosional, melainkan prosedur hukum yang sah untuk melindungi rakyat dari kerusakan lebih lanjut.
Thomas Aquinas, dalam Summa Theologica (sekitar abad ke-13), menekankan “lex iniusta non est lex” hokum yang tidak adil bukanlah hukum. Ketika seorang pemimpin menerapkan kebijakan yang justru menindas rakyat, mempertahankannya berarti menghianati hukum moral itu sendiri.
Pelengseran bukanlah tujuan akhir, melainkan awal perbaikan tata kelola. Pati membutuhkan kepemimpinan yang mampu menghargai partisipasi publik lewat dialog dan musyawarah, bukan lewat tantangan verbal.
Pati membutuhkan pemimpin yang dapat mengalokasikan anggaran berdasarkan urgensi dan manfaat maksimal bagi rakyat kecil. Serta, Pati membutuhkan pemimpin yang dapat mengembalikan hak-hak pekerja yang diabaikan, terutama di sektor kesehatan.
Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) menulis: “Freedom is at once the ultimate goal of social and economic arrangements and the most efficient means of realizing general welfare”.
Artinya, membangun masyarakat yang adil dan makmur berakar pada kebebasan yang nyata, bukan ilusi. Proyek boros dan kebijakan top-down mengekang kebebasan dasar rakyat sehingga berlawanan dengan semangat pembangunan yang sejati.
Maka, pelengseran Bupati Sudewo bukanlah sekadar pilihan politik, melainkan keharusan moral demi mewujudkan cita-cita “adil dan makmur” yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menunda langkah ini hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Pati.
Seruan Moral untuk Pati
Sejarah Indonesia membuktikan, rakyat punya batas kesabaran. Reformasi 1998 lahir dari akumulasi kebijakan menekan, komunikasi provokatif, dan krisis legitimasi yang tak terbendung. Pati hari ini berada di titik genting serupa, meski dalam skala daerah.
Kita tidak sedang membicarakan sekadar “proyek gagal” atau “kebijakan keliru”. Kita sedang menghadapi kegagalan kepemimpinan yang sistemik. Gagal melindungi, gagal mendengar, dan gagal berlaku adil. Dalam kondisi demikian, pelengseran bukan hanya hak, tapi kewajiban moral seluruh elemen demokrasi.
Demi tegaknya keadilan dan tercapainya kemakmuran bersama, suara rakyat Pati harus didengar, bukan sekadar untuk membatalkan pajak, melainkan untuk mengembalikan martabat kepemimpinan. Dan martabat itu hanya bisa pulih bila kursi Bupati berpindah tangan kepada pemimpin yang mengerti arti melayani.
***
*) Oleh : Nafi’atul Ummah, Peneliti NU Walfare.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |