
TIMESINDONESIA, RIAU – Belakangan ini muncul desakan untuk membangun kota humanis, sebuah kota yang memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Kota bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi, fisik, dan material yang gemerlap dengan segala aksesori di dalamnya.
Lebih dari itu, kota juga harus memberi ruang bagi asupan spiritual, rohani, dan hati warganya, yang dibungkus dalam dimensi sosial, budaya, dan agama.
Advertisement
Kota humanis bukanlah kota yang hanya tampak maju secara ekonomi dengan bangunan fisik yang mentereng, tetapi hampa dalam jiwa dan sanubari penghuninya. Model pembangunan semacam itu berpotensi melahirkan konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan kehancuran sumber daya alam.
Kota juga tidak boleh terjebak dalam euforia mengejar prestasi duniawi yang diukur sebatas angka pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur semata. Jika aspek jiwa, pikiran, sosial, budaya, dan keagamaan warga diabaikan, maka pembangunan menjadi pincang, timpang, dan tidak proporsional.
Bayangkan kota yang hanya menekankan syahwat ekonomi dan gemerlap pembangunan fisik, tetapi melupakan akar manusianya. Kota seperti itu tidak lagi memanusiakan warganya.
Memang, kota bisa tampak megah dengan gedung menjulang, jalan mulus, dan tata ruang indah. Namun di balik itu, kota bisa menjadi tempat yang tidak lagi nyaman dihuni.
Penyakit sosial merajalela, kriminalitas meningkat, pelanggaran HAM terjadi, narkoba dan minuman keras merusak generasi, perceraian dan prostitusi merebak, hingga pencemaran lingkungan merusak kualitas hidup. Alih-alih menyejahterakan, kota justru menjadi ruang yang tidak sehat lagi untuk ditinggali.
Sebaliknya, kota humanis mampu menyelaraskan pembangunan ekonomi, fisik, dan lingkungan dengan pembangunan manusianya. Kota humanis mendorong warganya tumbuh sehat, dinamis, harmonis, sekaligus ramah bagi pendatang.
Kota yang layak huni menyediakan peluang kerja yang cukup, infrastruktur yang berkualitas, lingkungan yang bersih, serta menjamin komunitas yang sehat. Kota ini menjadi ruang hidup sejati, yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan manusia sebagai subjek sekaligus objek.
Dalam konteks kota humanis, pembangunan tidak boleh merugikan, mengabaikan, apalagi meninggalkan satu pun warga. Infrastruktur megah dan lingkungan lestari boleh saja, bahkan penting.
Namun, semua itu tidak boleh menyingkirkan kebutuhan dan kepentingan manusia sebagai penghuninya, baik penduduk lokal maupun pendatang. Indonesia mutlak membutuhkan perencanaan kota humanis dari Sabang hingga Merauke.
Interaksi Kota dan Manusia
Hubungan antara kota dan manusia adalah relasi timbal balik yang tidak dapat dipisahkan. Manusia membentuk kota, dan kota pada gilirannya membentuk perilaku manusia. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Awalnya, kota dibangun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks: jalan, listrik, air bersih, hingga pengelolaan sampah. Kemudian berkembang ke infrastruktur sosial pendidikan, kesehatan, ibadah serta sarana ekonomi seperti pasar, pusat perdagangan, dan kawasan industri.
Bahkan, ruang rekreasi, hiburan, dan olahraga pun hadir sebagai bagian dari kebutuhan manusia. Semua ini wajar, karena manusia memang berfitrah untuk terus memperbaiki kualitas hidup.
Kota yang dirancang dengan baik mampu meningkatkan kesejahteraan warganya: ekonomi tumbuh, akses pendidikan dan kesehatan mudah, tempat ibadah tersedia, dan lingkungan terjaga. Udara segar, air bersih, pepohonan rindang, bebas banjir dan sampah, serta lalu lintas yang tertata menjadi indikator nyata kota sehat.
Namun, kota yang berkembang pesat juga menimbulkan implikasi baru. Pertumbuhan populasi membawa dampak kemacetan, pencemaran, kriminalitas, serta perubahan perilaku sosial.
Ritme hidup warga kota berubah: serba cepat, penuh tekanan, dan terjebak dalam tuntutan ekonomi. Warga kota cenderung individualistis, emosional, dan kehilangan kepedulian sosial. Kontras dengan kehidupan desa yang lebih santai, rukun, dan penuh kebersamaan.
Tak bisa dipungkiri, kota turut membentuk perilaku manusia. Tingkat urbanisasi memengaruhi cara bicara, gaya berpakaian, selera makan, hingga selera humor.
Dari kota kecil, sedang, hingga metropolitan, tuntutan hidup warganya kian kompleks seiring hierarki kota itu sendiri. Namun, pengaruh kota terhadap manusia tentu tidak seragam; faktor lain seperti agama, budaya, pendidikan, dan latar belakang sosial tetap berperan besar.
Singkatnya, manusia dan kota adalah dua entitas yang saling mengisi. Kota humanis hanya bisa terwujud jika pembangunan menempatkan manusia sebagai pusatnya. Tanpa itu, kota akan kehilangan ruh, sementara manusianya kehilangan kemanusiaan.
***
*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |