Kopi TIMES

Kemandirian Pesantren di Ujung Tanduk

Selasa, 02 September 2025 - 23:12 | 12.14k
Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Biro Pendidikan PB PMII.
Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Biro Pendidikan PB PMII.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam peta pendidikan nasional sejak enam setengah abad lalu pesantren telah lama menjadi entitas unik: mandiri, berjiwa komunitas, dan menjadi benteng moral sekaligus pusat pencerahan. 

Pengakuan negara terhadap kekhasannya akhirnya terwujud melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. UU ini adalah sebuah deklarasi bahwa negara tidak lagi memandang pesantren dengan kacamata uniformitas, tetapi menghargai keberagaman dan kemandiriannya.

Advertisement

Namun, belum genap lima tahun UU Pesantren diimplementasikan, dunia pendidikan kita sudah dihadapkan pada wacana besar: Revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang hendak mengkodifikasikan empat UU sekaligus, termasuk UU Pesantren. Rencana ini, yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, berambisi menjawab tantangan zaman seperti digitalisasi dan pemerataan pendidikan. 

Di balik ambisi mulia tersebut, terselip sebuah ancaman serius: penyeragaman sistem dan “resentralisasi wewenang” yang berpotensi mereduksi kemandirian yang justru baru saja diakui negara.

Penyatuan yang Terburu-buru atau Pengaburan Kekhasan?

Ide menyatukan membuat omnibus law UU Sisdiknas (20/2003), UU Guru dan Dosen (14/2005), UU Pendidikan Tinggi (12/2012), dan UU Pesantren (18/2019) dalam satu payung hukum terdapat menarik secara administratif. Fragmentasi regulasi seringkali menjadi biang kerok tumpang tindih kebijakan. 

Namun, yang patut dipertanyakan adalah logika di balik kodifikasi ini. Apakah penyatuan ini dilakukan untuk memperkuat fondasi sistem pendidikan yang menghargai keunikan setiap jalur, atau justru untuk memudahkan kontrol dan penyeragaman?

Pesantren bukan sekadar “sekolah” dengan kurikulum agama. Ia adalah ekosistem pendidikan yang utuh, dengan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi sanad keilmuan, otonomi pengelolaan, dan karakter community-based yang kuat. 

Memaksakan logika administrasi dan standar nasional yang kaku dari sistem pendidikan umum ke dalam tubuh pesantren adalah bentuk ketidakhormatan terhadap kekhasan yang justru dijamin oleh UU Pesantren. Risikonya adalah “pengebirian” secara halus terhadap UU yang merupakan hasil perjuangan puluhan tahun itu.

Menggadaikan Kekhasan atas Nama Standarisasi

Target RUU untuk meningkatkan kualitas guru dan pemerataan adalah hal yang mulia. Namun, jika instrument yang digunakan adalah pemaksaan standar nasional yang seragam untuk semua jenis pendidikan, maka kekhasan akan menjadi korban pertama.

Seperti ditegaskan Kementerian Agama dalam pembahasan RUU, pendidikan agama dan keagamaan bukanlah pelengkap, melainkan inti dari sistem pendidikan Indonesia. 

Pesantren adalah penjaga utama dari inti tersebut. Standarisasi kurikulum, rekrutmen guru, dan sistem penilaian yang terlalu rigid dan berasal dari “pusat” berpotensi mereduksi peran pesantren menjadi sekadar “penyedia layanan agama” untuk memenuhi checklist kurikulum nasional. Kemandiriannya terancam berganti dengan ketergantungan pada regulasi.

Tarik Ulur Kewenangan

Konflik laten yang tersirat dalam wacana revisi ini adalah tarik-ulur kewenangan antara Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Revisi ini akan "menggabungkan 4 UU terkait pendidikan".

Pertanyaannya, dalam RUU yang baru nanti, di manakah posisi otoritas Kemenag atas pendidikan keagamaan dan pesantren? Jika semua diatur di bawah satu UU Sisdiknas yang dominan di bawah kendali Kemendikti Saintek dan Kemendikdasmen, dikhawatirkan terjadi marginalisasi peran Kemenag. 

Seperti ditegaskan oleh Kemenag bahwa pendidikan agama dan keagamaan bukan pelengkap, tapi inti. Penyatuan yang tidak hati-hati berisiko menjadikan pendidikan keagamaan sekadar "bayang-bayang" dalam sistem yang besar.

Pengakuan, Bukan Penyeragaman

Negara hadir bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk memastikan setiap anak bangsa mendapat pendidikan terbaik sesuai dengan jalurnya. Jika tujuannya adalah pemerataan dan peningkatan kualitas, fokusnya harus pada:

Pertama, Memperkuat Implementasi UU Pesantren. Alih-alih menggantinya, negara harus lebih serius melaksanakan UU Pesantren, terutama dalam hal pendanaan, afirmasi, dan pendampingan untuk peningkatan mutu, tanpa intervensi terhadap otonomi substansialnya.

Kedua, Koordiansi, Bukan Integrasi. RUU Sisdiknas harus berfungsi sebagai payung besar yang mengakui keberadaan subsistem di bawahnya (umum, keagamaan, pesantren). Modelnya harus koordinatif, bukan integratif yang melebur. Kemenag harus tetap menjadi otoritas utama untuk pendidikan keagamaan.

Ketiga, Menjaga Semangat Otonomi. Revisi harus belajar dari UU Pesantren yang memberikan pengakuan terhadap kekhasan kurikulum, tenaga pengajar, dan gelar keilmuan pesantren (sanad). Semangat ini harus diadopsi, bukan ditinggalkan.

Revisi UU Sisdiknas adalah keniscayaan untuk menjawab zaman. Namun, kemajuan tidak boleh dibayar dengan mengorbankan khazanah budaya dan keunikan sistem pendidikan yang telah membentuk karakter bangsa ini. 

Jika RUU Sisdiknas hanya menjadi alat untuk resentralisasi dan homogenisasi, maka kita justru menggali kuburan untuk kemandirian dan kekhasan pesantren yang baru saja kita kenakan baju hukumnya. 

Negara harus memperkuat pengakuan, bukan menariknya kembali dengan regulasi yang seragam. Wacana ini harus dikritisi secara tajam agar tidak melahirkan kemunduran baru dalam dunia pendidikan Indonesia.

Pesantren telah membuktikan kemandirian dan kontribusinya bagi nation building selama berabad-abad. Jangan sampai atas nama “sistem nasional”, kita mencabutnya dari akar kemandiriannya dan mengubahnya menjadi sekadar onderdil dalam mesin birokrasi pendidikan yang sentralistik. Negara harus hadir untuk mengakui, bukan untuk menguasai.

 

***

*) Oleh : Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Biro Pendidikan PB PMII.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES