
TIMESINDONESIA, MALANG – Cepat atau Selamat? Adalah dua pilihan yang saat ini menghambat reformasi birokrasi di Indonesia. Alih-alih menciptakan tatakelola yang lebih baik, hegemoni eksesif wacana pemberantasan korupsi saat ini membuat birokrasi Indonesia yang lamban dan tidak efektif.
Kuasa naratif yang menundukkan birokrat, menjadikan mereka tahanan ketakutan, bukan pelopor inovasi apalagi agen pembaharu. Wacana tindak pidana korupsi (tipikor) dan maladministrasi yang digerakkan oleh Aparat Penegak Hukum, telah membentuk subjek birokrasi yang mandul oleh dogma ‘yang penting aman’. Inersia ini adalah belenggu terhadap daya cipta bangsa dan resistor laju kemajuan.
Advertisement
Resubjektifikasi Birokrasi
Inersia birokrasi adalah produk hegemoni wacana. Maka, reformasi birokrasi harus mendekonstruksi dengan menciptakan subjek baru yaitu, ASN Berani Inovasi. Narasi tanding ini akan mencipta birokrasi yang tidak hanya bersih, tetapi memimpin perubahan.
Namun keberanian tidak lahir dari ruang hampa. Ia butuh ekosistem kebijakan yang memberi ruang aman. Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah administrative safe harbor sebagai sebuah instrumen perlindungan terbatas bagi birokrat yang sedang menjalankan proyek inovasi.
Safe harbor bukanlah imunitas absolut, melainkan perlindungan bersyarat. Justru, dengan desain yang tepat, ia bisa menumbuhkan budaya inovasi tanpa mengorbankan integritas.
Langkah dapat dimulai dengan mengukuhkan amnesti maladministrasi bagi birokrat yang terbukti bersih, dengan kriteria yang eksplisit, seperti inovasi yang memacu dampak terukur, seperti proyek yang meningkatkan pertumbuhan daerah 5 persen dalam setahun. Ini adalah seruan bahwa keberanian adalah inti ASN Berani Inovasi.
Evaluasi birokrasi direkonstruksi, menghapus ritual prosedural demi metrik dampak seperti kecepatan pencapaian kinerja. Birokrat yang mencapai target ini mendapat promosi cepat dan imunitas hukum tambahan, menjadikan dampak sebagai identitas baru, menantang hegemoni prosedur. Resubjektifikasi birokrat dipercepat melalui pelatihan radikal berbasis simulasi krisis, misalkan dengan menargetkan 50 persen PNS memiliki kepemimpinan adaptif pada 2027, menggeser identitas dari penjaga dokumen SPJ ke pelopor pembangunan.
Pendekatan ini menawarkan keseimbangan baru: ruang bagi birokrat untuk bereksperimen tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas. Dengan mekanisme semacam ini, birokrat yang semula enggan mencoba akan lebih terdorong untuk mencari cara-cara baru dalam meningkatkan kualitas layanan publik atau mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Kontrak Inovasi
Untuk menggantikan pendekatan APH yang usang, reformasi memperkenalkan mekanisme “kontrak inovasi”. Di mana birokrat mengajukan rencana inovasi berisiko tinggi kepada dewan etik lintas-instansi yang terdiri dari regulator, akademisi, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Mekanisme ini harus memberikan persetujuan cepat, lengkap dengan perlindungan hukum sementara selama proyek berjalan.
Mekanisme ini menggugat wacana punitif, memungkinkan birokrat bereksperimen tanpa ancaman OTT, menciptakan ruang untuk kegagalan yang produktif. Narasi publik didekonstruksi melalui “platform keberanian inovasi” nasional, sebuah forum daring terbuka di mana birokrat berbagi kisah inovasi, dinilai oleh masyarakat melalui sistem poin transparan.
Inisiasi ini misalnya dapat menargetkan 60 persen publik memandang birokrat sebagai pelopor pada 2026. Ini bukan sekadar kampanye, tetapi alat untuk membentuk persepsi kolektif, menantang stigma ketakutan. Dewan etik independen dapat mengevaluasi kasus maladministrasi, menggunakan prinsip transparansi dampak kebijakan sebagai penawar atas kuasa APH yang saat ini sebagai pemegang otoritas tunggal kebenaran.
Melawan Inersia
Cepat atau aman? Dilema ini sejatinya hanyalah jebakan pikiran yang membuat birokrasi kehilangan nyali, dan ilusi itu harus diakhiri. Narasi publik tentang birokrasi tidak boleh lagi berhenti pada stigma “lamban dan takut salah”, tetapi harus digeser menuju citra baru sebagai pelopor pembangunan. Yang kita butuhkan adalah birokrasi yang berani menata ulang dirinya sebagai penggagas masa depan, di mana “ASN Berani Inovasi” bukan jargon kosong, melainkan reposisi peran dari sekadar penafsir aturan menjadi perancang solusi.
Untuk itu, aturan main harus diubah: kesalahan administratif tidak boleh membunuh inovasi, keberanian harus dihargai, dan dampak nyata harus menjadi ukuran utama. Birokrasi yang berani inilah yang akan memutus rantai ketakutan, menghidupkan energi kolektif, dan menegakkan supremasi inovasi. (*)
***
*) Oleh: Fadillah Putra, Dosen Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |