Kopi TIMES

Ketika Rakyat Menjadi Sapi Perah bagi Negara

Selasa, 09 September 2025 - 23:29 | 6.90k
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pajak adalah urat nadi negara. Tanpa pajak, pembangunan hanyalah mimpi kosong. Tetapi, apa jadinya bila urat nadi itu justru mencekik rakyatnya sendiri? Di negeri ini, pajak sering tampil sebagai wajah garang negara, bukan sebagai instrumen keadilan. 

Alih-alih menjadi alat redistribusi kesejahteraan, pajak justru menjelma beban yang menindih punggung rakyat kecil, sementara kaum berduit punya seribu cara untuk menghindarinya.

Advertisement

Setiap tahun, pemerintah bangga menyebut target penerimaan pajak tercapai. Angka-angka fantastis dipamerkan, seolah-olah negara sedang berjaya. Namun, di balik statistik itu, ada cerita getir: pedagang kecil yang resah dengan pungutan, pekerja kantoran yang gajinya dipotong otomatis, hingga masyarakat yang harus membayar pajak atas setiap aspek hidup. 

Ironisnya, sementara rakyat kecil patuh membayar, para konglomerat lihai menyelundupkan kekayaannya ke surga pajak, atau membeli perlindungan politik agar terbebas dari jeratan fiskus.

Pertanyaan mendasarnya: apakah pajak di negeri ini benar-benar adil? Pajak pertambahan nilai (PPN), misalnya, dikenakan secara rata tanpa pandang bulu. Rakyat miskin yang membeli beras, minyak goreng, atau pakaian murah dikenai pajak dengan persentase yang sama seperti orang kaya yang berbelanja barang mewah. 

Di titik ini, pajak tidak lagi menjadi alat pemerataan, melainkan mesin penindasan yang halus. Rakyat jelata diperlakukan sama dengan mereka yang hidup bergelimang harta sebuah ironi dalam negara yang katanya berasaskan keadilan sosial.

Kebijakan terbaru yang menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 adalah contoh nyata betapa negara sering abai membaca denyut rakyatnya. Di tengah harga kebutuhan pokok yang melambung, di tengah daya beli yang kian menurun, rakyat kembali dipaksa menanggung beban tambahan. 

Seolah-olah krisis ekonomi global dan lemahnya pengendalian harga domestik belum cukup menyiksa, kini pajak justru menambah luka. Bukankah tugas negara mestinya melindungi, bukan menindas?

Lebih menyakitkan lagi, di saat rakyat dipaksa setia membayar, berbagai kasus korupsi di sektor pajak terus mencuat. Publik belum lupa bagaimana pejabat pajak bisa hidup mewah dengan rumah megah, mobil sport, dan rekening jumbo yang tak masuk akal. 

Fenomena ini melukai rasa keadilan: rakyat dicekik, sementara aparatur pemungut justru berpesta. Bagaimana rakyat bisa ikhlas membayar bila pajaknya dipakai untuk memelihara kerakusan segelintir orang?

Di sinilah letak kritik paling tajam. Pajak semestinya menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama, bukan jebakan yang hanya memperkaya elite. Jika pemerintah terus memaksa menaikkan tarif tanpa memperbaiki tata kelola, maka yang tercipta hanyalah frustrasi sosial. 

Legitimasi pajak bergantung pada rasa keadilan; bila keadilan sirna, maka kepatuhan pun akan runtuh. Apa artinya kepatuhan jika rakyat merasa diperas tanpa balas jasa?

Namun, kritik ini harus diiringi tawaran solusi. Pertama, sistem pajak harus lebih progresif. Orang kaya yang menikmati fasilitas negara jauh lebih besar harus membayar pajak lebih tinggi dibanding rakyat kecil yang hanya berjuang untuk makan sehari-hari. Bukan malah sebaliknya, di mana beban rakyat miskin justru lebih terasa karena struktur pajak yang timpang.

Kedua, pemerintah harus serius menutup celah penghindaran pajak oleh korporasi besar. Jangan biarkan perusahaan multinasional menikmati keuntungan ratusan triliun tetapi membayar pajak minim karena bermain akuntansi. Negara harus hadir dengan aturan tegas, bukan tunduk pada lobi pengusaha.

Ketiga, transparansi penggunaan pajak wajib diperkuat. Rakyat berhak tahu kemana uang pajaknya mengalir. Jika pajak benar-benar digunakan untuk sekolah gratis, layanan kesehatan, infrastruktur desa, dan perlindungan sosial, rakyat akan lebih rela membayar. Tetapi jika yang terlihat hanya proyek mercusuar atau kemewahan pejabat, maka rasa keadilan akan semakin terkoyak.

Pajak memang tidak bisa dihindari. Tetapi cara negara memungut dan mengelolanya menentukan apakah pajak menjadi alat pembebasan atau justru jerat penindasan. Hari ini, yang dirasakan rakyat lebih banyak yang kedua. Negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pemungut yang keras kepala.

Di sinilah kritik sekaligus harapan harus terus dihidupkan. Rakyat kecil tidak menolak pajak, mereka hanya ingin keadilan. Mereka ingin melihat pajaknya kembali dalam bentuk rumah sakit yang layak, sekolah yang terjangkau, dan harga pangan yang stabil. Jika itu terwujud, pajak tidak akan lagi terasa sebagai cengkeraman, melainkan sebagai kontribusi ikhlas untuk negeri.

Negara harus ingat: rakyat bukan sapi perah. Mereka adalah pemilik sah republik ini. Memeras mereka dengan pajak yang mencekik hanyalah jalan menuju krisis legitimasi. Dan sejarah selalu mencatat: ketika rakyat sudah merasa ditindas, kekuasaan tak akan bertahan lama, sekuat apa pun ia mencoba.

 

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES