
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam dunia sastra dan bahasa, warna bukan sekadar soal estetika. Ia bisa dibaca sebagai teks kultural, sebagai tanda yang menyimpan ideologi, mitologi, sekaligus narasi sosial. Roland Barthes pernah mengingatkan bahwa tanda tidak pernah polos; selalu ada makna berlapis di baliknya.
Kalau kita menengok panggung politik Indonesia belakangan ini, warna pink dan green muncul bukan hanya sebagai pilihan gaya, tetapi juga sebagai simbol sosial yang sarat makna.
Advertisement
Di budaya populer Barat, pink sering dilekatkan pada kelembutan dan feminitas. Namun di Indonesia, warna ini mendapat tafsir baru. Kita melihat ibu-ibu berhijab pink di demonstrasi atau kampanye politik. Mereka bukan sekadar penggembira, melainkan aktor politik yang berani mengambil peran.
Dari kacamata semiotika, pink di sini bukan lagi sekadar warna manis atau imut, melainkan lambang kekuatan emosional yang mampu menggerakkan massa. Ia hadir sebagai simbol keberanian perempuan untuk bersuara di ruang publik yang kerap dikuasai laki-laki.
Pembacaan sastra dan bahasa memberi makna intertekstual: pink bisa dilihat sebagai bentuk subversi dalam teori gender. Ia mengganggu makna konvensional dengan cara menghadirkan tubuh-tubuh perempuan sebagai kekuatan politik. Fenomena ini menegaskan bahwa warna, seperti kata, bisa menjadi alat retorika yang efektif dalam membangun narasi perlawanan sekaligus dukungan.
Sementara itu, warna hijau (green) punya kisah berbeda. Ia melekat pada seragam para pengemudi ojek online sosok yang akrab di jalanan kota-kota Indonesia. Dalam semiotika, green melambangkan kehidupan, mobilitas, dan keberlanjutan.
Namun dalam praktik sosial, hijau itu juga membawa makna politik-ekonomi. Ia adalah simbol perjuangan rakyat pekerja di tengah ketidakpastian, sekaligus tanda ketergantungan masyarakat pada ekosistem ekonomi digital.
Kalau pink adalah kekuatan emosional-politik, maka green adalah kekuatan ekonomi-pragmatis. Para pengemudi ojol adalah pahlawan keseharian. Mereka bukan tokoh besar, tapi berperan nyata menjaga keberlangsungan hidup keluarga dan menopang mobilitas masyarakat. Inilah bentuk narasi baru tentang “hero” di zaman modern: bukan lagi raksasa sejarah, melainkan pekerja jalanan yang tiap hari bergulat dengan risiko.
Ketika kita menggabungkan pink dan green dalam satu bingkai Brave Pink Green Hero, muncullah simbol pertarungan identitas dan solidaritas sosial. Pink menandai keberanian perempuan di ruang politik, sementara green menandai perjuangan rakyat pekerja. Dua-duanya sama-sama “hero,” meski bergerak di arena yang berbeda.
Teori representasi Stuart Hall membantu kita memahami hal ini: warna tidak hanya mencerminkan realitas, tapi juga dikonstruksi untuk membentuk makna tertentu. Partai politik yang memilih pink untuk memobilisasi massa sedang merancang citra emosional. Sementara platform digital yang melekatkan hijau pada seragam ojol sedang membangun citra keandalan dan kerja keras.
Kata brave menjadi kunci yang menyatukan keduanya. Brave adalah keberanian ibu-ibu berhijab pink melawan stigma politik maskulin, sekaligus keberanian para green hero menghadapi kerasnya jalanan dan ketidakpastian hidup. Di sini, keberanian tidak lagi identik dengan perang di medan tempur, melainkan dengan keteguhan untuk bertahan hidup, bersuara, dan menuntut pengakuan.
Dengan kerangka semiotika, kita akhirnya bisa melihat bahwa Brave Pink Green Hero bukan sekadar kombinasi warna. Ia adalah metafora politik Indonesia hari ini. Pink mewakili emosi dan suara kolektif perempuan, green mewakili daya juang rakyat pekerja. Keduanya bersatu dalam narasi heroisme baru: keberanian rakyat kecil untuk hadir, bersuara, dan bekerja, meski seringkali tersisih dari sistem.
Warna, dengan demikian, bukan sekadar urusan estetika. Ia adalah bahasa politik yang menyuarakan siapa pahlawan sesungguhnya di era ini.
***
*) Oleh : Yusrina Dinar Prihatika, S.Hum., M.A., Dosen Sastra Inggris, FSBK Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |