Kopi TIMES

RUU Perampasan Aset: Saatnya Uang Rakyat Pulang ke Rakyat

Rabu, 10 September 2025 - 16:22 | 6.44k
Datuk Abd Karim Wailissa, Masyarakat Sipil.
Datuk Abd Karim Wailissa, Masyarakat Sipil.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kabar baik datang di awal 2025. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akhirnya masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bagi banyak orang, ini bukan sekadar daftar kerja DPR, melainkan secercah harapan bahwa uang rakyat yang selama ini dikuras oleh korupsi benar-benar bisa kembali. RUU ini bukan sekadar wacana hukum baru, melainkan janji keadilan yang sudah lama ditunggu masyarakat.

Kita tahu, Indonesia sudah terlalu sering dihadapkan pada ironi. Seorang pejabat terbukti korupsi, dijatuhi hukuman belasan tahun penjara, tetapi keluarganya tetap hidup mewah. Rumah megah tetap berdiri, mobil mewah masih melaju, bisnis tetap jalan dengan modal hasil kejahatan. 

Advertisement

Sementara itu rakyat kecil tetap saja harus membayar pajak, berjuang demi biaya sekolah anak, atau antre panjang di rumah sakit. Lalu orang bertanya: di mana letak keadilan kalau uang hasil korupsi tidak pernah benar-benar kembali ke negara?

Inilah kenapa RUU Perampasan Aset terasa mendesak. Selama ini sistem hukum kita masih berpegang pada pola konvensional: aset baru bisa disita setelah ada vonis pengadilan. 

Masalahnya, aturan ini sering mandek. Pelaku bisa kabur ke luar negeri, meninggal dunia sebelum kasusnya selesai, atau dengan lihai menyamarkan aset lewat perusahaan cangkang. Hasilnya, negara gigit jari sementara harta haram aman di tangan keluarga atau kolega.

Padahal, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan potensi kerugian akibat korupsi dalam sepuluh tahun terakhir bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Sayangnya, jumlah yang berhasil dipulihkan masih jauh dari harapan. 

RUU Perampasan Aset hadir untuk menjawab kebuntuan itu. Dengan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, negara bisa merampas aset tanpa harus menunggu vonis pidana, selama asal-usul harta tersebut terbukti tidak wajar.

Kehadiran aturan ini menyentuh langsung kepentingan publik. Setiap rupiah yang kembali ke kas negara bisa dipakai untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, atau subsidi pangan. Rakyat yang selama ini hanya jadi penonton penderitaan, bisa merasakan kembali manfaat uangnya. 

Aset haram yang selama ini dipakai untuk membiayai bisnis ilegal seperti narkotika, judi, atau pinjol ilegal, bisa diputus alirannya. Keadilan sosial pun lebih terasa, karena keluarga koruptor tidak lagi bisa hidup nyaman di atas penderitaan rakyat kecil.

RUU ini juga memberi efek jera yang nyata. Hukuman badan sering kali tidak cukup menakutkan. Tetapi jika harta ikut disapu bersih, para pelaku korupsi pasti berpikir dua kali. 

Lebih dari itu, RUU ini akan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Negara-negara lain hanya mau bekerja sama dalam pemulihan aset lintas batas jika kita punya aturan hukum yang sepadan.

Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata terhadap potensi penyalahgunaan. Kewenangan besar untuk merampas harta bisa saja dipelintir untuk kepentingan politik. Jangan sampai aturan yang niatnya mengembalikan uang rakyat justru jadi senjata untuk menekan lawan politik. 

Risiko lain adalah minimnya akuntabilitas dan potensi pelanggaran hak warga negara. Karena itu, RUU ini harus benar-benar dikawal oleh publik, akademisi, media, dan lembaga independen agar tidak keluar jalur.

Kita bisa belajar dari kasus-kasus besar di negeri ini. Dalam kasus BLBI, misalnya, kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, tetapi pemulihan aset berjalan lambat, penuh liku, dan banyak yang tak pernah kembali. Atau kasus narkotika, di mana bandar bisa ditangkap, tetapi aset yang menopang bisnis tetap tak tersentuh. Tanpa instrumen hukum yang jelas, negara akan selalu kalah cepat dari para pelaku kejahatan.

Di sinilah peran publik menjadi sangat penting. Kita tidak bisa hanya berharap pada pemerintah atau DPR. Masyarakat sipil, media, akademisi, dan aktivis harus ikut mengawasi proses legislasi agar tidak ada pasal yang melemahkan. 

Tekanan moral perlu terus diberikan agar pemerintah tidak menunda atau melunak di bawah tekanan elite. Publik juga harus ikut mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya RUU ini, karena semakin banyak yang paham, semakin besar dukungan yang bisa mengawal jalannya aturan ini.

RUU Perampasan Aset sejatinya adalah ujian besar bagi bangsa Indonesia. Apakah kita benar-benar serius menegakkan keadilan, atau hanya pandai membuat aturan tanpa keberanian melaksanakan? 

Kita tidak bisa lagi membiarkan uang rakyat menguap, tersangkut di luar negeri, atau dinikmati segelintir keluarga koruptor. Sudah saatnya kita berdiri bersama memastikan bahwa harta haram tidak lagi menindas rakyat kecil.

Kalau rakyat diam, uang hasil kejahatan akan terus mengalir ke kantong pribadi. Tetapi jika rakyat bersuara, jika kita ikut mengawal, RUU ini bisa menjadi senjata ampuh untuk mengembalikan hak publik yang selama ini dirampas. 

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal moral, soal masa depan bangsa. Dan masa depan itu hanya bisa terjaga kalau kita semua berani menjaga.

***

*) Oleh : Datuk Abd Karim Wailissa, Masyarakat Sipil.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES