Kopi TIMES

Mimpi Menjadi Negara Paripurna

Kamis, 11 September 2025 - 00:26 | 6.19k
Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap kali berbicara tentang negara, yang pertama muncul di benak kita tentu adalah janji. Janji perlindungan, janji kesejahteraan, janji kemakmuran. Negara, dalam arti paling sederhana, lahir untuk memastikan warganya hidup aman, sehat, dan sejahtera.

Tapi di tengah hiruk-pikuk politik, perebutan kekuasaan, serta jargon pembangunan yang tak pernah habis, pertanyaan sederhana ini kerap terlupakan: sudahkah negara hadir paripurna untuk kesejahteraan rakyatnya?

Advertisement

Kesejahteraan bukan sekadar soal angka pertumbuhan ekonomi atau laporan statistik dari kementerian. Kesejahteraan sejatinya adalah soal pengalaman hidup sehari-hari rakyat kecil: bisa makan dengan layak tanpa harus berhutang, bisa sekolah tanpa membebani orang tua, bisa berobat tanpa takut biaya, dan bisa bekerja dengan upah yang cukup untuk hidup bermartabat. Itulah ukuran paling nyata dari negara paripurna.

Sayangnya, realitas di Indonesia masih jauh dari gambaran itu. Kita memang punya jargon besar “Indonesia Maju”, “Transformasi Ekonomi”, “Kesejahteraan untuk Semua” tetapi di pasar-pasar tradisional, ibu rumah tangga masih mengeluh harga beras naik, di rumah-rumah sederhana banyak anak terancam putus sekolah, dan di pelosok desa masyarakat masih kesulitan mengakses layanan kesehatan. Rakyat seolah hidup dalam dua dunia: dunia janji negara di atas panggung, dan dunia realita yang mereka hadapi setiap hari.

Negara paripurna bukanlah sekadar retorika. Ia membutuhkan keberanian dalam kebijakan, keadilan dalam distribusi, dan keberpihakan pada mereka yang paling lemah. Dalam banyak hal, negara kita masih lebih sibuk melayani elite ketimbang rakyat kebanyakan.

Anggaran negara yang seharusnya menopang kesejahteraan kerap tersedot untuk proyek-proyek raksasa yang jauh dari kebutuhan dasar masyarakat. Jalan tol megah dibangun, bandara mewah diperluas, tetapi sekolah rusak dan puskesmas sepi dokter masih menjadi kenyataan.

Kesejahteraan sejati hanya bisa lahir jika negara benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Pajak yang dipungut dari rakyat seharusnya kembali dalam bentuk layanan publik yang bermutu. Subsidi seharusnya tepat sasaran, bukan bocor ke kelompok yang tidak berhak. Dan setiap kebijakan pembangunan seharusnya diukur dari seberapa besar ia mampu memperkecil jurang kesenjangan, bukan sekadar menambah daftar panjang pencapaian proyek infrastruktur.

Kita bisa belajar dari sejarah. Bung Karno, dalam pidato-pidatonya, sering menyebut cita-cita negara yang “berdiri di atas kaki sendiri” dan menghadirkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Sementara Bung Hatta mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia harus berasaskan gotong royong, bukan dikuasai segelintir pemodal. Kedua bapak bangsa ini menegaskan bahwa negara paripurna tidak boleh sekadar jadi penjaga hukum, tapi juga penggerak kesejahteraan.

Namun, kenyataan hari ini menunjukkan paradoks. Ketimpangan masih tinggi, angka pengangguran terselubung membayangi, dan akses terhadap kebutuhan dasar belum merata. Kita sering mendengar kabar tentang capaian ekonomi makro angka pertumbuhan, cadangan devisa, hingga kenaikan investasi tetapi semua itu belum otomatis berarti rakyat hidup lebih baik.

Apalah arti pertumbuhan ekonomi jika petani tetap merugi karena harga panen tak sebanding dengan biaya produksi? Apa gunanya investasi asing miliaran dolar jika pekerja lokal tetap jadi buruh dengan upah rendah dan tanpa jaminan masa depan?

Negara paripurna dalam kesejahteraan rakyat juga menuntut adanya keadilan struktural. Artinya, bukan hanya soal menyalurkan bantuan sosial sesaat, tetapi membangun sistem yang membuat rakyat mampu mandiri. Pendidikan yang berkualitas harus benar-benar bisa diakses semua kalangan.

Layanan kesehatan tidak boleh bergantung pada kemampuan membayar iuran. Pertanian dan industri lokal harus didukung agar rakyat tidak sekadar jadi konsumen, tetapi juga produsen yang berdaya.

Selain itu, kesejahteraan tidak bisa hanya dipandang dari sisi ekonomi. Ada dimensi martabat dan keadilan sosial yang tak kalah penting. Rakyat merasa sejahtera bukan hanya ketika perutnya kenyang, tetapi juga ketika suaranya didengar, haknya dihormati, dan masa depannya terjamin. Negara paripurna harus hadir bukan hanya dalam bentuk bantuan, tapi juga dalam ruang demokrasi yang sehat dan kebijakan yang transparan.

Lantas, bagaimana jalan menuju negara paripurna? Pertama, pemerintah harus berani menata ulang prioritas pembangunan. Fokus harus bergeser dari proyek prestisius ke kebutuhan dasar rakyat: pangan, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.

Kedua, sistem distribusi anggaran harus transparan dan akuntabel agar benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan.

Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat kecil harus jadi fondasi, bukan hanya tambahan. Dan yang terpenting, seluruh kebijakan harus berpijak pada prinsip keadilan sosial, bukan sekadar logika pasar.

Negara paripurna dalam kesejahteraan rakyat mungkin masih terasa seperti mimpi, tetapi mimpi itu bukan utopia. Ia bisa terwujud jika ada kemauan politik yang kuat, keberanian dalam melawan korupsi, serta komitmen untuk berpihak pada rakyat kecil.

Masyarakat sipil, akademisi, media, dan gerakan rakyat juga punya peran penting untuk terus mengawal agar negara tidak melenceng dari jalannya.

Pada akhirnya, ukuran keberhasilan sebuah negara bukan pada seberapa banyak gedung pencakar langit menjulang atau seberapa besar investasi asing yang masuk, tetapi pada wajah rakyatnya: apakah mereka bisa tersenyum dengan tenang karena hidupnya tercukupi. Negara paripurna adalah negara yang membuat rakyat merasa aman di tanah airnya sendiri, bukan sekadar penonton di negeri yang katanya kaya raya.

Dan di situlah tantangan terbesar kita: menjadikan negara ini benar-benar hadir paripurna, bukan hanya dalam pidato pejabat, tetapi dalam kehidupan nyata setiap rakyat.

 

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES