17+8: Dari Aspirasi Rakyat, Respons Pemerintah, dan Dinamika Publik

TIMESINDONESIA, MALANG – Tuntutan 17+8 yang belakangan menjadi topik panas di ruang publik, mencuat sebagai rangkaian desakan yang diarahkan kepada pemerintah dan DPR terkait sejumlah isu krusial. Tuntutan ini terdiri dari 17 poin utama yang bersifat strategis dan 8 poin tambahan yang dinilai sebagai turunan atau pelengkap dari agenda besar tersebut. Lahir dari keresahan berbagai kelompok masyarakat, terutama aktivis, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil, gerakan ini dinilai sebagai salah satu gelombang protes paling terstruktur dalam beberapa tahun terakhir.
Secara umum, 17 poin utama berfokus pada isu-isu besar seperti perbaikan sistem hukum, pemberantasan korupsi, penghentian pelemahan lembaga penegak hukum, peninjauan ulang kebijakan kontroversial, hingga pemenuhan hak-hak warga negara dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Sementara itu, 8 poin tambahan lebih mengarah pada isu teknis, seperti transparansi anggaran, evaluasi proyek strategis nasional, dan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.
Advertisement
Dari sisi pemerintah, respons awal terhadap tuntutan ini cenderung hati-hati. Presiden dan jajaran kementeriannya berupaya mengedepankan narasi bahwa sebagian tuntutan telah menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional. Mereka menekankan bahwa penyelesaian tidak dapat dilakukan secara instan, melainkan melalui proses bertahap yang memerlukan dukungan politik dan stabilitas ekonomi. Namun, langkah ini juga memunculkan kritik bahwa pemerintah cenderung reaktif hanya ketika tekanan publik menguat, bukan proaktif menyelesaikan masalah sejak awal.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Sementara itu, DPR berada di posisi yang lebih rumit. Beberapa anggota DPR menyatakan dukungan terhadap sebagian poin tuntutan, terutama yang berkaitan dengan penguatan demokrasi dan pemberantasan korupsi. Namun, sikap ini sering dipandang sebagai manuver politik, bukan komitmen substantif. Beberapa fraksi bahkan terkesan defensif, mempertahankan kebijakan atau undang-undang yang justru menjadi sumber protes. Kondisi ini memunculkan kesan bahwa DPR belum sepenuhnya mampu mengakomodasi aspirasi rakyat secara konsisten.
Dari perspektif lembaga HAM, tuntutan 17+8 ini memiliki dimensi yang signifikan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Beberapa poin menyoroti perlunya reformasi di sektor keamanan, penghapusan tindakan represif terhadap demonstran, dan jaminan kebebasan berpendapat. Komnas HAM dan organisasi HAM internasional menilai bahwa sebagian tuntutan tersebut sejalan dengan prinsip universal HAM, sehingga mereka mendorong pemerintah dan DPR untuk segera mengambil langkah konkret. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa tanpa sistem pengawasan yang kuat, implementasi akan sulit diwujudkan.
Di sisi lain, media sosial memainkan peran ganda dalam perkembangan isu ini. Di satu sisi, platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok menjadi saluran utama penyebaran informasi dan koordinasi gerakan. Tagar terkait tuntutan 17+8 beberapa kali menjadi trending, menunjukkan tingginya perhatian publik. Namun, di sisi lain, arus informasi yang cepat juga memicu misinformasi dan polarisasi opini. Ada narasi yang menganggap tuntutan ini sebagai agenda politik tertentu, sementara pihak lain melihatnya sebagai murni gerakan rakyat. Efek viral ini memaksa pihak berwenang untuk merespons lebih cepat, sekaligus membuat opini publik semakin terfragmentasi.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dan sosial, beberapa tuntutan memiliki implikasi besar terhadap kebijakan fiskal dan prioritas pembangunan. Misalnya, tuntutan transparansi anggaran dan evaluasi proyek strategis nasional dapat mempengaruhi alokasi dana pemerintah dan hubungan dengan investor. Di sisi sosial, keberhasilan pemenuhan tuntutan akan memperkuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, sementara kegagalannya berpotensi memperdalam ketidakpercayaan publik.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam kacamata politik, gerakan tuntutan 17+8 ini juga menjadi ujian terhadap kapasitas demokrasi Indonesia. Apakah negara mampu mendengarkan, mengakomodasi, dan merealisasikan aspirasi warganya tanpa mengorbankan stabilitas? Atau justru akan terjebak pada pola lama, di mana tuntutan besar hanya menjadi catatan sejarah tanpa tindak lanjut nyata?
Pada akhirnya, terlepas dari berbagai perbedaan pandangan, jelas bahwa tuntutan 17+8 mengandung isu-isu fundamental yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah, DPR, lembaga HAM, dan masyarakat luas berada di persimpangan untuk menentukan arah ke depan. Apabila tuntutan ini hanya direspons secara parsial atau simbolis, maka ketidakpuasan publik akan terus membesar. Sebaliknya, jika ditangani dengan serius, gerakan ini bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat demokrasi dan memperbaiki tata kelola negara.
Adanya tuntutan 17+8 ini menunjukkan betapa kuatnya aspirasi masyarakat untuk perubahan. Di balik perdebatan sengit, substansi dari gerakan ini adalah evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pemerintah dan DPR.
Lebih dari sekadar daftar tuntutan, ini adalah cermin dari kebutuhan mendesak akan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berpihak kepada rakyat. Isu-isu yang terkandung di dalamnya harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki sistem, bukan ancaman terhadap stabilitas. Pada akhirnya, semua isu terkait tuntutan ini harus bermuara pada kondisi pemerintahan yang lebih baik, di mana kebijakan lahir dari dialog tulus antara negara dan rakyatnya. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |