Kopi TIMES

Kemiskinan: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Sabtu, 13 September 2025 - 19:21 | 5.16k
Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar angka statistik dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), melainkan realitas pahit yang menghantui kehidupan jutaan rakyat. Setiap kali pemerintah merilis data penurunan angka kemiskinan, publik disuguhi narasi optimisme. 

Namun, di lapangan, wajah-wajah muram kaum miskin tetap sama: buruh harian yang tak tahu apakah esok masih ada pekerjaan, petani yang kesulitan membeli pupuk, hingga anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena biaya tak terjangkau. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kemiskinan bukan hanya soal rendahnya penghasilan, melainkan hasil dari ketimpangan struktural yang sudah lama mengakar. 

Advertisement

Sistem ekonomi yang cenderung memihak pada segelintir elit kerap membuat akses terhadap sumber daya tanah, modal, pendidikan, hingga kesehatan berada jauh dari jangkauan rakyat kecil. Akibatnya, mereka yang berada di bawah piramida sosial terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan antargenerasi.

Pemerintah kerap menyebut program-program pengentasan kemiskinan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Kartu Indonesia Pintar sebagai bukti nyata perhatian terhadap rakyat miskin. Namun, jika dicermati lebih dalam, program tersebut sering kali hanya berfungsi sebagai tambal sulam, bukan solusi jangka panjang. Bantuan tunai memang membantu sesaat, tetapi tidak mengubah posisi struktural rakyat miskin agar mampu mandiri dan lepas dari jerat ketergantungan. 

Lebih dari itu, banyak kebijakan yang justru kontradiktif. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang untuk kepentingan rakyat, pada praktiknya sering menggusur masyarakat kecil dari tanahnya tanpa kompensasi yang layak. Begitu pula kebijakan impor pangan yang kerap merugikan petani lokal. Ironisnya, mereka yang seharusnya dilindungi justru dikorbankan demi stabilitas pasar jangka pendek.

Kemiskinan hari ini pun tidak selalu tampak dalam bentuk tradisional seperti rumah reyot atau tubuh kurus kekurangan gizi. Ada wajah-wajah baru kemiskinan di era modern: buruh yang digaji rendah di tengah kota besar, pekerja gig economy yang hidup tanpa jaminan kesehatan dan masa depan, hingga mahasiswa yang berjuang membayar biaya kuliah sambil bekerja serabutan. 

Kesenjangan digital juga memperparah jurang ini. Di kota besar, akses internet menjadi pintu menuju peluang ekonomi, pendidikan, dan pengembangan diri. Namun di pelosok, sinyal telepon saja masih tersendat. Maka wajar jika masyarakat desa semakin tertinggal dalam kompetisi global yang menuntut kecakapan digital.

Tak bisa dipungkiri, agenda pengentasan kemiskinan kerap menjadi komoditas politik. Setiap menjelang pemilu, janji-janji penghapusan kemiskinan selalu digaungkan. Namun begitu kursi kekuasaan digenggam, janji itu sering kali lenyap di balik kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan elit dan oligarki ekonomi. 

Di sinilah letak kritik mendasar: kemiskinan rakyat tidak hanya soal lemahnya daya saing, tetapi juga akibat dari politik yang tidak berpihak. Program pembangunan yang kapitalistik lebih mementingkan angka pertumbuhan ekonomi dibandingkan pemerataan kesejahteraan. Padahal, pertumbuhan yang tinggi tak selalu berarti rakyat miskin terangkat dari jurang penderitaan. Pertumbuhan bisa saja hanya dinikmati segelintir orang kaya yang semakin menumpuk harta.

Untuk memutus rantai kemiskinan, solusi yang dibutuhkan bukan lagi sekadar karitas atau bantuan sesaat, melainkan pemberdayaan yang berkelanjutan. Akses tanah bagi petani kecil, pendidikan yang benar-benar terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, serta kesempatan kerja yang layak harus ditempatkan sebagai prioritas utama. 

Pendidikan, khususnya, perlu dipandang sebagai jembatan keluar dari kemiskinan. Namun biaya yang tinggi sering kali membuat kesempatan ini hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Pemerintah harus memastikan pendidikan vokasi, pelatihan keterampilan, dan beasiswa benar-benar tepat sasaran agar anak-anak miskin tidak lagi terjebak dalam lingkaran putus sekolah.

Selain itu, pelaku usaha mikro dan kecil juga membutuhkan dukungan serius berupa akses modal murah, pendampingan usaha, serta akses pasar yang adil. Sistem koperasi atau ekonomi berbasis komunitas bisa menjadi alternatif melawan dominasi kapital besar yang kerap menyingkirkan usaha kecil. 

Di era digital, pemerintah juga perlu memperluas literasi digital hingga ke pelosok desa agar masyarakat kecil tidak semakin tertinggal. Dengan akses internet yang memadai, peluang kerja jarak jauh, perdagangan daring, hingga pembelajaran online dapat menjadi pintu keluar dari keterbatasan geografis. Namun semua itu tidak akan berarti tanpa transparansi dan akuntabilitas. 

Pengentasan kemiskinan tidak akan berhasil jika masih dibajak oleh kepentingan politik dan praktik korupsi. Transparansi anggaran dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi program menjadi syarat mutlak agar kebijakan benar-benar sampai pada mereka yang membutuhkan.

Kemiskinan adalah luka sosial yang terus menganga di tengah euforia pembangunan. Tidak cukup hanya menambalnya dengan bantuan sesaat, tetapi harus ada transformasi struktural yang menyentuh akar permasalahan, yaitu ketimpangan akses terhadap sumber daya. Indonesia yang adil dan makmur hanya bisa terwujud jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar mengucapkan jargon populis. 

Mengentaskan kemiskinan bukanlah pekerjaan sehari semalam, melainkan komitmen jangka panjang yang membutuhkan keberanian politik, keseriusan kebijakan, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Pada akhirnya, ukuran keberhasilan pembangunan bukanlah berapa tinggi angka pertumbuhan ekonomi, melainkan seberapa banyak rakyat miskin yang benar-benar terbebas dari penderitaan.

***

*) Oleh : Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES