
TIMESINDONESIA, MALANG – Di negeri yang katanya demokratis, suara rakyat kini seolah menjadi barang mewah. Kita menyaksikan bagaimana ruang berekspresi dan menyampaikan aspirasi perlahan-lahan dikekang, dikontrol, bahkan dipidana.
Kasus penetapan enam aktivis sebagai tersangka, termasuk penangkapan Delpedro Marhaen dan Laras Faizati, adalah bukti telanjang bahwa aparat hukum tidak lagi sekadar menjadi pengawal ketertiban, melainkan alat kekuasaan untuk membungkam kritik.
Advertisement
Tuduhan penghasutan dalam aksi demonstrasi akhir Agustus yang berujung kerusuhan seakan menjadi pintu masuk untuk mengkriminalisasi semangat perlawanan.
Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara lantang, menantang kebijakan yang timpang, dan menegaskan hak-hak sipilnya. Namun, yang terjadi kini adalah sebaliknya. Setiap teriakan protes diposisikan sebagai ancaman, setiap barisan massa dianggap gangguan, dan setiap spanduk perlawanan disulap menjadi barang bukti kejahatan.
Sejak kapan aspirasi politik rakyat bertransformasi menjadi tindak pidana? Ataukah memang sejak awal negara ini hanya mengizinkan demokrasi sebatas slogan, tanpa benar-benar menginginkan rakyat berpikir dan bergerak?
Kriminalisasi terhadap Delpedro, Laras, dan empat aktivis lainnya bukan sekadar perkara hukum individual. Ia adalah pesan simbolik dari rezim. Jangan coba-coba melawan, jangan coba-coba bersuara. Pesan ini jauh lebih berbahaya dari sekadar vonis pengadilan, karena menciptakan efek jera sosial yang melumpuhkan.
Ketika satu kelompok dihadapkan pada jeruji, kelompok lain akan berpikir dua kali sebelum turun ke jalan. Inilah strategi senyap pembungkaman, di mana penguasa tidak perlu membubarkan gerakan dengan kekerasan massal, cukup dengan menjerat tokoh-tokohnya dan menyisakan ketakutan yang menular.
Kita perlu melihat kasus ini dalam lanskap yang lebih luas: krisis biaya hidup yang menjerat rakyat, kebijakan publik yang kerap berpihak pada pemodal, serta runtuhnya keberpihakan negara pada wong cilik.
Demonstrasi akhir Agustus lahir dari keresahan nyata, bukan sekadar romantisme perlawanan. Namun, alih-alih didengar, aspirasi itu justru dijawab dengan borgol. Bukankah ini bentuk nyata arogansi kekuasaan yang tidak lagi mengenal batas?
Lebih ironis lagi, ruang akademik dan organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi benteng kebebasan kini justru melempem. Kampus sibuk mengejar ranking internasional tapi bungkam saat mahasiswanya dikriminalisasi. Organisasi masyarakat banyak yang bertransformasi menjadi ornamen proyek pemerintah, lupa bahwa tugas utamanya adalah mengawal suara rakyat.
Ketika enam aktivis ditetapkan sebagai tersangka, di mana suara solidaritas kolektif? Mengapa jalanan yang dulu riuh dengan teriakan perlawanan kini sunyi, seakan semua telah disterilkan?
Inilah titik paling berbahaya dari praktik kriminalisasi: bukan hanya menjerat individu, melainkan membunuh ekosistem perlawanan. Gerakan sosial yang dulu mampu mengguncang kursi kekuasaan kini dibungkam dengan senjata hukum.
Sejarah bangsa ini berdiri di atas fondasi perlawanan rakyat. Reformasi 1998 tidak akan lahir tanpa keberanian massa aksi yang melawan tirani. Kini, dua dekade lebih setelah reformasi, kita kembali menyaksikan bagaimana keberanian itu dihukum, sementara rezim dengan nyaman menyebut dirinya demokratis.
Argumentasi bahwa kriminalisasi ini demi menjaga ketertiban hanyalah kedok. Ketertiban yang seperti apa? Ketertiban yang steril dari kritik? Ketertiban yang menjamin kenyamanan penguasa, sementara rakyat dicekik harga kebutuhan pokok?
Jika benar hukum adalah instrumen keadilan, seharusnya ia berpihak pada rakyat yang menuntut haknya, bukan menjadi palu godam untuk mematahkan suara mereka.
Situasi ini menuntut kita untuk bertanya lebih jauh. di mana posisi kita? Apakah kita akan terus menjadi penonton, membiarkan satu per satu aktivis dijerat, sementara kita sibuk dengan kehidupan masing-masing? Ataukah kita berani menghidupkan kembali tradisi solidaritas, membela mereka yang kini dipenjara karena keberanian mereka bersuara? Diam berarti ikut melanggengkan ketidakadilan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa rezim bisa jatuh bukan hanya karena bobroknya kebijakan, tetapi juga karena kebisuannya rakyat. Ketika rakyat berhenti bersuara, yang bertahan hanyalah tirani yang makin kuat. Namun ketika solidaritas dibangkitkan, ketika suara-suara kecil kembali bergema, jeruji besi tidak akan mampu menahan semangat perlawanan.
Kasus Delpedro, Laras, dan kawan-kawan adalah cermin kegagalan demokrasi kita. Mereka bukan kriminal, mereka adalah suara yang mewakili keresahan banyak orang. Jika aspirasi terus berujung jeruji, maka kita harus jujur mengakui, demokrasi kita sedang sekarat.
Dan dalam kondisi sekarat itu, tugas kita bukan sekadar meratap, tetapi bergerak. Karena kalau tidak, kita pun hanya akan jadi generasi yang menyaksikan kematian demokrasi tanpa pernah berbuat apa-apa.
Maka sekali lagi, pertanyaan yang paling relevan hari ini. Di mana kita semua? (*)
***
*) Oleh : Hainor Rahman, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |