
TIMESINDONESIA, MALANG – Di balik gemerlap dunia digital yang kerap dipuja sebagai tanda kemajuan, ada satu wajah buram yang jarang dibicarakan: generasi rentan dalam ekonomi gig. Mereka adalah pengemudi ojek online, kurir e-commerce, pekerja lepas kreatif, hingga content creator kecil yang hidup di bawah kendali algoritma.
Dalam lanskap ini, pekerjaan bukan lagi soal keterampilan atau dedikasi, melainkan soal bagaimana seseorang menundukkan diri pada sistem digital yang dingin, penuh persaingan, dan tanpa jaminan.
Advertisement
Ekonomi gig sering dipromosikan sebagai simbol fleksibilitas, kebebasan, bahkan “masa depan kerja.” Namun, realitas di lapangan jauh dari narasi indah itu. Fleksibilitas yang dijanjikan justru berujung pada ketidakpastian.
Jam kerja bisa panjang tanpa kepastian penghasilan, risiko pekerjaan ditanggung sendiri, dan tidak ada perlindungan sosial ketika sakit, kecelakaan, atau menghadapi penurunan permintaan. Fleksibilitas akhirnya hanya jadi topeng bagi sistem kerja eksploitatif yang disamarkan dengan aplikasi.
Para pekerja gig sesungguhnya sedang berada di titik rawan. Mereka tidak dianggap pekerja formal sehingga luput dari perlindungan undang-undang ketenagakerjaan. Namun, mereka juga bukan sepenuhnya independen karena bergantung pada platform digital yang menentukan tarif, algoritma pesanan, bahkan evaluasi kerja.
Relasi kerja asimetris ini membuat posisi pekerja semakin lemah: tanpa suara, tanpa serikat, dan tanpa akses advokasi. Inilah yang menjadikan generasi gig sebagai generasi rentan, sebuah kelompok sosial baru yang lahir di era digital.
Ketimpangan ini makin terasa jika melihat siapa yang paling banyak terserap dalam ekonomi gig. Anak muda, lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap dunia kerja formal, serta masyarakat kelas bawah yang mencari nafkah cepat, menjadi mayoritas.
Artinya, ada paradoks sosial: generasi muda yang disebut bonus demografi justru terjebak dalam pekerjaan tak pasti, berupah rendah, dan minim perlindungan. Alih-alih menjadi lokomotif pembangunan, mereka dipaksa beradaptasi dengan sistem kerja yang rapuh.
Pemerintah sering kali bersembunyi di balik retorika “transformasi digital” dan “peluang kerja baru.” Namun, keberadaan ekonomi gig justru memperlihatkan kegagalan negara menyediakan lapangan kerja layak.
Tidak semua orang bisa masuk ke sektor formal, sementara ruang-ruang kerja kreatif digital hanya menyerap segelintir kelompok yang punya akses modal, keterampilan, dan jejaring. Sisanya hanyalah pekerja platform yang hidup dari order harian, dengan penghasilan yang nyaris tak pernah cukup untuk membangun masa depan.
Dampak sosial dari situasi ini tidak bisa dianggap sepele. Ketidakpastian ekonomi membuat banyak pekerja gig terjebak dalam lingkaran utang, terutama melalui pinjaman online. Tekanan mental akibat persaingan dan algoritma yang tidak transparan juga melahirkan stres kronis hingga depresi. Dalam jangka panjang, generasi yang seharusnya menjadi tulang punggung bangsa justru kehilangan daya hidupnya karena diperas oleh sistem kerja yang tidak adil.
Masalah lainnya adalah lemahnya posisi tawar pekerja gig. Upaya untuk berserikat atau mengadvokasi hak kerap dipandang sebagai ancaman oleh perusahaan platform.
Kasus pemutusan akun sepihak bagi driver atau kurir yang bersuara lantang membuktikan betapa rapuhnya posisi pekerja. Ketika semua dikontrol aplikasi, ruang aspirasi tertutup rapat. Ini bukan sekadar isu ekonomi, melainkan juga soal demokrasi di ruang kerja digital.
Di titik ini, kita perlu menantang paradigma pembangunan yang hanya mengejar angka pertumbuhan tanpa memikirkan kualitas kerja. Pekerjaan yang layak bukan sekadar ada, tetapi harus memberi kepastian upah, perlindungan sosial, dan ruang untuk hidup bermartabat. Ekonomi gig, dalam bentuknya sekarang, jelas tidak memenuhi standar itu. Ia hanya menambah statistik orang bekerja, tanpa memastikan kesejahteraan pekerja.
Tentu, teknologi tidak bisa dihindari. Ekonomi gig mungkin akan terus tumbuh seiring kebutuhan masyarakat urban yang serba instan. Namun, membiarkan jutaan pekerja hidup tanpa perlindungan adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara tidak boleh hanya menjadi penonton yang memberi karpet merah pada platform digital, sementara pekerjanya dibiarkan hidup dalam ketidakpastian.
Beberapa negara sudah mulai merespons. Uni Eropa tengah membahas regulasi yang mengakui pekerja gig sebagai pekerja formal dengan hak dasar yang setara. Spanyol bahkan sudah menetapkan “Ley Rider” yang mewajibkan perusahaan platform memperlakukan kurir sebagai pekerja tetap.
Indonesia seharusnya belajar, bukan sekadar bangga dengan booming ekonomi digital. Tanpa regulasi yang tegas, kita hanya sedang memelihara bom waktu sosial: generasi muda yang kehilangan arah dan kepercayaan pada negara.
Pertanyaan paling mendasar kini adalah: sampai kapan kita membiarkan generasi rentan ini terus hidup di tepi jurang? Mereka bukan sekadar angka dalam laporan ekonomi digital, melainkan manusia dengan hak hidup layak.
Suara mereka mungkin terpinggirkan oleh gegap gempita promosi startup dan unicorn, tetapi di balik itu ada cerita getir tentang peluh yang tak pernah dihargai.
Di tengah puja-puji atas ekonomi digital, kita harus berani berkata: ada yang salah ketika kemajuan hanya dinikmati segelintir, sementara mayoritas pekerja terjebak dalam ketidakpastian.
Generasi gig adalah cermin dari wajah buram pembangunan kita. Jika negara gagal melindungi mereka, maka generasi rentan ini bisa berubah menjadi generasi hilang bonus demografi yang terbuang sia-sia.
***
*) Oleh : Agus Purnomo, S,P., Alumni Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |