
TIMESINDONESIA, MALANG – Kebijakan publik sejatinya lahir dari kebutuhan untuk menjawab masalah bersama. Ia merupakan wujud konkret kehadiran negara dalam melayani rakyat, bukan sekadar instrumen administrasi kekuasaan.
Namun dalam kenyataan, sering kali kebijakan publik justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan, hingga kehilangan orientasi dasarnya: menyejahterakan rakyat. Situasi ini membuat publik mulai meragukan apakah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sungguh mewakili aspirasi mereka, atau hanya sekadar kompromi elit politik dan pemilik modal.
Advertisement
Di Indonesia, kita bisa melihat paradoks itu dengan sangat jelas. Ketika harga kebutuhan pokok melambung, rakyat menanti kebijakan yang melindungi daya beli. Namun yang muncul justru kebijakan fiskal dan subsidi yang sering kali tidak tepat sasaran.
Bantuan sosial misalnya, kerap dijadikan alat politik menjelang pemilu, bukan program jangka panjang yang menyelesaikan akar persoalan kemiskinan. Kebijakan publik pun kehilangan makna karena lebih diperlakukan sebagai instrumen pragmatis ketimbang fondasi pembangunan berkelanjutan.
Problem lain yang juga mencolok adalah minimnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan. Secara teori, demokrasi mendorong keterlibatan rakyat dalam setiap tahap kebijakan: mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi.
Akan tetapi, di banyak kasus, rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek. Dengar pendapat publik lebih sering bersifat formalitas, sementara keputusan sebenarnya sudah ditentukan oleh kelompok-kelompok elite. Hal ini membuat kebijakan publik rentan ditolak di lapangan, karena rakyat merasa tidak dilibatkan sejak awal.
Lihat saja bagaimana polemik berbagai undang-undang besar beberapa tahun terakhir. Proses legislasi dilakukan terburu-buru, minim transparansi, dan cenderung abai terhadap masukan masyarakat sipil.
Akibatnya, gelombang protes bermunculan, dari jalanan hingga ruang digital. Ketika kebijakan publik lahir dari ruang tertutup, publik tidak hanya merasa diabaikan, tetapi juga dikhianati. Pada titik inilah krisis kepercayaan terhadap negara semakin menguat.
Selain soal partisipasi, kualitas kebijakan publik kita juga sering kali lemah dari sisi desain dan implementasi. Banyak kebijakan yang gagal mencapai target karena tidak didukung data akurat, koordinasi antarlembaga, maupun pengawasan yang kuat.
Misalnya, program pendidikan gratis dan bantuan kesehatan sering kali terhambat birokrasi berbelit dan praktik korupsi. Akibatnya, rakyat miskin yang semestinya menjadi penerima manfaat justru terpinggirkan.
Ironisnya, di sisi lain, kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran berjalan lancar, seolah menegaskan bahwa prioritas negara lebih condong pada proyek mercusuar ketimbang kebutuhan dasar masyarakat.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap pengaruh modal dalam pembuatan kebijakan. Relasi antara negara dan oligarki ekonomi telah lama menjadi perbincangan serius. Banyak kebijakan yang menguntungkan segelintir pengusaha besar, mulai dari regulasi investasi, perizinan pertambangan, hingga tata ruang wilayah.
Publik pun bertanya: untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dibuat? Ketika negara lebih ramah kepada investor ketimbang kepada petani kecil, buruh, dan nelayan, wajar jika muncul kesan bahwa kebijakan publik hanyalah perpanjangan tangan kapital.
Di tengah situasi seperti ini, urgensi reformasi kebijakan publik menjadi semakin mendesak. Pertama, proses kebijakan harus berbasis data yang valid, bukan sekadar intuisi politik. Pengambilan keputusan yang tidak berpijak pada data hanya akan menghasilkan program yang tidak efektif dan rawan gagal.
Kedua, partisipasi publik harus dilembagakan, bukan sekadar formalitas. Mekanisme musyawarah, forum warga, hingga konsultasi publik perlu diperkuat, agar rakyat benar-benar merasa memiliki kebijakan yang akan mengatur hidup mereka.
Ketiga, transparansi harus dijadikan prinsip utama. Semua tahapan kebijakan, mulai dari perencanaan anggaran hingga evaluasi, harus bisa diakses publik dengan mudah. Teknologi digital sebenarnya memberi peluang besar untuk membuka akses informasi, hanya saja komitmen politik untuk itu masih lemah.
Keempat, keberpihakan kepada kelompok rentan harus menjadi roh setiap kebijakan. Negara yang terus melayani kepentingan elit akan kehilangan legitimasi, sementara negara yang berpihak pada rakyat kecil akan memperoleh kepercayaan.
Penting juga menekankan bahwa kebijakan publik bukanlah dokumen mati, melainkan proses yang dinamis. Ia harus mampu merespons perubahan zaman, termasuk tantangan digitalisasi, krisis iklim, dan ketidakpastian global.
Artinya, pemerintah harus adaptif dan inovatif dalam melahirkan kebijakan. Tetapi adaptif bukan berarti tunduk pada pasar global, melainkan tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat.
Kebijakan publik adalah cermin kualitas demokrasi sebuah negara. Jika ia lahir dari ruang tertutup, berpihak pada segelintir elit, dan gagal menjawab kebutuhan rakyat, maka demokrasi hanya tinggal formalitas.
Namun jika kebijakan publik sungguh terbuka, transparan, berbasis data, dan berpihak pada yang lemah, maka di situlah demokrasi menemukan maknanya yang sejati.
Tantangannya kini: apakah negara berani mengembalikan kebijakan publik pada fitrahnya sebagai instrumen kesejahteraan rakyat, atau terus menjadikannya alat kompromi elit politik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah perjalanan bangsa kita ke depan.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |