Kopi TIMES

Gerakan Nurani Bangsa di Tengah Gejolak Politik

Selasa, 16 September 2025 - 05:13 | 9.02k
Haidar Fikri, M.A.P. Alumni Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret.
Haidar Fikri, M.A.P. Alumni Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret.

TIMESINDONESIA, SURAKARTA – Akhir Agustus menjadi saksi betapa suara rakyat yang tak didengar legislatif bisa berujung pada kerusuhan di berbagai daerah. Gelombang demonstrasi yang semula berangkat dari aspirasi, berubah menjadi aksi anarkis. Korban pun berjatuhan, mulai dari pengemudi ojek online, mahasiswa, pelajar, hingga anggota kepolisian. 

Tidak hanya manusia yang menjadi korban, fasilitas publik dan gedung pemerintahan ikut luluh lantak. Gedung DPRD di berbagai daerah dibakar, bahkan ikon Gedung Grahadi di Surabaya turut menjadi sasaran amuk massa.

Advertisement

Kekacauan ini lahir bukan tanpa sebab. Intinya ada pada aspirasi publik yang diabaikan serta kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat luas. Situasi ini mengingatkan kembali pada gejolak Reformasi 1998, di mana kerusuhan meluas, korban berjatuhan, dan fasilitas umum hancur. Sejarah seperti berulang, hanya dengan konteks yang berbeda.

Memasuki awal September, di tengah bara kerusuhan yang belum padam, sejumlah tokoh lintas agama mendatangi Presiden Prabowo dengan membawa semangat Gerakan Nurani Bangsa. Gerakan ini hadir sebagai penyejuk, menjembatani suara rakyat yang terabaikan dengan pemerintah. 

Mereka mendesak presiden untuk membentuk komisi investigasi atas kerusuhan akhir Agustus dan menuntut pembebasan mahasiswa serta pelajar yang masih ditahan agar masa depan pendidikan mereka tidak hilang di balik jeruji besi.

Gerakan ini juga menyoroti reformasi kepolisian isu yang kerap muncul dari masyarakat setiap kali terjadi benturan antara aparat dan rakyat. Presiden menyambut baik usulan tersebut dan berjanji akan membahasnya bersama pemerintah. Tentu ini menjadi langkah awal yang positif, meski publik tetap perlu mengawasi tindak lanjutnya.

Tokoh Agama sebagai Mediator

Dalam sejarah bangsa, tokoh agama kerap menjadi mediator moral di tengah ketegangan politik dan sosial. Kehadiran mereka membawa nuansa sejuk dan memberi ruang dialog ketika komunikasi antara rakyat dan pemerintah menemui jalan buntu. 

Gerakan Nurani Bangsa adalah wujud nyata peran itu: menyampaikan tuntutan masyarakat tanpa jargon politik dan tanpa klaim sektarian agama.

Kepercayaan publik terhadap tokoh agama, dalam situasi ini, lebih besar dibandingkan terhadap legislatif yang dianggap gagal menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. 

Maka, gerakan lintas agama ini seakan menjadi jalur alternatif aspirasi rakyat yang tidak tersampaikan melalui parlemen. Ia menjadi “lidah rakyat” ketika suara rakyat dibungkam atau diputarbalikkan oleh kepentingan politik.

Penting ditegaskan bahwa Gerakan Nurani Bangsa hadir bukan untuk mencari panggung politik. Aspirasi yang disampaikan lebih menitikberatkan pada persoalan fundamental bangsa: perbaikan ekonomi, penegakan HAM, serta reformasi kepolisian. Semua disampaikan tanpa muatan kepentingan partisan, melainkan atas dasar keprihatinan dan tanggung jawab moral.

Kehadiran gerakan ini menunjukkan bahwa ruang publik masih punya saluran selain jalur politik formal. Bahwa rakyat masih bisa menitipkan harapan melalui tokoh yang punya legitimasi moral, meskipun jalur politik formal seperti legislatif sudah kehilangan kepercayaan.

Gerakan Nurani Bangsa diharapkan bukan sekadar “api padam sementara” untuk meredakan gejolak politik. Ia seharusnya menjadi jembatan konsolidasi yang lebih kokoh antara masyarakat, pemerintah, dan legislatif. Jangan sampai peran ini berhenti hanya di istana, melainkan harus benar-benar mengakar dalam penyusunan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Lebih jauh, gerakan ini diharapkan mampu menjadi penyeimbang dan pengawas jalannya pemerintahan. Baik eksekutif maupun legislatif harus berjalan sesuai konstitusi dan prinsip demokrasi. Tokoh agama, dengan legitimasi moral yang dimiliki, bisa menagih janji pemerintah agar tetap berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan segelintir elite.

Kehadiran Gerakan Nurani Bangsa adalah pengingat: suara rakyat tidak boleh diabaikan. Jika politik formal kehilangan empati, maka hati nurani bangsa yang akan bicara. Dan selama nurani itu masih hidup, harapan bagi demokrasi Indonesia tidak akan pernah padam.

 

***

*) Oleh : Haidar Fikri, M.A.P. Alumni Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES