
TIMESINDONESIA, JEMBER – INDONESIA kerap disebut sebagai “raksasa tidur” dalam ekonomi syariah. Dengan populasi muslim lebih dari 240 juta jiwa, negara ini memiliki pangsa pasar yang sulit disaingi.
Pemerintah bahkan menargetkan Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada 2029, sejalan dengan kontribusi sektor ini yang diproyeksikan dapat menyumbang lebih dari setengah PDB nasional. Pertanyaannya, apakah ambisi besar tersebut realistis?
Advertisement
Jawaban yang muncul semakin mengarah pada kemungkinan besar, terutama jika peluang ekonomi digital dimanfaatkan dengan serius. Dua mesin utama yang akan menentukan arah perkembangan ini adalah e-commerce halal dan fintech syariah. Keduanya tidak lagi sekadar tren, tetapi fondasi baru bagi daya saing Indonesia dalam peta ekonomi global.
Belanja online kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Data Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce sepanjang 2024 mencapai Rp487 triliun, naik dari Rp453 triliun pada 2023. Angka ini menunjukkan masifnya migrasi konsumen ke platform digital. Dari arus besar tersebut, muncul fenomena menarik: e-commerce halal.
Tokopedia meluncurkan “Tokopedia Salam”, Shopee menghadirkan “Shopee Barokah”, dan sejumlah marketplace muslim berdiri dengan menawarkan produk halal secara lebih selektif. Fenomena ini menegaskan bahwa identitas halal telah masuk ke ranah digital sebagai standar baru gaya hidup.
Meski demikian, terdapat tantangan nyata. Konsumen Indonesia masih sensitif terhadap harga dan kualitas. Label halal saja tidak cukup bila produk lebih mahal atau kalah bersaing dari sisi mutu. Karena itu, UMKM halal yang masuk e-commerce perlu menjaga kualitas sekaligus memanfaatkan dukungan teknologi agar mampu bersaing.
Salah satu peluang besar terletak pada penerapan blockchain untuk sertifikasi halal. Teknologi ini memungkinkan konsumen memverifikasi keaslian sertifikat halal hanya dengan satu klik.
Transparansi semacam ini berpotensi meningkatkan kepercayaan publik sekaligus memperkokoh posisi e-commerce halal sebagai standar baru perdagangan digital.
Inklusi yang Membumi
Jika e-commerce halal berkaitan dengan konsumsi, maka fintech syariah berfokus pada akses. Selama ini, banyak pelaku UMKM halal kesulitan memperoleh modal dari bank konvensional. Fintech syariah hadir dengan skema pembiayaan berbasis bagi hasil, bukan bunga, sehingga lebih sesuai dengan prinsip Islam.
Tidak mengherankan bila Indonesia masuk lima besar global dalam industri fintech syariah menurut Global Islamic Fintech Report 2024/25. Perusahaan seperti Alami dan Amartha membuktikan model ini dapat berjalan dengan baik, menyalurkan dana investor kepada pedagang kecil, petani, hingga pengusaha makanan halal.
Keberadaan fintech syariah bukan sekadar soal keuangan, melainkan juga soal keadilan ekonomi. Akses modal kini tidak lagi monopoli pelaku usaha besar di kota.
Melalui platform digital, pelaku usaha kecil dari berbagai daerah dapat memperoleh kesempatan yang sama. Ditambah dengan dompet digital syariah, transaksi zakat, infaq, dan wakaf dapat dilakukan secara instan melalui gawai, memperkuat peran sosial ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Meski demikian, tantangan tidak sedikit. Tingkat literasi keuangan syariah masih rendah. Banyak masyarakat memahami halal haram secara umum, tetapi belum mendalami detail produk keuangan syariah.
Selain itu, jumlah ahli fiqih muamalah yang menguasai teknologi finansial masih terbatas. Kekurangan ini dapat menghambat inovasi bila tidak segera diatasi.
Waspada Terhadap Euforia
Proyeksi pertumbuhan memang menggiurkan. Nilai pasar halal domestik diperkirakan dapat menembus US$807 miliar pada 2030. Di sisi lain, ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$200-360 miliar pada periode yang sama. Jika kedua tren ini dipadukan, posisi Indonesia sebagai pemain global ekonomi digital syariah hampir tidak terbantahkan.
Namun, euforia tidak boleh membutakan realitas. Infrastruktur digital masih belum merata. Di kota besar, QRIS dan dompet digital sudah menjadi kebiasaan, sementara di banyak desa, sinyal internet masih menjadi barang mewah. Tanpa pemerataan, ekonomi digital syariah hanya akan dinikmati segelintir pihak di perkotaan.
Regulasi juga harus bergerak cepat mengikuti inovasi. Perlindungan konsumen, keamanan data, dan kepastian hukum atas produk digital syariah adalah kebutuhan mendesak. Kegagalan menjaga kepercayaan publik bisa melemahkan semangat membangun ekonomi syariah sejak dini.
Potensi pasar besar, dukungan kebijakan pemerintah, serta antusiasme generasi muda muslim yang kian melek digital adalah modal kuat yang dimiliki Indonesia. Namun, posisi sebagai konsumen saja tidak cukup. Indonesia harus berani tampil sebagai produsen dan inovator di panggung global.
E-commerce halal tidak boleh berhenti pada fitur tambahan di marketplace besar, melainkan berkembang menjadi ekosistem yang dapat menembus pasar internasional. Fintech syariah juga tidak boleh sekadar menjadi alternatif pembiayaan, melainkan menjelma menjadi pilar utama sistem keuangan yang inklusif dan berkeadilan.
Dengan konsistensi dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat, ambisi menjadikan Indonesia pusat ekonomi syariah dunia bukan lagi sekadar slogan. Ekonomi digital syariah dapat menjadi motor utama pertumbuhan sekaligus instrumen pemerataan.
Pada akhirnya, keberhasilan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang keadilan, kemandirian, dan martabat bangsa di kancah global.
***
*) Oleh : Sajad Khawarismi Maulana Musthofa., S.E., Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi UIN KHAS Jember.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |