
TIMESINDONESIA, MALANG – Berangkat dari layar kecil dan notifikasi yang tak pernah henti, generasi muda milenial dan Gen Z kini menentukan wajah pasar Indonesia. Mereka bukan sekadar konsumen pasif; mereka konsumen yang aktif membentuk produk, merek, hingga mekanik pasar lewat cara mereka belanja, berjejaring, dan berekspresi.
Tren ini menjanjikan peluang besar, tetapi juga menimbulkan tantangan serius: apakah industri, pemerintah, dan pendidikan siap merespons konsumen kekinian yang serba cepat, kritis, dan rentan?
Advertisement
Penetrasi internet Indonesia kini menembus sekitar 80% dari populasi, dan pengguna online sebagian besar mengakses lewat ponsel menghabiskan waktu rata-rata berjam-jam setiap hari di dunia maya. Ekonomi digital tumbuh pesat; nilai pasar digital dan e-commerce mencapai puluhan miliar dolar dan terus meningkat.
Di bawah tekanan ini, social commerce, live commerce, dan ekonomi creator meledak: perdagangan yang lahir dari jejaring sosial menjadi saluran dominan untuk merebut perhatian dan dompet anak muda. Data-data ini menunjukkan bahwa pola konsumsi bukan lagi soal barang semata, tetapi soal pengalaman, komunitas, dan narasi yang melekat pada produk.
Apa yang membedakan konsumen muda sekarang? Pertama, mereka digital-native. Riset menunjukkan Gen Z dan milenial lebih memilih interaksi dan pembelian lewat ponsel belanja cepat, review instan, dan keputusan pembelian yang dipengaruhi influencer atau teman online.
Kedua, mereka valuing experiences over things. Pengalaman (event, kafe aesthetic, workshop, virtual concerts) seringkali lebih dihargai daripada sekadar kepemilikan barang.
Ketiga, ada sentimen kehati-hatian finansial. Meski gemar "window shopping" digital, survei lapangan menandai adanya perilaku pembelian yang lebih selektif diskon, cicilan 0%, dan strategi budget menjadi penentu.
Keempat, mereka peduli citra sosial dan nilai sustainability, etika produksi, dan dukungan pada merek lokal sering menjadi faktor penentu loyalitas. Sumber industri menegaskan bahwa kemampuan beriklan lewat video pendek, live selling, dan komunitas membuat produk kecil pun bisa tumbuh cepat jika mampu "ngena" di hati konsumen muda.
Di lapangan, perubahan ini tampak nyata. Platform social commerce yang memadukan konten dan toko memungkinkan penjual rumahan atau UMKM menjadi penjual nasional dalam hitungan minggu. Live commerce penjualan lewat siaran langsung mendorong impulse purchase, sementara user-generated content jadi endorsement otentik yang sulit dibeli dengan iklan tradisional.
Kartu kredit dan dompet digital bukan lagi kemewahan: adopsi QRIS dan e-wallet meningkat drastis, sehingga transaksi di pasar tradisional pun kini bisa terjadi tanpa uang tunai. Ini memudahkan akses, tetapi juga menuntut literasi finansial yang lebih baik agar konsumen muda tidak terjebak utang konsumtif.
Namun tren ini juga melahirkan sisi gelap. Pertama, kultur “fast consumption” dan fast fashion berdampak ekologis dan etis. Produksi cepat limbah cepat, tenaga kerja murah, persoalan etika.
Kedua, algoritma platform yang mengutamakan engagement mendorong konten sensational yang memanipulasi preferensi dan memicu konsumsi tidak perlu.
Ketiga, eksploitasi data pribadi untuk micro-targeting menyentuh ranah privasi: anak muda terpapar iklan yang didesain untuk memicu FOMO (fear of missing out) dan pembelian impulsif.
Keempat, ketergantungan pada influencer menciptakan risiko reputasi. Ketika skandal merek atau influencer meletus, dampaknya bisa langsung menghancurkan bisnis kecil yang bergantung pada endorsement. Parahnya, banyak usaha kecil belum siap dengan strategi mitigasi reputasi atau kepatuhan hukum.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, korporasi perlu beradaptasi secara etis. Bisnis harus menggabungkan kecepatan inovasi dengan tanggung jawab: transparansi rantai pasok, desain produk berkelanjutan, dan kebijakan perlindungan data harus menjadi standar bukan opsi.
Kedua, pemerintah perlu mempercepat regulasi yang menseimbangkan dinamika pasar digital dengan perlindungan konsumen termasuk aturan tentang iklan yang menarget anak, perlindungan data, serta literasi keuangan dan digital yang diprogramkan ke sekolah dan kampus. Negara juga perlu mendorong infrastruktur kepercayaan misalnya sertifikasi UMKM digital dan mekanisme pengaduan yang efektif.
Ketiga, platform dan pemangku kepentingan industri harus menjalankan peran etis: kurasi algoritma yang bertanggung jawab, transparansi tentang endorsement berbayar, dan dukungan untuk UMKM agar tidak sekadar jadi feeder traffic tanpa nilai tambah.
Pelatihan digital entrepreneurship, audit etika konten, dan skema insentif untuk praktik bisnis berkelanjutan bisa mengubah keuntungan jangka pendek menjadi pertumbuhan berkualitas.
Keempat, masyarakat sipil, universitas, dan media punya peran krusial membangun literasi: mengajarkan cara memeriksa klaim iklan, memahami implikasi privasi, serta menumbuhkan budaya konsumsi yang sadar lingkungan dan sosial.
Generasi muda bukan masalah yang harus "dikendalikan", melainkan mitra. Mereka punya modal besar: kreativitas, kemampuan digital, dan preferensi yang memaksa pasar berinovasi. Namun jika semua pihak abai jika bisnis mengejar KPIs tanpa etik.
Jika regulasi tertinggal, jika pendidikan gagal menanamkan literasi kita akan melihat fenomena konsumen muda yang pintar memilih tetapi rentan dieksploitasi. Itu bukan sekadar masalah bisnis; itu masalah sosial dan demokrasi konsumsi.
Konsumen kekinian anak muda menuntut pasar yang responsif sekaligus beretika. Tantangan kita bersama adalah menancapkan aturan main yang menjaga keseimbangan: mendorong inovasi tanpa mengabaikan hak konsumen, mempercepat digitalisasi tanpa meninggalkan tanggung jawab sosial.
Jika tidak, kita sedang mewariskan generasi yang piawai klik “beli” tetapi miskin dalam kapasitas memilih secara rasional, berkelanjutan, dan bermartabat.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |