Kopi TIMES

Demokrasi Sakit

Rabu, 17 September 2025 - 11:28 | 6.03k
Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik serta Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.
Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik serta Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.

TIMESINDONESIA, GRESIK – Dalam sebuah tajuk opini di harian Kompas (16/9/2025) muncul istilah yang menggugah, imunitas demokrasi. Sebuah metafora yang menyandingkan demokrasi dengan tubuh manusia. Sehat bila daya tahan kuat, tetapi rentan roboh bila imunitas melemah. 

Demokrasi Indonesia kini tampak berada di persimpangan. Apakah ia masih memiliki antibodi untuk melawan penyakit kekuasaan? atau justru kian sakit hingga menularkan luka batin yang mendalam kepada rakyat?

Advertisement

Rakyat, dalam konstitusi kita, ditegaskan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Namun, kenyataan sehari-hari memperlihatkan paradoks. Suara rakyat kerap hanya menjadi angka yang dikalkulasi saat pemilu, selebihnya ditenggelamkan oleh kalkulasi elite. 

Tak heran bila Survei Kompas (29/8/2025) menemukan gejala menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan lembaga perwakilan. Angka kepercayaan yang menurun itu bukan sekadar statistik, melainkan refleksi dari rasa perih rakyat yang merasa ditinggalkan.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana imunitas demokrasi kian rapuh. Demokrasi yang sehat menuntut adanya check and balance, keterbukaan, serta partisipasi aktif warga. Namun, demokrasi kita justru didera oleh dominasi elite yang seakan kebal kritik. 

Bahkan, kebijakan publik sering lahir bukan dari aspirasi rakyat, melainkan dari kompromi elite politik dan oligarki ekonomi. Inilah penyakit kronis yang membuat demokrasi berjalan pincang. Rakyat menjadi objek, bukan subjek.

Luka batin rakyat makin dalam ketika keputusan-keputusan strategis negara diambil tanpa konsultasi publik yang memadai. Kenaikan tunjangan pejabat, perpanjangan masa jabatan, atau pengaturan hukum yang menguntungkan kelompok tertentu, sering terasa sebagai pengkhianatan terhadap janji kedaulatan rakyat. 

Luka ini berbeda dari sekadar kekecewaan sesaat. Ia merasuk ke dalam kesadaran kolektif, melahirkan ketidakpercayaan, bahkan apatisme politik. Bila dibiarkan, kondisi ini akan menimbulkan efek domino. Melemahnya legitimasi pemerintah, maraknya politik transaksional, hingga erosi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Dalam teori politik, imunitas demokrasi terjaga jika ada institusi yang kuat, civil society yang kritis, dan media yang independen. Namun realitas kita kerap berkebalikan. Institusi negara masih mudah digerogoti kepentingan sesaat, sementara sebagian masyarakat sipil terseret dalam polarisasi dan pragmatisme. 

Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, sering terjebak dalam kepentingan pemilik modal. Akibatnya, demokrasi kehilangan antibodi yang mestinya menjaga tubuhnya tetap sehat.

 Apakah ini berarti rakyat tidak berdaya? Tidak juga. Justru dalam situasi sakit inilah rakyat bisa menjadi sumber energi penyembuhan. Gelombang kritik publik, gerakan moral mahasiswa, hingga suara-suara alternatif di ruang digital, penanda bahwa antibodi demokrasi belum sepenuhnya mati. 

Meski kerap dianggap bising, suara rakyat adalah alarm yang mengingatkan elite bahwa demokrasi bukan milik mereka, melainkan milik bersama.

Sayangnya, elite politik sering menutup telinga. Alih-alih memperkuat imunitas demokrasi, mereka justru menciptakan mekanisme isolasi: membatasi kritik, mengendalikan informasi, bahkan menstigma oposisi. 

Dalam logika kesehatan, imun tidak pernah tumbuh dari sterilitas, tetapi dari interaksi dan perlawanan terhadap virus. Demikian pula demokrasi, ia hanya bisa sehat bila diuji oleh kritik, diperkaya oleh perbedaan, dan dikuatkan oleh partisipasi rakyat.

Di titik ini, penting bagi kita untuk membalik pertanyaan: siapa yang sebenarnya membutuhkan imunitas? Demokrasi, atau elite? Bila elite politik menciptakan “imunitas” bagi diri mereka sendiri dengan kekebalan hukum, kekuasaan tanpa batas, dan akses istimewa, maka yang sakit bukan hanya demokrasi, tetapi juga jiwa rakyat. Sebab rakyat merasakan ketidakadilan sebagai luka batin yang diwariskan lintas generasi.

Kita tahu, demokrasi tidak pernah sempurna. Ia selalu lahir dalam pergulatan, jatuh bangun, bahkan konflik. Namun, yang membedakan demokrasi sehat dan sakit adalah kemampuannya mendengar. 

Demokrasi yang sehat memberi ruang pada rakyat untuk mengungkapkan keresahan. Demokrasi yang sakit, sebaliknya, hanya memperdengarkan suara elite, lalu mengabaikan jeritan rakyat.

Maka, ketika Kompas mengingatkan soal imunitas demokrasi, itu bukan sekadar wacana akademis, melainkan panggilan etis. Demokrasi kita sakit karena lupa mendengar suara rakyat. Dan rakyat perih karena merasa dikhianati oleh sistem yang mestinya mereka miliki. 

Jalan penyembuhan tidak bisa instan. Ia menuntut kesediaan elite untuk merendahkan diri, membuka telinga, dan mengembalikan demokrasi pada pemilik sahnya, rakyat.

Jika tidak, demokrasi kita akan terus melemah. Luka batin rakyat akan membusuk menjadi ketidakpercayaan permanen. Bangsa ini bukan hanya kehilangan imunitas demokrasi, tetapi juga kehilangan jiwa kolektifnya.

***

*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik serta Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES