
TIMESINDONESIA, MALANG – Wacana pendidikan gratis kembali menjadi sorotan di era pemerintahan baru. Janji manis itu disampaikan seolah menjadi obat mujarab bagi keresahan masyarakat yang selama ini terbebani biaya sekolah dan kuliah.
Pendidikan, sebagaimana diatur dalam konstitusi, memang hak setiap warga negara yang harus dijamin negara. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Tetapi dalam praktik, kata “gratis” sering kali hanya berakhir sebagai jargon politik yang jauh dari realitas lapangan.
Advertisement
Dalam beberapa kesempatan, pejabat pemerintah menyampaikan komitmen bahwa tidak boleh ada anak yang putus sekolah hanya karena masalah biaya. Namun, apakah kebijakan pendidikan gratis ini betul-betul akan menjelma menjadi sistem yang berkeadilan, atau sekadar menjadi alat populisme politik untuk mengerek elektabilitas pemerintah baru? Pertanyaan itu layak kita ajukan sejak awal, agar masyarakat tidak kembali terjebak dalam ilusi.
Salah satu problem utama dari janji pendidikan gratis adalah soal anggaran. Pendidikan menyedot porsi minimal 20 persen dari APBN sesuai amanat undang-undang. Namun, realitasnya, alokasi tersebut seringkali lebih banyak habis untuk belanja pegawai, bukan untuk menanggung biaya pendidikan masyarakat secara langsung.
Program-program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang membantu, tapi tidak jarang sekolah masih meminta iuran tambahan untuk berbagai kebutuhan yang tidak tercakup.
Jika pemerintah baru berkomitmen memberikan pendidikan gratis, maka transparansi anggaran harus menjadi fondasi utama. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan berulang menjadi retorika. Gratis di atas kertas, tapi di lapangan tetap ada pungutan.
Dalam konteks ini, pertanyaan kritisnya: apakah pemerintah siap menambah alokasi anggaran secara signifikan? Atau justru akan membebankan biaya pada pemerintah daerah yang secara fiskal banyak yang belum kuat?
Pendidikan gratis seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai ketiadaan pungutan. Lebih dari itu, pendidikan gratis harus menjamin kualitas. Tidak ada gunanya jika sekolah gratis tapi ruang kelas reyot, guru kekurangan kompetensi, dan akses ke sumber belajar digital terbatas. Gratis tanpa kualitas hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial.
Kita bisa belajar dari beberapa negara yang sukses menerapkan pendidikan gratis berkualitas, seperti Finlandia. Di sana, gratis bukan hanya soal uang sekolah, melainkan jaminan fasilitas, kurikulum, hingga kesejahteraan guru. Pemerintahan baru seharusnya mengambil pelajaran bahwa kebijakan pendidikan gratis tidak bisa dilepaskan dari upaya perbaikan sistem secara menyeluruh.
Dampak bagi Perguruan Tinggi
Salah satu isu yang juga sering luput dari pembahasan adalah pendidikan gratis di level perguruan tinggi. Mahasiswa selama ini masih terbebani Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus meningkat. Pemerintahan baru jika ingin konsisten dengan gagasan pendidikan gratis, perlu memikirkan skema yang adil untuk mahasiswa.
Beberapa negara, seperti Jerman, berhasil menggratiskan pendidikan tinggi tanpa mengorbankan kualitas, dengan menempatkan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Namun, di Indonesia, perguruan tinggi justru semakin dipaksa mencari pemasukan sendiri. Komersialisasi pendidikan tinggi menjadi wajah nyata. Jika kondisi ini dibiarkan, maka jargon pendidikan gratis hanya berhenti di level pendidikan dasar dan menengah, sementara perguruan tinggi tetap menjadi ruang eksklusif bagi mereka yang mampu.
Kebijakan pendidikan gratis sangat rawan menjadi alat politik. Pemerintah baru bisa saja menjualnya sebagai pencapaian besar, padahal praktik di lapangan belum seindah narasinya.
Hal ini sudah terjadi dalam program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dipromosikan secara masif, tetapi dalam implementasinya tidak merata dan sering kali tidak tepat sasaran.
Masyarakat seharusnya tidak hanya menerima wacana pendidikan gratis sebagai hadiah politik. Kritik harus tetap dilayangkan: gratis seperti apa yang dijanjikan? Siapa yang akan paling diuntungkan? Apakah ini benar-benar berpihak pada anak dari keluarga miskin, atau justru menguntungkan mereka yang sudah mampu?
Menuju Pendidikan yang Membebaskan
Lebih jauh, kebijakan pendidikan gratis seharusnya diarahkan pada pendidikan yang membebaskan, bukan sekadar murah biaya. Pendidikan yang membebaskan berarti membuka akses bagi semua golongan, menghargai keberagaman, serta menumbuhkan daya kritis dan kreativitas anak bangsa. Gratis bukan tujuan akhir, melainkan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Era pemerintahan baru memiliki peluang untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya pandai berjanji, tapi juga konsisten membangun pondasi pendidikan. Jangan sampai pendidikan gratis hanya dipakai sebagai tameng untuk menutupi kegagalan di sektor lain. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan proyek politik lima tahunan.
Kebijakan pendidikan gratis di era pemerintahan baru memang terdengar manis dan penuh harapan. Namun, tanpa komitmen anggaran, transparansi, dan orientasi pada kualitas, ia hanya akan menjadi fatamorgana politik. Masyarakat perlu kritis membaca janji ini, agar tidak kembali menjadi korban narasi elitis.
Pertanyaan utamanya tetap sama: apakah pendidikan gratis benar-benar lahir dari komitmen negara mencerdaskan bangsa, atau sekadar menjadi jargon politik untuk membeli simpati rakyat? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan wajah masa depan pendidikan Indonesia.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |