
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menjanjikan delapan visi besar pembangunan. Di antara jargon ketahanan, pangan, hingga energi, terselip satu kata yang jarang disentuh pejabat publik: kesetaraan gender.
Ia memang tertulis di poin keempat, tetapi posisinya bagai catatan pinggir. Hampir setahun pemerintahan berjalan, kesetaraan gender lebih sering tampil sebagai hiasan dokumen resmi ketimbang pijakan nyata dalam kebijakan.
Advertisement
Padahal, kesetaraan gender bukan sekadar membuka jalan bagi perempuan duduk di kursi kekuasaan. Ia adalah fondasi pembangunan berkeadilan yang menyentuh semua sektor: ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hingga lingkungan. Menagih janji kesetaraan gender sama artinya dengan menagih masa depan Indonesia yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan.
Di bidang ekonomi, partisipasi perempuan masih stagnan di angka 54 persen, jauh tertinggal dari laki-laki yang mencapai 83 persen. Itu berarti jutaan potensi produktif perempuan dibiarkan terbuang. Padahal, laporan McKinsey memperkirakan kontribusi perempuan bisa menambah USD 12 triliun pada PDB global pada 2025 jika aksesnya setara.
Pemerintah sibuk bicara hilirisasi industri, tetapi abai pada “hilirisasi ketidakadilan gender”. Padahal, membuka ruang bagi perempuan di dunia kerja sama strategisnya dengan membangun pabrik nikel: keduanya menambah nilai, keduanya mendongkrak pertumbuhan.
Dalam pendidikan, lebih dari 70 persen guru di Indonesia adalah perempuan. Di tingkat PAUD, guru laki-laki bahkan tak sampai 2 persen. Namun, dalam perumusan kebijakan pendidikan, suara perempuan kerap tercecer. Ironis, sebab siapa yang lebih paham kebutuhan anak-anak jika bukan mereka yang setiap hari mengajar di kelas?
Asta Cita berbicara tentang generasi unggul, tetapi mustahil lahir generasi unggul jika guru perempuan hanya dipandang sebagai tenaga pelaksana, bukan pengambil keputusan. Kesetaraan gender dalam pendidikan bukan bonus tambahan, melainkan prasyarat kualitas SDM Indonesia.
Di ranah politik, dua dekade kebijakan kuota 30 persen caleg perempuan tak membawa lonjakan berarti. Pemilu 2024 hanya melahirkan 22,1 persen anggota DPR perempuan. Banyak kandidat perempuan ditempatkan di dapil sulit atau di nomor buntut sekadar pelengkap administrasi.
Jika pemerintah serius mengeksekusi Asta Cita, perlu reformasi regulasi politik. Demokrasi tanpa kesetaraan gender hanya menghasilkan panggung riuh tapi timpang perempuan tetap figuran, bukan aktor utama.
Pengalaman pandemi juga memberi pelajaran berharga. Mayoritas tenaga kesehatan, dari perawat, bidan, hingga tenaga gizi, adalah perempuan. Mereka berada di garda terdepan, tetapi jarang terwakili dalam kursi perumus kebijakan.
Tanpa perspektif gender, isu gizi keluarga, kesehatan ibu, hingga stunting hanya dipandang sebagai angka statistik. Padahal, kesehatan perempuan adalah kesehatan bangsa. Mengabaikan janji kesetaraan gender berarti membiarkan pembangunan kesehatan berjalan pincang, menambal luka tanpa menyembuhkan akar persoalan.
Dalam urusan lingkungan, peran perempuan juga menentukan. Perempuan desa adalah pengelola air, pangan, hingga sampah rumah tangga. Namun, kebijakan lingkungan jarang lahir dari pengalaman mereka. Padahal, adaptasi perubahan iklim akan lebih berhasil jika perempuan dilibatkan sejak awal.
Di titik ini, Asta Cita harus dibaca ulang bersama agenda SDGs. SDG 13 tentang aksi iklim tidak mungkin berhasil tanpa keberpihakan pada SDG 5 tentang kesetaraan gender. Tanpa perempuan, strategi lingkungan hanya akan jadi proyek teknokratik rapi di atas kertas, tetapi jauh dari realitas dapur rakyat.
Asta Cita bukanlah brosur kampanye yang bisa dilipat dan dilupakan, melainkan komitmen politik yang harus hidup dalam kebijakan lintas sektor. Poin kesetaraan gender di dalamnya mestinya menjadi roh pembangunan, bukan sekadar catatan kaki.
Menagih janji kesetaraan gender bukan sebatas menuntut kuota atau kursi tambahan. Ini soal keberanian menempatkan perempuan sebagai subjek pembangunan, bukan objek pelengkap. Tanpa itu, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan berkilau di baliho, tetapi rapuh di dalam.
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |