PMII dan Khittah Plus Mahbub Djunaidi Abad Kedua NU

TIMESINDONESIA, NGANJUK – NU memasuki abad keduanya dengan tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding seratus tahun pertama. Dinamika global yang tidak menentu, perkembangan teknologi yang mengubah tatanan sosial.
Politik nasional yang penuh intrik, menuntut NU untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memimpin arah peradaban. Sejarah memang penting, namun berhenti pada nostalgia tanpa menafsirkannya ulang hanya akan membuat NU kehilangan relevansi.
Advertisement
Kembalinya NU ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984 merupakan keputusan strategis yang menyelamatkan organisasi dari keterpurukan politik praktis pada era Orde Baru. Namun, keputusan tersebut tidak bisa dimaknai sebagai sikap final untuk selamanya.
Khittah bukanlah dogma yang beku, melainkan strategi yang lahir dari konteks sejarah tertentu. Jika dulu Khittah menjadi jawaban atas represi politik dan kekecewaan terhadap PPP, maka dalam konteks saat ini, tafsir atas Khittah menuntut pembacaan baru yang lebih progresif.
Gagasan Mahbub Djunaidi tentang Khittah Plus hadir sebagai tawaran jalan tengah. Bagi Mahbub, politik tidak identik dengan perebutan kekuasaan semata, melainkan instrumen untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.
Membatasi NU agar steril sepenuhnya dari politik justru berpotensi menghilangkan daya tawar NU dalam menentukan arah bangsa. Karena itu, Khittah Plus harus dipahami sebagai upaya menyeimbangkan antara ruh perjuangan sosial-keagamaan NU dengan keterlibatan aktif dalam politik kebangsaan.
Pemikiran Mahbub Djunaidi sejalan dengan visi yang kini dikemukakan Gus Yahya melalui gagasan “Agenda Peradaban.” Politik, dalam kerangka ini, bukan lagi dilihat sebagai ruang kotor yang harus dihindari, tetapi sebagai jalur cepat untuk membangun peradaban. Dengan kata lain, politik tidak boleh menjadi tujuan akhir, melainkan sarana strategis untuk memperjuangkan kepentingan umat.
Dalam konteks ini, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memegang peranan penting. Sebagai organisasi kaderisasi yang lahir dari rahim NU, PMII tidak boleh berhenti menjadi penonton dalam panggung sejarah.
PMII harus tampil sebagai kekuatan moral-intelektual yang mampu menafsirkan Khittah Plus sesuai tantangan zaman. Mengabaikan politik hanya akan menyerahkan ruang publik kepada kekuatan pragmatis yang abai terhadap kepentingan umat.
PMII semestinya tampil sebagai laboratorium politik peradaban, tempat lahirnya kader-kader yang bukan hanya cakap berteori, tetapi juga mampu merumuskan strategi kebangsaan yang etis, visioner, dan berpihak pada rakyat. Tafsir baru Khittah Plus menuntut keberanian untuk menempatkan politik sebagai instrumen perjuangan, bukan sekadar ruang bagi perebutan jabatan.
Abad kedua NU adalah momentum emas untuk menghidupkan kembali gagasan-gagasan visioner yang pernah lahir dari tokoh-tokoh besar seperti Mahbub Djunaidi.
Membaca ulang Khittah Plus berarti menegaskan bahwa NU tidak boleh tenggelam dalam pragmatisme politik, tetapi juga tidak boleh menutup mata dari kenyataan bahwa politik adalah arena strategis yang menentukan wajah bangsa.
PMII, dengan warisan intelektual Mahbub, dituntut untuk menjadi pelopor dalam menafsirkan ulang peran politik NU di abad kedua ini. Jika tafsir baru itu benar-benar dijalankan, maka NU bukan hanya akan tetap relevan, tetapi juga mampu menuntun bangsa menuju peradaban yang lebih adil, bermartabat, dan berkeadaban.
***
*) Oleh : Muhammad Alwi Hasan, S.hum., Pengurus Lakpesdam PCNU Nganjuk.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |