Kopi TIMES

Pemotongan Anggaran TKD: Resentralisasi Terselubung

Jumat, 19 September 2025 - 09:06 | 17.70k
Husnul Hakim SY, MH., Dekan Fisip Unira Malang dan Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
Husnul Hakim SY, MH., Dekan Fisip Unira Malang dan Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebijakan pemotongan anggaran transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat di tahun 2025 menandai titik balik yang mengkhawatirkan dalam perjalanan desentralisasi Indonesia. Sebelum di reshuffle, Menteri Keuangan Sri Mulyani secara resmi menerbitkan peraturan khusus untuk memangkas anggaran transfer ke daerah, dengan nilai pemotongan mencapai Rp50 triliun.

Kebijakan ini dituangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, yang memangkas anggaran transfer daerah hingga Rp50,6 triliun. Kebijakan ini masih belum ada perubahan walaupun menteri keuangan telah berganti.

Advertisement

Di balik narasi "efisiensi belanja" yang diusung pemerintah, tersembunyi agenda yang lebih fundamental, pelemahan sistematis terhadap otonomi daerah dan demokrasi lokal.

Anatomi Pemotongan TKD

Penjelasan kementrian keuangan, rincian pemotongan anggaran transfer ke daerah mencakup berbagai pos strategis diantaranya Cadangan Kurang Bayar Dana Bagi Hasil senilai Rp13,9 triliun, dan Cadangan Dana Desa sebesar Rp2 triliun, dengan total pemotongan mencapai Rp50,59 triliun.

Padahal, alokasi Transfer ke Daerah dalam APBN 2025 mencapai Rp 919,87 triliun, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp192,28 triliun yang meliputi DBH Pajak Rp77,30 triliun dan DBH Sumber Daya Alam Rp85,92 triliun.

Dana Bagi Hasil, merupakan bagian dari implementasi dari prinsip money follows function bahwa setiap pelimpahan fungsi pemerintahan kepada daerah harus disertai dengan sumber pembiayaan yang memadai. Ketika cadangan dana ini dipotong, maka prinsip fundamental desentralisasi fiskal menjadi terancam.

Pemotongan ini tidak bersifat acak, melainkan menyasar pos-pos yang paling berpengaruh terhadap kemampuan daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.

Begitu juga dengan Dana Desa yang ikut terpangkas, juga memiliki implikasi serius. Dana Desa ini merupakan instrumen vital untuk pemberdayaan masyarakat di tingkat paling grass-root.

Pemotongannya tidak hanya mengurangi kapasitas pembangunan desa, tetapi juga melemahkan partisipasi demokratis masyarakat dalam mengelola pembangunan lokal.

Desentralisasi dalam Perspektif Teoritis

Desentralisasi dalam kerangka teoretis, bukan sekadar pembagian kewenangan administratif, melainkan redistribusi kekuasaan politik dan fiskal dari pusat ke daerah.

Desentralisasi merupakan kebijakan penting untuk mengalihkan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi pelayanan publik, responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan lokal, dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.

Teori desentralisasi fiskal menekankan bahwa kemampuan daerah untuk membiayai fungsi-fungsi pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya merupakan prasyarat mutlak bagi keberhasilan otonomi daerah. Tanpa dukungan fiskal yang memadai, otonomi daerah akan menjadi "empty box", kotak kosong tanpa substansi.

Era otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kedua undang-undang ini, meskipun telah mengalami beberapa kali revisi, tetap mempertahankan prinsip dasar bahwa otonomi daerah harus disertai dengan kemandirian fiskal atau, minimal, dukungan transfer yang memadai dari pusat. Walaupun dalam UU Otonomi daerah yang terakhir (UU 23 Tahun 2014) banyak kewenangan daerah yang kembali ditarik ke pemerintah pusat.

Pemotongan anggaran transfer secara masif seperti yang terjadi saat ini bertentangan dengan spirit dan substansi desentralisasi fiskal. Ini mengindikasikan adanya involusi dalam proses desentralisasi, kemunduran ke arah sentralisasi yang lebih terselubung dan halus dibandingkan model sentralisasi otoriter era Orde Baru.

Erosi Partisipasi dan Pelayanan Publik

Hampir seluruh pemerintah daerah masih bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat, sehingga kebijakan pemotongan anggaran transfer (TKD) memiliki efek domino yang luas terhadap kualitas demokrasi lokal.

Ketergantungan fiskal ini menciptakan paradoks dalam otonomi daerah, dimana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri, namun tidak memiliki sumber daya dan dana yang cukup untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Maka, kebijakan pemotongan TKD ini akan sangat terasa dampaknya bagi pemerintah daerah, dampak pertama adalah melemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik yang berkualitas.

Ketika anggaran terbatas, prioritas akan diberikan kepada pengeluaran yang bersifat wajib dan rutin, seperti gaji pegawai dan operasional dasar. Program-program inovatif, pelayanan publik yang responsif terhadap kebutuhan spesifik masyarakat lokal, dan investasi jangka panjang akan menjadi korban pertama dari pemotongan anggaran.

Otonomi daerah seharusnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola daerahnya dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang lebih semarak, serta membuat kebijakan-kebijakan publik yang lebih transparan.

Namun, ketika ruang fiskal menyempit, ruang politik juga ikut menyempit. Pemerintah daerah akan lebih fokus pada survival fiskal daripada inovasi dan partisipasi demokratis.

Dampak kedua adalah berkurangnya insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik lokal. Ketika pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk merespons aspirasi masyarakat, kredibilitas sistem politik lokal akan terkikis. Masyarakat akan kehilangan trust terhadap pemerintah daerah dan, pada akhirnya, terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Memperdalam Jurang Antar Daerah

Dana Transfer (TKD) dari pemerintah pusat berfungsi sebagai mekanisme equalization, pemerataan kapasitas fiskal antar-daerah. Daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang lemah akan merasakan dampak yang lebih parah dibandingkan daerah-daerah yang relatif lebih mandiri secara fiskal.

Pemangkasan dana transfer (TKD) ini dapat mengganggu jalannya pemerintahan daerah, melemahkan otonomi daerah, membuat buruknya pelayanan publik, dan memperlambat pembangunan di tingkat lokal.

Indonesia memiliki tingkat ketimpangan fiskal antar-daerah yang sangat tinggi. DKI Jakarta, misalnya, memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) per kapita yang puluhan kali lipat lebih besar dibandingkan kabupaten-kabupaten di Papua atau Nusa Tenggara Timur.

Ketika transfer dipotong, daerah-daerah kaya akan lebih mampu bertahan dengan mengandalkan PAD mereka, sementara daerah-daerah miskin akan mengalami krisis fiskal yang parah.

Untuk menutup kekurangan anggaran, daerah kemungkinan besar akan menaikkan pajak, termasuk PBB, yang berpotensi menimbulkan gejolak politik, ekonomi, hingga sosial seperti yang terjadi di Kabupaten Pati Jawa Tengah beberapa hari lalu.

Strategi peningkatan PAD melalui kenaikan pajak daerah ini sebenarnya kontraproduktif. Sebagaimana dikatakan Anggota Komisi II DPR Deddy Sitorus, "Meningkatkan PAD dengan cara apa?

Dengan cara paling gampang tidak perlu orang pintar, menaikkan pajak". Pendekatan ini bukan hanya lazy policy, tetapi juga regressive, memberatkan masyarakat kelas menengah dan bawah yang menjadi objek pajak daerah.

Resentralisasi Terselubung

Narasi "efisiensi belanja" yang digunakan untuk membenarkan pemotongan anggaran transfer sebenarnya menimbulkan bias ideologis tertentu. Efisiensi, dalam konteks ini, didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan daerah dalam proses pengambilan keputusan. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip desentralisasi yang menekankan pada shared decision-making dan cooperative federalism.

Resentralisasi terselubung terjadi ketika pemerintah pusat, tanpa mengubah kerangka hukum formal tentang otonomi daerah, secara sistematis mengurangi kapasitas daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi otonom mereka. Pemotongan anggaran transfer adalah instrumen yang paling efektif untuk mencapai tujuan ini.

Dengan mengurangi transfer, pemerintah pusat secara tidak langsung "memaksa" daerah untuk kembali bergantung kepada pusat. Daerah-daerah yang mengalami kesulitan fiskal akan cenderung mencari bantuan atau program-program khusus dari pusat, yang tentu saja disertai dengan berbagai syarat dan kondisi yang menguntungkan pusat.

Pola ini menciptakan hubungan patron-client antara pusat dan daerah, di mana daerah menjadi "pengemis" yang harus patuh kepada pusat untuk mendapatkan "bantuan."

Hubungan semacam ini bertentangan dengan semangat desentralisasi yang menekankan pada partnership dan equality dalam hubungan pusat-daerah.

Fragmentasi dan Disintegrasi

Dampak jangka panjang dari kebijakan pemotongan anggaran transfer ini sangat mengkhawatirkan. Pertama, akan terjadi fragmentasi dalam kualitas pelayanan publik di Indonesia. Daerah-daerah kaya akan mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas pelayanan publik, sementara daerah-daerah miskin akan mengalami deteriorasi (proses atau kondisi kemunduran, penurunan mutu, atau degradasi).

Kedua, ketimpangan antar-daerah akan semakin mengintens. Indonesia sudah memiliki tingkat ketimpangan regional yang tinggi. Pemotongan transfer akan mempercepat proses divergence, daerah kaya semakin kaya, daerah miskin semakin miskin.

Ketiga, legitimasi negara kesatuan akan terancam. Ketika masyarakat di daerah-daerah tertentu merasakan bahwa mereka tidak mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah pusat, sentimen separatisme atau minimal otonomi khusus akan menguat.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam distribusi sumber daya telah menjadi salah satu faktor pemicu munculnya gerakan-gerakan separatis, dan ini harus diantisipasi dengan kebijakan yang lebih adil kepada daerah-daerah.

Menuju Desentralisasi yang Berkelanjutan

Pemerintah telah berjanji tidak lagi melakukan pemotongan anggaran transfer ke daerah, namun janji politik saja tidak cukup. Diperlukan reformasi struktural dalam sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pertama, perlu dilakukan redesign terhadap formula transfer ke daerah. Formula saat ini masih bias terhadap daerah-daerah tertentu dan belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah. Adopsi need-based allocation yang memperhitungkan biaya pelayanan publik standar di setiap daerah akan lebih adil dan efektif.

Kedua, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam. Daerah-daerah penghasil sumber daya alam seharusnya mendapat porsi yang lebih besar dari hasil eksploitasi sumber daya tersebut.

Ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap transfer pusat, tetapi juga menciptakan insentif bagi daerah untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Ketiga, penguatan kapasitas daerah dalam mengoptimalkan PAD. Ini bukan berarti menaikkan tarif pajak, melainkan memperluas basis pajak, memperbaiki sistem administrasi pajak daerah, dan mengembangkan sumber-sumber PAD non-pajak yang inovatif.

Keempat, implementasi asymmetric decentralization desentralisasi asimetris yang memberikan perlakuan khusus kepada daerah-daerah yang memiliki karakteristik spesifik, seperti daerah perbatasan, daerah kepulauan, atau daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Mempertahankan Cita-Cita Desentralisasi

Kebijakan pemotongan anggaran transfer ke daerah (TKD) merupakan ujian besar bagi komitmen Indonesia terhadap desentralisasi dan demokrasi. Di balik narasi efisiensi belanja, tersembunyi agenda resentralisasi yang mengancam pencapaian reformasi selama lebih dari dua dekade.

Desentralisasi bukan sekadar urusan pembagian kewenangan, melainkan tentang pemberdayaan masyarakat lokal, peningkatan kualitas demokrasi, dan penciptaan keadilan dalam pembangunan. Ketika kapasitas fiskal daerah dilemahkan secara sistematis, maka cita-cita desentralisasi akan menjadi utopia yang tidak pernah terwujud.

Indonesia membutuhkan desentralisasi yang genuine, bukan sekedar administrative decentralization, tetapi true political dan fiscal decentralization. Ini memerlukan political will yang kuat dari pemerintah pusat untuk "benar-benar" berbagi kekuasaan dan sumber daya dengan daerah.

Masa depan persatuan Indonesia tidak terletak pada sentralisasi yang kaku, melainkan pada desentralisasi yang adil dan berkelanjutan. Pemotongan anggaran transfer adalah langkah mundur dalam perjalanan panjang menuju Indonesia yang demokratis, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Saatnya untuk mengoreksi kebijakan ini sebelum terlambat, karena yang dipertaruhkan bukan hanya stabilitas fiskal, melainkan masa depan demokrasi dan persatuan bangsa.

 

***

*) Oleh : Husnul Hakim SY, MH., Dekan Fisip Unira Malang dan Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES