Kopi TIMES

Arah Baru Ekonomi Indonesia

Jumat, 19 September 2025 - 16:51 | 5.86k
Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.
Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Momen pergantian Menteri selalu menarik untuk dibahas terutama Menteri Keuangan sebagai posisi strategis dalam menahkodai arah perekonomian Indonesia. Posisi Menteri Keuangan bukan hanya sekedar jabatan teknokrat, posisi ini ibarat jantung dalam pengelolaan negara.

Dari tangannya inilah uang rakyat ditentukan mengalir kemana, bagaimana utang dikelola, dan langkah strategis apa yang dipilih agar ekonomi bisa tetap tumbuh di tengah tantangan global.

Advertisement

Dengan momen hadirnya sosok baru yaitu Purbaya Yudhi Sadewa menggantikan Sri Mulyani, pertanyaan besar terus menggema: mau dibawa kemana ekonomi Indonesia?

Semua mafhum bahwa Purbaya mendapatkan warisan berupa beban yang tidak ringan. Defisit anggaran setiap tahun masih selalu membayangi keuangan negara. Belum lagi utang negara menembus lebih dari Rp8.200 triliun, ditambah beban subsidi energi yang terus menggelembung.

Beban tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pendapat negara yang masih jauh dari kata cukup. Tax ratio Indonesia mandek di kisaran 9-10%. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata negara tetangga seperti Vietnam (18,6%), Thailand (16,4%), bahkan Filipina (14%).

Sementara, janji-janji program prioritas pemerintah masih terus menuntut biaya. Mulai dari hilirisasi hasil tambang, mega proyek infrastruktur dan juga transisi energi.

Situasi ini tentu saja menjadikan ruang fiskal semakin sempit bagi Menteri Keuangan yang baru. Keadaan ini menuntut Purbaya pintar-pintar menyeimbangkan antara keinginan Presiden akan pesatnya pembangunan dengan keterbatasan anggaran.

Sebagai Menteri, jabatan tersebut tentu saja bukan hanya melulu tentang teknis fiskal, tapi juga akan selalu bersentuhan dengan politik anggaran. APBN acapkali dijadikan etalase politik dimana pemerintah memajang pencapaian melalui proyek-proyek megah, walaupun seringkali tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Publik masih ingat bagaimana proyek food estate dijalankan tanpa adanya perencanaan yang baik. Kereta cepat juga masih menjadi beban negara dengan biaya yang jauh lebih besar dari perkiraan awal dan setiap kerugiannya menjadi tanggung jawab KAI sebagai penanggung jawab program.

Dari sana muncul pertanyaan publik apakah Menteri yang baru akan berani menolak proyek-proyek politis yang membebani APBN agar ekonomi negara kembali ke jalan yang benar.

Jika Menteri Keuangan hanya diposisikan sebagai bendahara politik, maka arah ekonomi Indonesia tidak akan berubah banyak, penuh janji, bagus di layar dengan angka-angka dan grafis warna warni namun remuk redam di lapangan.

Menteri Keuangan yang baru harus memiliki peta jalan strategi yang jelas karena dinamika global sangat mempengaruhi keadaan ekonomi Indonesia. Volatilitas suku bunga The Fed, Perlambatan ekonomi Tiongkok, hingga perang dagang yang dideklarasikan oleh Trump sangat mempengaruhi Indonesia.

Menteri Keuangan harus memilih apakah memperkuat pasar domestik melalui peningkatan kapasitas industri lokal namun butuh waktu yang panjang, atau tetap bergantung pada investasi asing yang penuh resiko namun bisa didapatkan dengan cara yang relatif singkat. Tentu saja, dua pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing tapi harus dipilih agar negara bisa menentukan visi ketahanan ekonomi bangsa dalam jangka panjang.

Satu lubang besar pada keadaan fiskal kita selama ini adalah tentang penerimaan negara yang minim. Pajak Indonesia yang selama ini rendah bukan hanya karena tingkat ketidakpatuhan wajib pajak yang rendah. Namun utamanya dikarenakan Indonesia memiliki basis pajak yang sempit. Struktur industri Indonesia didominasi oleh sektor informal yang menyumbang 59,40% dari total lapangan kerja, namun kontribusinya terhadap pajak sangat kecil.

Sementara itu, sektor formal yang menjadi tulang punggung perpajakan malah mendapatkan ketidakpastian situasi akibat regulasi yang tumpang tindih, insentif yang tidak merata, bahkan beban administrasi perpajakan yang membingungkan. Akibatnya, kemampuan pajak untuk tumbuh selaras dengan pertumbuhan ekonomi menjadi rendah.

Kondisi itu diperparah dengan lobi-lobi kuat politik dari pada pengusaha yang dibekingi oleh pejabat atau aparat. Padahal potensi pajak dari sektor digital, properti mewah hingga perusahaan multinasional bisa menjadi sumber besar pemasukan negara.

Tidak bisa menembus kalangan atas, karena ditekan untuk terus memungut pajak yang besar maka sistem pajak menembus lapisan bawah yang membuat beban hidup masyarakat bawah semakin berat.

Terbukti dengan demo besar-besaran di bulan Agustus 2025 akibat masyarakat jengah dengan tekanan hidup yang sudah berat ditambah dengan beban pajak yang semakin besar dan narasi-narasi kebijakan pemerintah yang nirempati terhadap kesulitan rakyatnya.

Menteri Keuangan juga selain bersentuhan dengan persoalan teknis dan politik, jabatan itu juga berkaitan dengan dimensi etika yang sering dilupakan. Uang yang dikelola negara adalah uang rakyat. Pengelolaannya wajib akuntabel, transparan, dan juga berpihak pada kesejahteraan publik.

Dalam konteks ini jangan lagi menjadikan APBN hanya sekadar buku besar ekonomi negara. APBN harus hadir untuk mensejahterakan rakyat. Apakah subsidi ratusan triliun sudah tepat sasaran, apakah belanja negara sudah benar-benar dinikmati sampai ke desa-desa, apakah setiap pengeluaran negara sesuai dengan prioritas pembangunan saat ini.

Rakyat berharap Menteri Keuangan baru bisa menghadirkan arah ekonomi yang lebih baik. Walaupun tentu saja masih ada kekhawatiran jabatan ini lagi-lagi menjadi alat politik untuk mendanai ego politik penguasa yang semakin menekan perekonomian kita.

Sistem meritokrasi, keberanian, dan kepedulian sosial adalah kunci. Tanpa semua itu, ekonomi Indonesia hanya akan terus terjebak dalam status negara berkembang. Pertumbuhan 5% yang dielu-elukan, tapi dengan kualitas rendah, hutang menggunung, dan tidak menciptakan kesejahteraan di rakyat.

 

***

*) Oleh : Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES