Kopi TIMES

Politik yang Kian Kehilangan Etika

Jumat, 19 September 2025 - 20:06 | 5.51k
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Reshuffle kabinet, dalam tradisi demokrasi, semestinya menjadi instrumen koreksi pemerintahan. Ia hadir sebagai mekanisme untuk menegakkan akuntabilitas, menyingkirkan menteri yang tidak becus bekerja, serta menghadirkan wajah baru yang lebih segar dan kompeten. 

Namun, dalam praktik politik Indonesia, reshuffle sering kali justru tampil sebagai anomali alih-alih menegakkan etika kepemimpinan, ia lebih kerap dipakai sebagai instrumen konsolidasi kekuasaan.

Advertisement

Fenomena ini berulang setiap kali isu reshuffle mengemuka. Publik lebih banyak disuguhi drama tarik-menarik kepentingan antarpartai, bukan wacana peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan. 

Alih-alih menyoroti kinerja menteri, diskursus publik dipenuhi spekulasi soal siapa yang akan mendapat jatah kursi. Reshuffle pun tampak seperti panggung distribusi kekuasaan, bukan koreksi kebijakan.

Inilah anomali yang melekat pada wajah politik kita. Reshuffle kehilangan makna sebagai mekanisme evaluasi, bergeser menjadi perayaan oligarki yang memperjualbelikan jabatan. 

Presiden seolah terjebak dalam kewajiban menjaga harmoni politik dengan partai koalisi ketimbang menjaga harmoni pembangunan dengan rakyat. Kabinet yang seharusnya berorientasi kerja, justru tereduksi menjadi kabinet transaksi.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya budaya demokrasi kita. Jabatan publik dipandang sebagai bagian dari portofolio partai politik, bukan mandat rakyat. 

Ketika reshuffle berlangsung, kalkulasi politik lebih diutamakan dibanding kalkulasi kepentingan publik. Loyalitas kepada presiden atau partai sering kali menjadi tolok ukur, bukan kapasitas profesional dan integritas moral.

Lebih ironis lagi, reshuffle kerap dijadikan momentum menyingkirkan suara kritis di lingkaran kekuasaan. Menteri yang dianggap “tidak sejalan” dengan agenda politik justru lebih cepat tergeser, meski kinerjanya tidak buruk. 

Sebaliknya, menteri yang berkinerja lemah, tetapi memiliki jejaring politik kuat, bisa bertahan dengan aman. Di titik inilah reshuffle menjadi paradoks: alat koreksi berubah menjadi instrumen represi.

Publik tentu berhak curiga. Ketika reshuffle diumumkan, banyak pihak mempertanyakan: benarkah ini demi kepentingan bangsa, atau sekadar penyusunan ulang kursi demi stabilitas politik menjelang kontestasi elektoral? Rakyat menanti perbaikan layanan publik, sementara elit justru sibuk menjaga posisi tawar.

Anomali reshuffle juga memperlihatkan betapa politik kita kian pragmatis. Tidak ada lagi garis tegas antara oposisi dan koalisi. Partai yang dulu bersuara keras mengkritik pemerintah, tiba-tiba bisa bergabung demi kursi menteri. 

Demokrasi kehilangan fungsi oposisi, karena semua ingin berada di lingkaran kuasa. Reshuffle menjadi jalur instan bagi partai untuk masuk ke meja makan kekuasaan.

Dalam situasi seperti ini, rakyat semakin terpinggirkan. Mereka yang mestinya menjadi subjek kebijakan, justru hanya dijadikan objek retorika politik. Harapan publik agar reshuffle menghadirkan perbaikan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, berubah menjadi kekecewaan yang berulang. Rakyat hanya menjadi penonton dari panggung politik yang makin jauh dari substansi.

Reshuffle kabinet memang tidak salah secara konstitusional. Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Namun, secara moral dan politik, hak prerogatif itu seharusnya dijalankan dengan keberpihakan pada rakyat, bukan pada kepentingan elit. 

Reshuffle hanya akan bermakna jika dijalankan dengan basis evaluasi kinerja, transparansi, serta keberanian melawan dominasi kepentingan partai politik.

Tanpa itu, reshuffle hanya akan terus menjadi anomali dalam demokrasi kita sebuah ritual politik yang penuh drama, namun hampa makna. Ia akan terus melahirkan kabinet gemuk tapi rapuh, penuh kompromi tapi miskin visi. 

Rakyatlah yang kembali menanggung konsekuensi dari kabinet yang tidak solid, kebijakan yang tidak fokus, serta pemerintahan yang tersandera kompromi politik.

Selama negara lebih sibuk menenangkan koalisi daripada menyejahterakan rakyat, reshuffle tak lebih dari drama anomali yang menegaskan rapuhnya demokrasi kita.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES