Ketika Program Makan Bergizi Gratis Justru Mengancam Kesehatan

TIMESINDONESIA, MALANG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai salah satu kebijakan unggulan di era pemerintahan baru sejatinya membawa harapan besar. Ia dikemas dengan jargon keadilan sosial, pemerataan akses gizi, dan pengentasan stunting.
Namun, di balik narasi indah tersebut, realitas di lapangan memunculkan wajah lain: keracunan siswa akibat makanan basi, temuan ulat dalam menu, hingga distribusi yang timpang antar daerah. Apakah negara benar-benar serius dalam mengelola program ini, ataukah ia hanya menjadi simbol politik yang kehilangan ruh substansi?
Advertisement
Kebijakan publik semestinya berpijak pada logika kebutuhan rakyat. MBG, dengan nilai triliunan rupiah dari anggaran negara, jelas bukan program kecil. Ia menyedot perhatian dan harapan jutaan keluarga miskin yang menggantungkan pemenuhan gizi anak mereka pada janji negara.
Namun ketika implementasinya diwarnai kasus-kasus tragis seperti siswa keracunan di beberapa sekolah, publik melihat celah yang sangat mendasar: lemahnya sistem pengawasan, buruknya manajemen distribusi, dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam rantai penyediaan.
Ironisnya, di beberapa daerah justru muncul ketidakadilan distribusi. Ada sekolah-sekolah yang mendapatkan makanan bergizi sesuai standar, sementara di daerah lain siswa hanya menerima makanan seadanya, bahkan dengan kualitas yang tidak layak konsumsi.
Situasi ini mencerminkan bahwa program besar yang seharusnya menjadi motor penguat generasi malah berubah menjadi ajang pertaruhan nyawa dan masa depan anak-anak bangsa.
Negara seolah terjebak pada logika seremoni politik: menyalurkan makanan dengan target angka, bukan mutu. Padahal, kualitas gizi anak bangsa tidak bisa ditentukan oleh sekadar pencapaian jumlah porsi yang terdistribusi.
Ketika menu yang diberikan basi, tidak higienis, atau jauh dari standar gizi seimbang, maka program ini bukan hanya gagal, tetapi justru melahirkan kerugian ganda: kesehatan anak terancam, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin terkikis.
Masalah ini tidak bisa hanya dilihat sebagai “kesalahan teknis”. Ia menyentuh soal tata kelola anggaran dan niat politik. Dana triliunan rupiah yang dikucurkan seharusnya tidak jatuh ke tangan penyedia makanan abal-abal yang hanya mencari keuntungan cepat.
Dalam banyak kasus, tender penyedia makanan diserahkan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas memadai. Logika rente, kolusi, dan pembagian kue proyek lebih mendominasi daripada komitmen moral untuk menyehatkan anak bangsa.
Program MBG sejatinya bisa menjadi instrumen emas bagi pembangunan manusia. Dengan keterlibatan koperasi sekolah, UMKM lokal, petani, hingga orang tua murid, ia bisa menciptakan ekosistem gizi sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Tetapi, jika yang diutamakan adalah skema kontraktor besar yang berorientasi profit, jangan heran bila kualitas makanan jatuh. Inilah titik lemah yang menegaskan bagaimana negara sering kali abai terhadap prinsip good governance.
Lebih jauh, problem pemerataan menunjukkan bahwa negara masih gagal memahami ketimpangan struktural antar daerah. Mengirim makanan bergizi ke kota besar tentu lebih mudah daripada menjangkau desa-desa terpencil atau pulau-pulau terluar. Namun, jika program ini hanya kuat di pusat sementara timpang di pinggiran, bukankah itu mengkhianati prinsip keadilan sosial yang menjadi fondasi kebijakan?
Di sinilah kritik paling tajam perlu diarahkan. Negara tampak lebih sibuk menjual narasi keberhasilan program daripada membenahi sistem yang cacat. Alih-alih mengakui kelemahan, sering kali kasus keracunan hanya disebut sebagai “insiden kecil”. Padahal, setiap anak yang sakit akibat makanan basi adalah bentuk kelalaian negara dalam menjalankan amanat konstitusi: melindungi segenap bangsa.
Pemerintah perlu menyadari bahwa gizi bukan sekadar angka kalori, tetapi fondasi kecerdasan dan daya saing bangsa. Di tengah kompetisi global, kualitas sumber daya manusia menjadi penentu. Jika anak-anak dipaksa mengonsumsi makanan seadanya, apalagi yang berisiko merusak kesehatan, maka kita sedang menyiapkan generasi rapuh, bukan generasi emas.
Publik tentu menuntut transparansi. Bagaimana mekanisme tender penyedia makanan? Sejauh mana keterlibatan dinas kesehatan dalam memastikan standar gizi? Adakah sistem evaluasi yang benar-benar melibatkan masyarakat dan sekolah? Tanpa jawaban tegas, program MBG hanya akan menjadi mesin politik yang menguntungkan segelintir elite, sembari meninggalkan luka di tengah masyarakat.
Kritik ini bukan berarti menolak program MBG. Justru sebaliknya, masyarakat ingin agar program ini berjalan sesuai tujuan mulianya. Namun, negara harus membuka ruang partisipasi publik, memperkuat pengawasan independen, dan menindak tegas para penyedia nakal. Transparansi anggaran, keterlibatan koperasi lokal, serta pendampingan kesehatan harus menjadi bagian integral, bukan sekadar tambahan.
Jika yang berlaku adalah pilihan kedua, maka publik berhak marah. Sebab, setiap program yang gagal melindungi rakyat kecil sesungguhnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Negara tidak boleh main-main dengan perut rakyat, apalagi dengan masa depan generasi muda. Makanan bergizi gratis seharusnya menjadi hak, bukan risiko. Ia harus menjadi simbol keberpihakan negara kepada mereka yang paling lemah, bukan menjadi proyek yang sarat kepentingan.
Jika negara masih terus mengabaikan hal ini, maka MBG hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah kebijakan publik: sebuah janji besar yang runtuh di hadapan realitas pahit.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |