Kopi TIMES

Ketakutan Koruptor pada UU Perampasan Aset

Sabtu, 20 September 2025 - 00:06 | 5.53k
Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMESINDONESIA, MALANG – Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar kejahatan luar biasa, tetapi telah menjelma menjadi budaya yang menempel di sendi-sendi kekuasaan. Setiap kali aparat menangkap seorang pejabat atau politisi, publik disuguhi angka kerugian negara yang fantastis, triliunan rupiah. Namun setelah euforia penangkapan mereda, yang tersisa adalah kenyataan pahit. Uang negara jarang kembali. 

Misalnya di tahun 2019 hingga 2023, kerugian negara akibat korupsi tercatat lebih dari Rp234 triliun. Sementara yang berhasil dipulihkan hanya sekitar Rp32 triliun. 

Advertisement

Angka ini memperlihatkan kegagalan serius sistem hukum kita. Penjara mungkin berhasil menghukum tubuh pelaku, tetapi kekayaan hasil korupsi tetap berputar, diwariskan, dan dinikmati keluarga yang tersisa.

Di tengah situasi seperti itu, lahirlah gagasan tentang Undang-Undang Perampasan Aset. Aturan ini digadang-gadang sebagai jalan keluar dari kebuntuan lama, sebuah instrumen hukum yang tidak lagi hanya berfokus pada pelaku, melainkan pada harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana. 

Untuk itu, rancangan undang-undang ini memberikan wewenang kepada negara untuk menyita aset yang mencurigakan, bahkan tanpa menunggu putusan pidana. Dengan mekanisme ini, negara ingin memutus rantai kenyamanan koruptor yang lihai menyembunyikan harta lewat nama kerabat, perusahaan cangkang, atau rekening luar negeri.

Pada titik inilah persoalan besar mengemuka. Perampasan aset tanpa vonis pengadilan membuka ruang tafsir yang berbahaya. 

Bayangkan seorang warga membeli tanah dengan cara sah, membayar lunas, dan mencatatkannya secara legal. Bertahun-tahun kemudian, tanah itu disita negara karena dulunya dibeli dengan uang haram. Warga yang beritikad baik bisa kehilangan haknya tanpa pernah terlibat dalam kejahatan. 

Risiko lain yang tak kalah besar adalah potensi penyalahgunaan. Di negara yang aparat hukumnya masih sering dipertanyakan integritasnya. Pasal-pasal tajam semacam ini bisa berubah menjadi alat politik untuk menekan lawan, atau sekadar sarana untuk menakut-nakuti. Tanpa mekanisme pengawasan ketat, hukum yang dimaksudkan untuk melindungi justru bisa menjadi alat represi.

Meski begitu, menolak keberadaan UU ini sama saja dengan membiarkan uang rakyat terus menguap. Sudah terlalu sering kita menyaksikan negara kalah langkah dalam mengejar aset. 

Kasus BLBI yang menyedot lebih dari seratus triliun rupiah adalah contoh telanjang: bertahun-tahun kasus digulirkan, tetapi pemulihan aset berjalan lambat, bahkan tersendat. Uang negara terjebak di ruang abu-abu, sementara rakyat harus menanggung dampaknya dalam bentuk pelayanan publik yang buruk. 

Dari sini jelas, instrumen hukum lama tidak cukup. Kita butuh keberanian untuk keluar dari pola lama yang hanya menghukum individu tanpa menyentuh jantung persoalan. Kekayaan haram yang mereka tinggalkan.

Maka, perdebatan mengenai UU Perampasan Aset tidak boleh berhenti pada “perlu atau tidak perlu.” Yang lebih mendesak adalah bagaimana aturan ini disusun, dijalankan, dan diawasi. Undang-undang secanggih apa pun akan menjadi sia-sia bila dijalankan oleh aparat yang korup. 

Masalah utama pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah ketiadaan hukum, melainkan lemahnya integritas lembaga penegak hukum. Kita sudah melihat bagaimana putusan bisa dibeli, jaksa bisa dilobi, dan polisi bisa tebang pilih. 

Dengan kondisi seperti ini, menaruh kewenangan luar biasa kepada aparat tanpa mekanisme kontrol justru berbahaya. Pedang yang dimaksudkan untuk melawan korupsi bisa berubah arah, melukai rakyat kecil yang tidak berdaya.

Karena itu, ada syarat-syarat mutlak yang tidak boleh ditawar. 

Pertama, setiap pasal harus dirumuskan secara jelas agar tidak membuka ruang multitafsir yang merugikan pihak ketiga. 

Kedua, pengawasan publik mutlak diperlukan. Hasil perampasan aset harus diumumkan secara transparan: berapa yang disita, ke mana dialirkan, dan bagaimana digunakan untuk kepentingan rakyat. Tanpa transparansi, publik hanya akan melihat perampasan aset sebagai pemindahan dari tangan koruptor ke kantong pejabat baru. 

Ketiga, perlindungan hukum harus diberikan bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Tidak adil bila rakyat biasa harus kehilangan haknya hanya karena negara gagal melacak asal-usul sebuah transaksi sejak awal.

Kita juga perlu belajar dari negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan hukum serupa. Inggris, Australia, hingga Singapura membuktikan bahwa mekanisme perampasan aset bisa efektif menekan korupsi. Namun yang membuat mereka berhasil bukan sekadar aturan di atas kertas, melainkan pengawasan yang ketat, transparansi yang jelas, dan aparat hukum yang berintegritas. 

Indonesia tidak bisa sekadar meniru tanpa membenahi kultur hukum yang sudah terlanjur rapuh. Menyerahkan pedang tajam pada tangan yang kotor hanya akan melahirkan luka baru.

UU Perampasan Aset adalah taruhan besar bagi bangsa ini. Ia bisa menjadi tonggak penting yang menandai era baru pemberantasan korupsi, atau justru menjadi fatamorgana yang menakutkan rakyat namun ramah pada penguasa. 

Harapan publik sangat sederhana. Uang mereka yang dicuri harus kembali, bukan hanya pelaku yang dipenjara. Tetapi harapan itu akan berubah menjadi kekecewaan mendalam bila undang-undang ini hanya menambah daftar panjang regulasi yang gagal dijalankan.

Kita bisa memilih menjadikan UU ini sebagai senjata pamungkas melawan korupsi, atau membiarkannya menjadi instrumen baru yang disalahgunakan. Pilihan itu sepenuhnya ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan. 

Tetapi sejarah akan mencatat, bila kesempatan besar ini disia-siakan, rakyat akan semakin yakin bahwa hukum di negeri ini tidak pernah benar-benar berpihak kepada kepentingan keadilan publik. (*)

***

*) Oleh : Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES