Kopi TIMES

Meretas Kesenjangan Digital di Sekolah SLB

Sabtu, 20 September 2025 - 20:38 | 5.09k
Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.
Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Di tengah gegap gempita wacana “Indonesia Emas 2045”, ada satu potret yang sering luput dari perhatian: anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) masih menghadapi keterbatasan akses, bukan hanya dalam sarana fisik, tetapi juga dalam dunia digital. 

Padahal, di era kecerdasan buatan dan transformasi digital, akses teknologi bukan lagi soal pilihan, melainkan kebutuhan mendasar untuk bertahan dan berkembang.

Advertisement

Kesenjangan digital di SLB adalah cermin betapa timpangnya perhatian negara pada kelompok rentan. Banyak SLB masih gagap teknologi. Perangkat komputer yang usang, jaringan internet yang lelet, hingga guru yang belum terlatih optimal membuat siswa difabel semakin jauh dari arena persaingan global. 

Di sisi lain, sekolah-sekolah umum di kota besar mulai mengenal coding sejak dini, memanfaatkan aplikasi pembelajaran interaktif, bahkan mencoba AI sebagai asisten belajar. Jurang antara keduanya semakin lebar.

Beberapa inisiatif korporasi, seperti Telkom lewat Program AND yang mendukung 71 SLB dengan penguatan akses digital, patut diapresiasi. Namun, apresiasi saja tidak cukup. 

Pendidikan digital di SLB sejatinya tidak sekadar soal tablet dan jaringan internet. Lebih dari itu, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif. Anak tuna netra memerlukan perangkat dengan fitur text-to-speech, anak tuna rungu butuh aplikasi dengan penerjemah bahasa isyarat otomatis.

Sementara anak dengan hambatan intelektual memerlukan platform yang ramah, sederhana, dan interaktif. Tanpa inovasi yang berpihak, digitalisasi hanya menjadi jargon elitis yang gagal menyentuh kebutuhan riil.

Guru di SLB juga harus mendapat porsi pelatihan khusus. Selama ini, kebijakan digitalisasi pendidikan terlalu berpusat pada sekolah umum, seolah guru SLB bisa menyesuaikan sendiri. 

Padahal, mereka justru berhadapan dengan tantangan lebih berat: mengajarkan konsep modern dengan metode yang harus dimodifikasi sesuai kondisi siswa. Tanpa bimbingan, guru bisa frustrasi, dan akhirnya memilih cara lama yang tidak memajukan siapa pun.

Kita harus jujur mengakui, negara belum cukup serius menata peta jalan pendidikan inklusif berbasis digital. Jika ada program, sifatnya sporadis, tidak terintegrasi, bahkan sering sekadar pencitraan. 

Padahal, hak atas pendidikan inklusif sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Artinya, kelalaian dalam memberikan akses digital sama saja dengan mengingkari amanat konstitusi.

Lebih jauh, kesenjangan digital pada anak berkebutuhan khusus bisa melahirkan diskriminasi berlapis. Pertama, mereka sudah termarjinalkan secara sosial karena stigma masyarakat. 

Kedua, mereka terpinggirkan secara ekonomi karena akses pendidikan yang minim membuat mereka sulit masuk ke dunia kerja. 

Ketiga, tanpa literasi digital, mereka benar-benar tersisih dari era baru yang menuntut keterampilan teknologi sebagai modal utama. Inilah bentuk “kemiskinan ganda” yang harus diputus rantainya.

Apabila kita sungguh-sungguh ingin membangun peradaban inklusif, maka digitalisasi pendidikan harus ditempatkan sebagai hak, bukan belas kasihan. Negara perlu membuat standar minimal fasilitas digital di setiap SLB: mulai dari komputer dengan perangkat lunak adaptif, internet yang stabil, hingga ruang kelas virtual yang bisa diakses kapan saja. Tanpa itu, anak-anak difabel akan terus dibiarkan berjalan di jalur lambat, sementara yang lain melaju di jalan tol digital.

Selain infrastruktur, kurikulum juga harus disesuaikan. Jangan sampai materi pembelajaran digital hanya copy-paste dari sekolah umum. SLB membutuhkan kurikulum khusus yang mengintegrasikan teknologi dengan terapi, keterampilan vokasional, dan pengembangan karakter. Dengan begitu, teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar simbol modernitas.

Keterlibatan publik juga tidak kalah penting. Kampus, LSM, komunitas teknologi, hingga industri kreatif bisa berkolaborasi menghadirkan solusi digital bagi SLB. 

Bayangkan jika ada aplikasi buatan anak bangsa yang bisa mempermudah komunikasi anak tuna rungu dengan orang tuanya, atau game edukatif yang sekaligus menjadi terapi anak dengan autisme. Teknologi semacam ini tidak hanya menjawab kebutuhan, tetapi juga menumbuhkan empati sosial yang kerap hilang dalam wacana pembangunan.

Akses digital di SLB adalah ujian sejati bagi klaim Indonesia sebagai negara inklusif. Jangan sampai slogan “merdeka belajar” hanya menjadi hak istimewa bagi anak-anak di sekolah reguler, sementara anak difabel terus terjebak dalam kemerdekaan semu. Pendidikan yang tidak menghadirkan kesetaraan hanyalah instrumen reproduksi ketidakadilan.

Kita butuh keberanian politik untuk memastikan bahwa digitalisasi tidak meninggalkan siapa pun. Ini bukan sekadar soal anggaran, melainkan soal keberpihakan. 

Negara yang abai terhadap kelompok rentan sejatinya sedang membangun masa depan yang timpang. Sebaliknya, negara yang memberi ruang setara bagi anak difabel sedang berinvestasi pada peradaban yang berkeadilan.

Maka, akses digital bagi pendidikan khusus tidak boleh lagi dianggap agenda sampingan. Ia adalah jantung dari cita-cita pendidikan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diskriminasi. 

Menutup kesenjangan digital di SLB sama artinya dengan membuka pintu masa depan yang lebih manusiawi. Dan di situlah kita diuji: apakah digitalisasi akan menjadi jembatan inklusi, atau tembok baru yang semakin memisahkan?

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES