Kopi TIMES

Meninjau Efektivitas APBN 2026

Minggu, 21 September 2025 - 12:04 | 6.48k
Haris Zaky Mubarak, MA., Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
Haris Zaky Mubarak, MA., Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa menyalakan harapan baru di tengah situasi ekonomi yang kian terhimpit. Namun, harapan itu ibarat perahu yang harus berlayar di laut bergelombang. 

Persoalan yang membelit ekonomi nasional hari ini tidak sederhana: harga-harga naik, pendapatan rakyat stagnan, lapangan kerja tersendat, dan beban hidup semakin berat. Semua itu menuntut desain ulang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar angka dalam tabel keuangan.

Advertisement

Pemerintah melalui RAPBN 2026 telah memproyeksikan pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, meningkat 9,8 persen dari outlook 2025. Belanja negara direncanakan Rp3.786,5 triliun, naik 7,3 persen dari tahun sebelumnya. 

Defisit dijaga pada level 2,48 persen terhadap PDB, dengan pembiayaan anggaran Rp638,8 triliun. Sekilas terlihat moderat, namun jika ditelisik lebih dalam, postur ini menyimpan anomali: ambisi besar tapi pijakan rapuh.

Belanja pemerintah pusat 2026 difokuskan pada program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, dan subsidi energi. Namun, anggaran transfer ke daerah justru dipangkas drastis menjadi Rp650 triliun, turun Rp269 triliun dari APBN 2025. Ini adalah transfer daerah terendah sejak 2015. 

Bagaimana mungkin pembangunan di daerah berjalan optimal ketika dana pusat justru menyusut? Bukankah otonomi daerah sejatinya membutuhkan sokongan yang adil agar disparitas tidak makin menganga?

Di sisi pendapatan, beban berat bertumpu pada pajak. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan Rp2.692 triliun, dengan kenaikan 13,5 persen. Padahal, rata-rata pertumbuhan pajak dalam 10 tahun terakhir hanya 7,76 persen. 

Realisasi penuh 100 persen baru tercapai 2021–2023 ketika harga komoditas melonjak. Itu artinya, target 2026 lebih bersandar pada harapan ketimbang kepastian. Sementara, dividen BUMN yang dulu menjadi penopang kini terpangkas karena pengelolaannya dialihkan ke Danantara.

Di tengah struktur yang rawan ini, program MBG menelan porsi luar biasa besar: Rp335 triliun atau 44,2 persen dari total anggaran pendidikan Rp757,8 triliun. Artinya, hampir separuh anggaran pendidikan hanya untuk memberi makan, sementara kesejahteraan guru, peningkatan mutu pembelajaran, dan fasilitas sekolah berpotensi terpinggirkan. Alih-alih mencetak generasi unggul, APBN justru berisiko hanya mengenyangkan perut sesaat tanpa menjamin kecerdasan jangka panjang.

Presiden memang telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, yang ditargetkan bisa menghemat Rp306,6 triliun. Pengurangan perjalanan dinas, pembatasan seremonial, hingga pengetatan honorarium tim menjadi langkah awal. 

Kebijakan ini patut diapresiasi, tetapi jangan lupa: kultur birokrasi di Indonesia sudah lama terbiasa dengan belanja rutin yang boros. Rapat di hotel, seminar dengan suvenir mewah, hingga pengadaan alat tulis kantor berlebihan sudah mendarah daging. Mengubah budaya ini bukan perkara satu tahun anggaran, melainkan butuh revolusi tata kelola.

Belum lagi jumlah kementerian dan lembaga yang membengkak menjadi 48 unit. Konsolidasi, penambahan personel, dan pembentukan struktur baru tentu menambah beban anggaran. 

Ironisnya, efisiensi di satu sisi justru diiringi pembengkakan birokrasi di sisi lain. Bagaimana rakyat bisa percaya pada komitmen penghematan, jika pemerintah sendiri menambah dapur belanja?

Di sinilah sesungguhnya letak ujian APBN 2026. Anggaran negara bukan sekadar instrumen teknokratis, melainkan cermin kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Ia punya fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat 4 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 

APBN harus menjadi alat untuk mengurangi pengangguran, menekan pemborosan, menjaga keadilan, dan menstabilkan ekonomi. Bukan justru menjadi ladang politik anggaran yang penuh kompromi.

Dalam konteks ini, publik berhak menuntut efektivitas yang nyata. Efektif bukan berarti angka defisit kecil, melainkan sejauh mana anggaran benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Efektif berarti pendidikan bukan sekadar MBG, melainkan kualitas pengajaran. 

Efektif berarti kesehatan bukan sekadar subsidi, melainkan pelayanan yang cepat dan merata. Efektif berarti pembangunan bukan sekadar jalan tol megah, melainkan jalan desa yang mulus untuk petani.

APBN 2026 seharusnya tak hanya dipandang sebagai kalkulasi fiskal, tetapi sebagai dokumen moral negara. Ia adalah janji kesejahteraan yang tertulis dalam angka. Jika janji itu gagal diwujudkan, rakyatlah yang kembali menanggung derita. 

Karena itu, arah APBN harus lebih rasional, berani memangkas belanja tidak produktif, dan fokus pada sektor esensial. Bukan terjebak pada program populer yang menguras fiskal tanpa memberi manfaat jangka panjang.

Efektivitas APBN hanya bisa diukur dari sejauh mana rakyat merasakan dampaknya. Bukan dari pidato indah di sidang DPR, bukan pula dari grafik pertumbuhan dalam Nota Keuangan. 

Tetapi dari ruang kelas yang tak lagi reyot, dari harga pangan yang stabil di pasar, dari pelayanan rumah sakit yang manusiawi, dan dari perut rakyat yang kenyang tanpa melupakan otaknya yang cerdas.

APBN 2026 adalah ujian bagi negara untuk membuktikan apakah ia benar-benar hadir sebagai pengatur kesejahteraan, atau sekadar bendahara yang lihai bermain angka.

 

***

*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA., Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES