Kopi TIMES

Logika Negara Tentang Anarkisme

Minggu, 21 September 2025 - 19:05 | 5.21k
Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi.
Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Belakangan ini, istilah anarkisme tiba-tiba menjadi “trending topic” nasional. Namun, bukan karena wacana akademik atau diskursus intelektual yang sehat, melainkan karena tuduhan dan penangkapan. 

Aksi “Reset Indonesia” kemarin seolah menjadi pintu masuk bagi negara untuk memburu orang-orang yang dicap “anarko”. Polisi bergerak, Polda di berbagai daerah melakukan perburuan, sementara media ramai-ramai memotret mereka sebagai biang kerok kerusuhan.

Advertisement

Tidak berhenti di situ, buku-buku berhaluan kiri, terutama yang membahas teori dan strategi gerakan sosial, ikut disita. Alasannya: karya-karya itu dianggap bahan bakar ideologi yang mendorong kekerasan. 

Bayangkan, sebuah buku medium pengetahuan dan kajian diperlakukan seakan-akan ia bom molotov. Inilah wajah negara ketika ketakutan diubah menjadi dalih kekuasaan.

Dalam logika penguasa, anarkisme selalu dipersepsikan sebagai ancaman: kontra pemerintah, anti-aturan, dan cenderung merusak. Narasi semacam ini diulang oleh pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Prabowo dan sejumlah Kapolda. 

Kaum anarko disebut biang kerok, perusuh, bahkan “makar”. Dengan narasi itulah, negara membingkai cara pandang masyarakat agar waspada, bahkan membenci, kelompok ini.

Jean-Francois Lyotard, dalam The Postmodern Condition, pernah menjelaskan bahwa *metanarasi* adalah alat legitimasi yang bersifat hegemonik. Negara, lewat narasi tunggal, menuntun masyarakat untuk menerima kebenaran versi penguasa. 

Maka tidak mengherankan jika media kemudian dipenuhi dengan stempel buruk tentang kaum anarko, seakan itu satu-satunya kebenaran.

Mengapa negara begitu gigih membentuk narasi soal anarkisme? Paling tidak ada tiga maksud politis yang bisa kita baca.

Pertama, mencari kambing hitam. Setiap kerusuhan tentu punya sebab, dan sering kali sumber masalahnya justru ada pada tingkah laku elite politik: kebijakan yang timpang, arogansi kekuasaan, hingga kegagalan mendengar suara rakyat. Namun, alih-alih mengakui kesalahan, negara lebih mudah menunjuk jari ke arah “kaum anarko” sebagai dalang.

Kedua, rasa takut status quo. Anarkisme, secara filosofis, memang berdiri sebagai antitesis kekuasaan yang tiranik. Ide-idenya keteraturan tanpa pemerintah, keadilan tanpa kekerasan adalah bayangan buruk bagi rezim yang senang mengontrol. Karena itu, negara berusaha memarginalkan, bahkan mengkriminalisasi, setiap yang berbau anarko.

Ketiga, mengembalikan kepercayaan publik. Setiap demonstrasi lahir dari kajian isu dan penderitaan rakyat. Ketika aksi pecah dan korban berjatuhan, negara didesak bertanggung jawab. 

Namun, tanggung jawab yang mestinya berupa perbaikan sistem justru dialihkan menjadi operasi pencarian dalang. Tujuannya sederhana: menutupi borok kekuasaan dan menyelamatkan citra di mata rakyat.

Pertanyaan ini penting. Benarkah anarkisme identik dengan kekerasan? Alexander Berkman, anarkis asal Rusia, dalam ABC Anarkisme menjelaskan: anarkisme adalah keteraturan tanpa pemerintah dan keadilan tanpa kekerasan. Ia bahkan menegaskan, “kekerasan adalah metode kebodohan, senjata orang-orang lemah.”

Memang, ada sebagian kecil anarkis yang menggunakan cara kekerasan. Namun, menyamakan seluruh ideologi dengan tindakan segelintir orang jelas cacat logika sebuah generalisasi liar. 

Jika negara terus berpijak pada cara pandang ini, ia sedang merawat kecacatan berpikir yang sistematis, dan lebih buruk lagi: menyebarkannya secara terus-menerus melalui media.

Ironisnya, dalam tradisi anarkisme justru ada arus besar non-kekerasan. Kita bisa mengingat Pasifisme Leo Tolstoy atau Satyagraha Mahatma Gandhi, yang menolak kekerasan sebagai strategi perlawanan. 

Sean M. Sheehan dalam Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan* juga menyinggung hal ini: anarkisme tidak tunggal, ada jalur damai yang tumbuh subur di dalamnya.

Ketidakadilan yang Dilegalkan

Jika demikian, apa yang dilakukan negara selama ini bisa kita sebut sebagai bentuk penindasan. Anarkisme dipukul rata, kaum anarko dimarginalkan, dan buku-buku dijadikan barang bukti. Semua berlangsung “atas nama bangsa Indonesia”, padahal sejatinya hanya untuk melanggengkan kekuasaan.

Di titik ini, negara terlihat “tidak adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Narasi anarkisme sebagai musuh negara bukanlah cerminan objektif realitas, melainkan strategi politis untuk menutup kelemahan sendiri.

Sejarah selalu mencatat: kekuasaan yang takut pada ideologi berbeda biasanya sedang rapuh dari dalam. Anarkisme mungkin tidak populer, tetapi ia memberi cermin kritis bagi kekuasaan yang telanjur korup dan represif.

Pertanyaannya, beranikah negara berdialog dengan ide, ataukah ia akan terus memilih jalan pintas: membungkam, menangkapi, dan membakar buku? Karena pada akhirnya, memburu ide dengan borgol hanyalah cara paling kuno untuk mempertahankan kekuasaan.

***

*) Oleh : Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES