Kopi TIMES

Kebijakan Pajak Digital

Minggu, 21 September 2025 - 22:00 | 6.93k
Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMESINDONESIA, MALANG – Di era digital seperti sekarang, hampir semua aktivitas masyarakat terhubung dengan dunia maya. Dari belanja online, transaksi perbankan digital, hingga pekerjaan kreatif seperti konten kreator, influencer, dan pelaku UMKM digital, semua sudah masuk dalam pusaran ekonomi baru, ekonomi digital. Tak heran jika pemerintah kemudian melirik sektor ini sebagai ladang baru penerimaan negara melalui kebijakan pajak digital.

Namun, persoalannya tidak sederhana. Apakah benar rencana kenaikan pajak digital ini akan menambah keadilan fiskal bagi negara dan masyarakat? Ataukah justru menjadi beban baru bagi generasi muda yang sedang bertarung mencari ruang hidup di jagat digital?

Advertisement

Pemerintah berdalih, kebijakan pajak digital adalah bentuk adaptasi terhadap perubahan zaman. Negara tidak boleh kalah cepat dari inovasi. Dengan pajak, katanya, ada kepastian hukum dan kesetaraan. 

Misalnya, perusahaan raksasa digital seperti Google, Facebook, atau Netflix yang selama ini menikmati pasar Indonesia, dianggap wajib memberikan kontribusi fiskal lebih besar. Narasi ini sekilas terdengar masuk akal. Tetapi benarkah kebijakan ini diarahkan untuk keadilan, atau sekadar menutup defisit anggaran negara?

Sisi lain yang perlu dicermati adalah nasib para pelaku kreatif kecil. Indonesia saat ini menjadi salah satu basis ekonomi kreator terbesar di Asia Tenggara. Jutaan anak muda menggantungkan hidup dari YouTube, TikTok, Instagram, hingga marketplace. 

Mereka membangun ekosistem digital dengan modal kreatif, bukan dengan modal besar. Jika pajak digital diterapkan dengan serampangan, risiko yang muncul adalah “mematikan lilin kecil” yang justru sedang tumbuh terang di tengah keterbatasan lapangan kerja konvensional.

Ketakutan itu bukannya tanpa alasan. Sebagian besar kreator digital di Indonesia masih berpenghasilan fluktuatif dan tidak menentu. Mereka bukanlah korporasi besar dengan laba raksasa. 

Jika pemerintah memberlakukan pajak dengan standar sama antara korporasi global dan kreator lokal, itu jelas tidak adil. Sama halnya membandingkan gajah dengan semut, lalu menyuruh keduanya menyeberangi sungai dengan beban yang sama.

Di titik inilah, kritik terhadap pemerintah menjadi penting. Kebijakan publik seharusnya lahir dari kebijaksanaan, bukan sekadar kebutuhan menutup kas negara. 

Apalagi, generasi digital adalah kelompok yang sedang menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru. Menarik pajak berlebihan dari mereka sama saja dengan “menyembelih ayam yang sedang bertelur emas”.

Selain soal keadilan, persoalan lain adalah transparansi. Publik sering bertanya: ke mana larinya uang pajak yang setiap tahun dikumpulkan? Apakah benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat, atau justru bocor dalam praktik korupsi, birokrasi tambun, dan proyek mercusuar yang lebih berpihak pada elit? 

Rencana kenaikan pajak digital tidak akan mendapat simpati rakyat jika negara tidak lebih dulu memperbaiki trust publik. Tanpa transparansi, pajak hanya akan dipandang sebagai “pemerasan legal”.

Perlu juga diingat, ekonomi digital tumbuh karena sifatnya yang cair, kreatif, dan memberi ruang inklusi. Anak muda dari pelosok bisa dikenal dunia lewat karya sederhana di YouTube atau TikTok. UMKM kecil bisa menjual produk lewat marketplace tanpa harus membuka toko fisik. 

Dengan logika semacam ini, pajak digital jangan sampai menjadi pagar yang justru membatasi kebebasan bertumbuh. Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan predator.

Lalu bagaimana seharusnya kebijakan pajak digital dijalankan? Pertama, beda-bedakan kelasnya. Korporasi global yang meraup untung triliunan dari pasar Indonesia jelas harus dikenai pajak lebih besar. Tetapi bagi kreator kecil atau UMKM digital dengan penghasilan terbatas, pemerintah bisa menerapkan batas minimal (threshold) atau mekanisme pajak progresif.

Kedua, pajak digital harus diiringi dengan insentif dan perlindungan. Jangan hanya mengambil, tetapi juga memberi. Misalnya, dana pajak digital bisa dialokasikan untuk program pelatihan kreator, subsidi infrastruktur internet di daerah 3T, atau proteksi hukum bagi konten kreator yang kerap menjadi korban plagiarisme dan eksploitasi platform. Dengan begitu, pajak bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan investasi bersama.

Ketiga, kebijakan pajak digital harus dirumuskan dengan melibatkan suara publik. Saat ini, diskursus pajak digital masih elitis, hanya berkutat di ruang kementerian dan DPR. 

Padahal, yang paling terdampak adalah generasi muda yang sehari-hari hidup di dunia digital. Mengabaikan suara mereka hanya akan melahirkan resistensi sosial dan delegitimasi kebijakan.

Pajak digital memang tidak bisa dihindari. Dunia sudah menuju ke arah sana. Tetapi cara kita mengeksekusinya akan menentukan apakah kebijakan ini melahirkan keadilan fiskal atau justru krisis kepercayaan. Pemerintah perlu sadar, kreativitas rakyat adalah kekayaan paling berharga yang tidak bisa digenangi pajak tanpa perhitungan.

Kebijakan publik yang baik seharusnya tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga memberi ruang tumbuh bagi warganya. Jika negara ingin rakyat taat membayar pajak, maka negara juga wajib taat pada amanat: menghadirkan kesejahteraan, bukan sekadar menambah beban.

***

*) Oleh: Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES