Kopi TIMES

Kiat Sukses Kuliah

Senin, 22 September 2025 - 09:26 | 10.73k
Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H.,M.H., Jaksa dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.
Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H.,M.H., Jaksa dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Minggu lalu (20/09/25), saya kembali ke kampus untuk berbagi pengalaman dengan mahasiswa baru. Momen itu mengingatkan saya pada rasa bingung ketika pertama kali memasuki dunia kampus apa bedanya dengan SMA? Tanya dalam hati, dan bagaimana harus menjalaninya?

Tulisan ini adalah ringkasan dari materi yang saya sampaikan dalam Orientasi Penerimaan Mahasiswa Baru (OPMB) Fakultas Hukum Universitas Pasundan. 

Advertisement

Saya ingin mulai dengan cerita sederhana. Dulu, saya hanyalah seorang siswa SMA yang biasa-biasa saja. Nilai tidak menonjol, saya cenderung pemalu, dan tidak pernah terbayang bisa berdiri di depan banyak orang. 

Saat SMA, saya mengambil jurusan IPA, jauh dari bayangan dunia hukum. Namun takdir justru membawa saya masuk ke Fakultas Hukum sebuah dunia yang menuntut saya untuk berani berbicara di depan umum, dan menyampaikan pendapat.

Di sinilah titik balik perjalanan saya dimulai. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi juga tempat menemukan jati diri. Pesan saya untuk adik-adik mahasiswa baru: “jangan minder dengan titik awal kalian. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk berkembang, yang membedakan hanyalah kemauan untuk belajar dan berusaha.”

Beda Siswa dan Mahasiswa

Mahasiswa” itu adalah “independent student”. Artinya, siswa mandiri yang harus aktif mencari ilmu, membaca buku, mengasah pengalaman, dan menambah wawasan.

Mahasiswa itu berbeda dengan siswa SMA. Dulu, saat SMA, guru rajin mengingatkan kita, menuntun untuk belajar, menyiapkan materi, dan sering kali kita hanya tinggal mencatat. Di bangku kuliah, semua tidak lagi seperti itu.

Di dunia kampus, semuanya bergantung pada kemandirian kita. Kita dituntut untuk aktif mencari ilmu. Dalam proses perkuliahan, kadang lebih banyak “sesi diskusi” dan “presentasi” dibanding kita mendengarkan dosen. 

Dosen pun tidak akan kejar-kejar kita, kalau kita malas atau absen di kelas, sehingga di sinilah kedewasaan anda benar-benar diuji.

Ingat, mahasiswa adalah “independent student”, yang berarti kita dituntut untuk mandiri dalam belajar, bukan hanya menunggu tapi juga berinisiatif.

Musuh Terbesar Mahasiswa 

Musuh terbesar mahasiswa bukanlah dosen killer. Selama saya menjalani studi dari S1 hingga S3, saya sadar bahwa penyebab kegagalan dalam studi bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri sendiri. 

Musuh itu bernama procrastination sifat suka menunda. Awalnya terlihat sepele, hanya menunda sebentar, tapi lama-lama menumpuk dan berubah jadi beban yang berat.

Saya sendiri pernah merasakannya, ketika sebuah tugas yang bisa selesai dalam satu hari justru berlarut-larut karena alasan klasik: “nanti saja.” Hasilnya, tugas menjadi menumpuk, dikerjakan  terburu-buru, tidak maksimal, bahkan sering menimbulkan penyesalan. Karena itu, jika ingin berhasil di dunia kampus, kalahkan dulu musuh yang satu ini. 

Kiat Selesai Kuliah Tepat Waktu

Ketika pertama kali masuk kuliah, saya mendapat pesan penting dari salah satu guru besar di Universitas Pasundan, Prof. Wagiati Sutedjo. Beliau mengajar mata kuliah dasar “Pengantar Ilmu Hukum” dan menyampaikan bahwa semester satu dan dua adalah kunci sukses studi di perguruan tinggi. 

Jika IPK pada semester awal tinggi, maka mahasiswa bisa mengambil lebih banyak SKS di semester berikutnya. Sebaliknya, jika IPK rendah, kesempatan untuk mengambil SKS akan berkurang. Jadi, kuncinya ada di semester satu dan semester dua. 

Selain itu, Prof. Wagiati juga memberikan beberapa tips praktis yang sederhana namun sangat bermanfaat. Saya menerapkannya sejak S1 hingga S3, dan terbukti tips tersebut membantu saya menyelesaikan studi tepat waktu serta lulus dengan predikat cumlaude. 

Beberapa saran yang beliau berikan antara lain: Pertama, usahakan hadir di setiap kelas dan duduk di barisan depan supaya lebih fokus. 

Kedua, jangan lupa mencatat poin-poin penting dari penjelasan dosen. Setelah pulang, baca kembali catatan itu, lengkapi dengan referensi lain, lalu buat rangkuman dengan bahasa sendiri. Cara ini akan memudahkan kita memahami dan mengingat materi yang sudah dipelajari.

Ketiga, biasakan membaca materi atau referensi sebelum masuk kelas. Di awal perkuliahan, dosen biasanya memberikan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), yaitu panduan yang berisi jadwal dan rincian kegiatan belajar untuk satu semester. 

SAP ini penting dipahami agar kita tahu minggu ini akan belajar apa. Dengan begitu, saat masuk kelas kita sudah lebih siap karena sudah membaca materi yang akan dibahas.

Keempat, kerjakan setiap tugas dengan sungguh-sungguh. Ingat, tugas bukan hanya soal nilai, tetapi juga proses belajar. Saat mengerjakan tugas, sebenarnya kita sedang melatih banyak hal, seperti kemampuan menulis, dan berpikir logis.

Beliau juga mengingatkan, soal ujian biasanya tidak jauh dari apa yang dijelaskan dosen di kelas. Jadi, kalau kita konsisten menjalankan empat tips tersebut, sebenarnya kita sudah menyiapkan diri menghadapi ujian jauh-jauh hari. Terakhir, beliau berpesan jangan lupa selalu meminta doa orang tua agar kita dipermudah dalam menuntut ilmu. 

Cara Belajar Paling Efektif

Menurut penelitian National Training Laboratories (NTL) Institute, cara kita belajar sangat mempengaruhi seberapa lama ilmu bisa diingat. Dalam Learning Pyramid, jika kita hanya mendengarkan kuliah, yang terserap otak kita biasanya hanya sekitar 5%. Membaca buku sedikit lebih baik, sekitar 10%. Menonton video atau media audio-visual bisa mencapai 20%, sementara melihat demonstrasi langsung naik menjadi 30%. 

Hasilnya akan jauh lebih kuat jika kita ikut terlibat: diskusi kelompok bisa meningkatkan pemahaman sampai 50%, praktik langsung bisa mencapai 75%, dan cara paling efektif adalah dengan mengajarkan kembali ilmu kepada orang lain, yang tingkat keberhasilannya bisa sampai 90%.

Artinya, belajar terbaik bukan sekadar mendengar atau membaca, tapi mempraktikkan dan membagikan ilmu. Ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad: “bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Jadi setelah mendapat ilmu, jangan hanya disimpan sendiri, tapi sebarkanlah. 

Saat ini ada banyak cara untuk menyebarkan ilmu, mulai forum diskusi di kampus, menulis artikel/jurnal, hingga di media sosial. Semua sarana itu bisa dimanfaatkan agar ilmu yang kita miliki tidak berhenti pada diri sendiri, tetapi juga memberi manfaat bagi orang lain.

Nasihat ini saya dapat dari almarhum Pak Wirawan, dosen saya ketika S1. Kini, baik Prof. Wagiati maupun Pak Wirawan telah berpulang ke Rahmatullah. Semoga setiap ilmu yang mereka ajarkan menjadi amal jariyah, dan semoga Allah SWT menempatkan keduanya di tempat terbaik di sisi-Nya.

Lebih dari Sekedar Kuliah

Dalam artikel saya di Times Indonesia berjudul “Kecerdasan Emosional di Era AI”, saya menulis bahwa kecerdasan intelektual (IQ) ternyata bukan satu-satunya faktor penentu kesuksesan. 

Dari riset, Daniel Goleman (1995), IQ hanya berkontribusi sekitar 20% terhadap keberhasilan seseorang. Sisanya, sekitar 80%, sangat ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ) dan faktor-faktor lain seperti komunikasi, empati, kerja sama, hingga kepemimpinan.

Pun demikian, hasil penelitian dari Harvard, Stanford, dan Carnegie menunjukkan bahwa 85% kesuksesan justru ditentukan oleh soft skills, sementara hard skills hanya menyumbang sekitar 15%. 

Data di atas semakin relevan, bahwa laporan Bank Dunia (2020) yang menyebutkan lebih dari 50% lulusan Indonesia belum siap kerja karena lemahnya soft skills. 

Pesan ini penting dipahami oleh mahasiswa baru. Ketika kuliah, jangan hanya fokus mengejar IPK tinggi saja, tetapi juga kita harus melatih soft skills. Dimana soft skills di dapatkan? Tentunya bukan hanya di ruang kelas, melainkan dalam aktivitas kampus yang lain. 

Penting Berorganisasi

Saya pernah terlibat aktif di organisasi kemahasiswaan, hingga teman-teman memberi amanah kepada saya untuk menjadi Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa. Kadang ada yang bertanya, apakah kegiatan itu tidak mengganggu kuliah? Jawaban saya: tidak.

Bagi saya, pengalaman berorganisasi memberi banyak pelajaran berharga yang melengkapi apa yang saya dapatkan di ruang kelas.

Organisasi adalah laboratorium soft skills. Dari sana, saya belajar memimpin rapat, bernegosiasi, berkomunikasi, hingga menyelesaikan konflik. Semua itu bekal yang sangat berguna ketika saya bekerja di dunia kerja yang sesungguhnya.

Jadi, jangan ragu untuk ikut organisasi, kepanitiaan, atau komunitas. Kampus bukan hanya soal kuliah, tapi juga tempat belajar tentang kehidupan. Di sanalah kita bisa mengasah kepemimpinan, belajar bekerja sama, dan membangun jaringan yang kelak sangat berguna untuk masa depan.

Mahasiswa yang Ideal

Menjadi mahasiswa ideal artinya bisa menyeimbangkan waktu antara kuliah dan berorganisasi. Kuncinya ada pada manajemen waktu, agar masa kuliah tidak terbuang sia-sia. Prestasi akademik tetap menjadi prioritas, tapi jangan lupakan pentingnya mengasah soft skill melalui berbagai kegiatan organisasi.

Bagi mahasiswa hukum, ada banyak wadah yang bisa diikuti, seperti komunitas debat dan peradilan semu. Debat bermanfaat untuk melatih public speaking sekaligus kemampuan menyusun argumentasi hukum secara logis. Sementara itu, peradilan semu melatih kita menyiapkan dokumen hukum dan membiasakan diri menghadapi persidangan.

Selain itu, aktif di organisasi kemahasiswaan eksternal juga penting. Ada banyak pilihan, seperti HMI, GMNI, PMII, GMKI, dan lainnya. Dululu saya sendiri bergabung di HMI. 

Organisasi-organisasi ini membuka jaringan pertemanan yang lebih luas, tidak hanya dengan teman satu kampus, tapi juga dengan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia. Dari sanalah pengalaman, wawasan, dan relasi kita berkembang, menjadi bekal berharga ketika kelak masuk dunia kerja. 

Akhirnya, semangatlah menjalani peran sebagai mahasiswa baru. Nikmati setiap prosesnya, jangan takut mencoba hal-hal baru, dan teruslah belajar dengan tekun. Ingat, Yakin Usaha Sampai dengan kesungguhan dan kerja keras, semua cita-cita bisa diraih.

 

***

*) Oleh : Dr. Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H.,M.H., Jaksa dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES