
TIMESINDONESIA, PONOROGO – Nepal kembali mencatat sejarah politik yang tidak biasa. Setelah gelombang protes besar-besaran pada 8 September 2025 yang mengguncang Kathmandu dan kota-kota lain, pemerintahan Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli runtuh di bawah tekanan publik.
Setidaknya 72 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam unjuk rasa berdarah yang dipicu pemblokiran media sosial oleh pemerintah, gaya hidup mewah pejabat di tengah krisis ekonomi, serta isu pengangguran. Kekosongan kekuasaan pun terjadi. Namun, alih-alih menunggu elite lama mencari konsensus, generasi muda Nepal mengambil alih proses demokratisasi melalui medium yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, Discord.
Advertisement
Sid Ghimiri (2025), seorang Gen Z kreator konten mengatakan, “Parlemen Nepal saat ini adalah Discord.”. Kondisi ini menggambarkan realitas baru politik Nepal: forum digital menggantikan gedung parlemen yang dibubarkan.
Melalui sebuah server bernama Youths Against Corruption, lebih dari 145 ribu anggota sebagian besar Gen Z mengadakan diskusi terbuka, perdebatan sengit, hingga pemungutan suara daring.
Dalam sebuah sesi maraton selama lima jam pada 10 September 2025, yang juga disiarkan langsung melalui YouTube dan ditonton 10 ribu orang, muncul satu nama yang mengungguli kandidat lain: Sushila Karki.
Mantan Ketua Mahkamah Agung berusia 73 tahun itu dipilih karena rekam jejaknya sebagai hakim yang konsisten melawan korupsi. Dalam pemungutan suara virtual, Karki meraih 3.833 suara atau 50 persen dari total 7.713 suara yang masuk, mengalahkan tokoh populer seperti Harka Sampang dan Mahabir Pun.
Keputusan itu kemudian dibawa langsung oleh perwakilan komunitas Gen Z ke markas Tentara Nepal, disampaikan kepada Presiden Ram Chandra Paudel, dan akhirnya diterima secara konstitusional.
Pada 12 September 2025, Karki diangkat sebagai perdana menteri interim berdasarkan Pasal 61 Konstitusi Nepal. Ia menjadi perempuan pertama yang memimpin Nepal, dengan mandat menyelenggarakan pemilu pada 5 Maret 2026.
Fenomena ini hanya mungkin terjadi karena perubahan fungsi sebuah platform digital. Discord, yang semula dikenal sebagai sarana komunikasi gamer, kini menjelma menjadi ruang demokrasi.
Fitur server pribadi, kanal diskusi bertopik, hingga sistem roles untuk mengatur anggota menjadikannya medium yang inklusif sekaligus terorganisir. Jika sebelumnya dipakai untuk berbagi strategi gim, kini Discord dimanfaatkan untuk menyusun strategi politik dan memilih pemimpin nasional.
Peralihan fungsi ini sejalan dengan tren global di mana komunitas non-gamer dari kursus bahasa hingga forum hobi menggunakan Discord sebagai tempat interaksi. Namun, di Nepal, ia mendapat makna yang jauh lebih radikal: transformasi menjadi forum politik digital yang mampu mengguncang struktur negara.
Apa yang dilakukan Gen Z Nepal adalah eksperimen demokrasi digital yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka menunjukkan bahwa legitimasi dapat dibangun melalui konsensus daring, bukan semata-mata lewat prosedur formal di bawah kendali elite. Kekecewaan pada partai lama, maraknya korupsi, dan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis ekonomi membuat Gen Z mencari jalan alternatif.
Namun, metode ini bukannya tanpa celah. India Today menyoroti bahwa pemungutan suara di Discord sulit diverifikasi, sehingga memungkinkan orang dari luar Nepal ikut memilih. Risiko manipulasi, keamanan data, dan representasi juga masih menjadi pertanyaan besar. Dengan kata lain, demokrasi digital melalui Discord lebih tepat dipandang sebagai bentuk “pra-politik” atau tekanan publik ketimbang mekanisme legal formal.
Meski demikian, bagi Gen Z Nepal, legitimasi moral jauh lebih penting daripada sekadar prosedur formal. Discord bukan hanya alat teknis, melainkan simbol generasi yang menolak korupsi dan menuntut transparansi.
Keterlibatan Gen Z dalam politik Nepal tidak bisa dilepaskan dari dinamika global. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan internet, terbiasa mengorganisasi diri melalui media sosial, dan alergi terhadap hierarki kaku. Ketika akses ke Facebook dan Instagram diblokir, Discord menjadi ruang alternatif yang lebih cair dan sulit dikontrol.
Lebih jauh, Gen Z di Nepal memperlihatkan bahwa demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan praktik sosial. Mereka berani menolak tawaran dialog dari militer jika dipaksa berhadapan dengan tokoh konservatif, menunjukkan sikap tegas agar perubahan tidak dibajak elite lama. Sikap ini mencerminkan sebuah etika politik baru: partisipasi langsung, desentralisasi diskusi, dan fokus pada integritas.
Fenomena Nepal mengundang pertanyaan, mungkinkah hal serupa terjadi di Indonesia? Dengan lebih dari 27 persen penduduk berusia Gen Z, Indonesia memiliki modal demografis besar. Terlebih belakangan kepercayaan terhadap lembaga politik konvensional sering kali rendah, sementara penggunaan platform digital terus meningkat.
Namun, kita juga perlu melihat perbedaan konteks. Indonesia memiliki sistem demokrasi elektoral yang lebih mapan dibanding Nepal. Meski demikian, ruang digital tetap bisa menjadi kanal penting bagi partisipasi politik anak muda. Discord, Telegram, atau platform serupa bisa menjadi “parlemen bayangan” tempat generasi muda menguji gagasan, menekan elite politik, dan membangun gerakan sosial.
Tantangan terbesar adalah memastikan keterhubungan antara demokrasi digital dan demokrasi formal. Tanpa mekanisme verifikasi dan keterlibatan institusi, pemungutan suara daring tidak bisa langsung dijadikan dasar hukum. Tetapi sebagai sarana pendidikan politik, ruang-ruang digital ini dapat melatih partisipasi, membentuk opini publik, dan mengasah budaya deliberatif di kalangan anak muda.
Nepal telah menunjukkan bahwa demokrasi bisa muncul di ruang-ruang tak terduga. Discord, yang dulu sekadar platform gamer, kini menjadi “gedung parlemen virtual” tempat Gen Z menegakkan legitimasi moral. Meski rapuh dari sisi legal, fenomena ini mencerminkan semangat segar: generasi muda tidak lagi mau menjadi penonton dalam panggung politik.
Bagi Indonesia, pelajaran dari Nepal adalah ajakan untuk tidak meremehkan ruang digital sebagai kanal politik. Discord dan forum serupa bisa menjadi wadah untuk melatih demokrasi partisipatif, menguji integritas pemimpin, sekaligus memperluas imajinasi politik anak muda. Demokrasi, pada akhirnya, tidak hanya hidup di gedung parlemen, tetapi juga di ruang obrolan virtual tempat generasi baru berani menulis sejarahnya sendiri.
***
*) Oleh : Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah UIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |