
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada 2025 hadir dengan visi besar: menurunkan angka stunting dan memperbaiki kualitas gizi masyarakat, terutama anak sekolah, ibu hamil, serta ibu menyusui.
Targetnya ambisius, puluhan juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Namun, di balik cita-cita mulia itu, realitas di lapangan justru menampakkan wajah lain: rentetan kasus keracunan massal yang menimbulkan kegelisahan publik.
Advertisement
Pertanyaan pun menyeruak apakah keamanan pangan benar-benar menjadi prioritas utama dalam desain program ini, ataukah tergadaikan oleh ambisi politik dan kejar target?
Fakta yang terkuak tidak bisa disepelekan. Di Garut, Jawa Barat, lebih dari 500 siswa mengalami mual dan muntah setelah mengonsumsi menu MBG. Di Sragen, Jawa Tengah, ratusan siswa jatuh sakit akibat sajian nasi kunyit, tempe goreng, sayur mentah, dan susu.
Sementara di Sulawesi Tengah, kasus serupa juga terjadi dengan korban mencapai ratusan anak. Hingga September 2025, Badan Gizi Nasional mencatat 45 kasus keracunan luar biasa dengan lebih dari 5.000 siswa terdampak.
Temuan bakteri E. coli dan Salmonella dalam sejumlah sampel makanan kian menegaskan bahwa persoalan ini bukan insiden sporadis, melainkan masalah sistemik yang menggerogoti fondasi program.
Jika ditelusuri lebih jauh, akar persoalan tampak jelas. Pertama, lemahnya pengawasan rantai pasok. Banyak vendor penyedia makanan yang tidak memiliki sertifikasi higienitas, bahan baku kadang mendekati kedaluwarsa, dapur mitra tidak steril, sementara proses distribusi sering kali tidak memadai.
Kedua, tergesa-gesa dalam implementasi. Program berskala nasional ini digulirkan tanpa uji coba yang matang, seleksi vendor minim ketat, sehingga kualitas penyedia makanan sangat timpang antarwilayah.
Ketiga, absennya SOP dan audit rutin. Banyak dapur mitra tidak memiliki standar operasional jelas, sementara uji laboratorium dan inspeksi acak nyaris tidak berjalan konsisten.
Keempat, respons pemerintah yang defensif. Alih-alih menenangkan publik, pernyataan bahwa tingkat keracunan hanya 0,5 persen dari total porsi justru memperparah krisis kepercayaan. Sekecil apa pun persentasenya, keracunan massal yang menimpa anak-anak adalah tragedi yang tidak bisa ditoleransi.
Kritik terhadap MBG sejatinya tidak ditujukan pada tujuannya, melainkan pada tata kelola yang buruk. Pemerintah terlalu terobsesi pada kuantitas berapa banyak penerima manfaat tetapi abai pada kualitas apakah makanan itu aman dan layak konsumsi. Padahal, dalam kebijakan publik, terutama yang menyangkut kesehatan anak, kualitas seharusnya menjadi prinsip tak tergoyahkan.
Lebih jauh, ketiadaan komunikasi krisis yang transparan membuat publik menerima informasi simpang siur. Pendekatan defensif justru menggerus legitimasi pemerintah dan membuka ruang bagi ketidakpercayaan yang lebih dalam. Jika pola ini dibiarkan, MBG bukan hanya gagal menjawab persoalan gizi, tetapi juga bisa berubah menjadi beban politik.
Perlu ada langkah sistemik untuk memperbaiki situasi. Regulasi khusus keamanan pangan berbasis standar internasional seperti HACCP wajib diberlakukan, dengan klausul penalti tegas bagi vendor yang lalai.
Lembaga pengawas harus diperkuat melalui kolaborasi antara BGN, BPOM, dinas kesehatan, dan dinas pendidikan, dengan audit mendadak, uji laboratorium acak, hingga moratorium bagi dapur bermasalah. SOP teknis yang ketat terkait sanitasi, kontrol suhu, hingga transportasi dengan pendingin harus diterapkan, disertai pelatihan berkala bagi seluruh SDM.
Pemanfaatan teknologi digital dan IoT dapat memperkuat transparansi, mulai dari pelacakan rantai pasok hingga sistem pelaporan cepat berbasis aplikasi. Tak kalah penting, sekolah dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif melalui komite pengawas pangan dan saluran pengaduan terbuka.
Sebelum semua standar ini dipenuhi, pemerintah sebaiknya menunda ekspansi program ke daerah baru. Moratorium ekspansi jauh lebih bijak daripada melanjutkan distribusi makanan yang berpotensi membahayakan.
Anggaran bisa dialihkan sementara untuk memperkuat fasilitas dapur, meningkatkan pelatihan SDM, dan membenahi infrastruktur yang menunjang keamanan pangan. Transparansi publik melalui audit berkala juga krusial untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Kasus keracunan massal dalam program MBG adalah alarm keras bahwa ambisi politik tidak boleh mendahului keselamatan publik. Tujuan program memang mulia, tetapi jika tata kelola rapuh, manfaat yang diharapkan bisa berubah menjadi mudarat.
Kritik masyarakat dan pengawas kebijakan seharusnya tidak dianggap ancaman, melainkan masukan konstruktif untuk perbaikan sistem. Jika pemerintah berani mengambil langkah korektif, MBG masih berpeluang menjadi warisan kebijakan penting yang benar-benar membawa dampak positif bagi generasi muda Indonesia.
***
*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Founder The Indonesian Foresight Research Institute, Assistant Professor UINSA, LP Ma'arif Jatim Book Writing Team.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |