
TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Ketika berita ekonomi menampilkan grafik pertumbuhan pertanian, sering kali yang kita lihat hanyalah angka: sekian persen naik, sekian persen turun. Petani direduksi menjadi titik-titik dalam kurva, seolah hidup mereka hanyalah data dalam laporan kementerian.
Padahal, di balik angka itu ada manusia yang setiap pagi berangkat ke sawah, menggenggam cangkul, berhadapan dengan lumpur, hujan, dan terik matahari. Petani bukan sekadar komponen statistik, melainkan aktor utama dalam drama besar bernama ketahanan pangan.
Advertisement
Cerita tentang petani selalu menarik bila didekatkan pada kehidupan nyata. Misalnya, seorang petani jagung di Bojonegoro yang saya temui pernah berkata, “Mas, jagungku tahun ini harganya naik, tapi pupuknya juga ikut naik. Jadi sama saja.”
Kalimat sederhana itu bisa jadi lebih jujur daripada ratusan halaman laporan pembangunan pertanian. Dari situ kita bisa belajar bahwa kesejahteraan petani tidak bisa diukur hanya dari angka produksi atau produktivitas. Ada faktor biaya, distribusi, hingga kebijakan yang sering kali justru tidak berpihak.
Dalam teori pembangunan, Amartya Sen menekankan pentingnya capability approach bahwa kesejahteraan bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga soal kemampuan manusia menjalani kehidupan yang ia nilai berharga.
Jika ditarik ke dunia pertanian, kesejahteraan petani tidak cukup diukur dari berapa ton padi yang mereka hasilkan. Yang lebih penting adalah: apakah mereka bisa menyekolahkan anak, mengakses layanan kesehatan, atau menikmati hasil panen tanpa dihantui tengkulak.
Statistik produksi nasional bisa saja membanggakan, tetapi di tingkat individu petani, realitasnya belum tentu seindah angka di tabel. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah rumah tangga petani terus menurun setiap sensus pertanian. Fenomena ini bukan sekadar data demografi, melainkan tanda bahwa profesi petani semakin ditinggalkan generasi muda karena dianggap tidak menjanjikan.
Tanpa petani, apa yang kita makan setiap hari tidak akan sampai ke meja makan. Teori food security dari FAO menegaskan bahwa ketahanan pangan bergantung pada ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. Dari empat pilar itu, peran petani sangat vital pada aspek ketersediaan.
Tetapi anehnya, petani justru sering menjadi kelompok yang paling rentan terhadap rawan pangan. Banyak petani yang masih membeli beras karena mereka tidak punya cukup lahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri.
Kondisi ini mengingatkan pada ironi yang disebut Clifford Geertz dalam Agricultural Involution: petani Jawa bekerja semakin keras di sawah, tapi hasilnya justru makin terbagi tipis. Jadi, jangan heran jika banyak petani yang hidup pas-pasan meski mereka bekerja keras setiap hari.
Kebijakan pertanian sering kali berbicara dalam bahasa besar: swasembada, ketahanan pangan, modernisasi. Tetapi bahasa besar itu jarang turun sampai pada kebutuhan konkret petani: akses pupuk tepat waktu, harga gabah yang stabil, atau infrastruktur irigasi yang terawat.
Data memang penting untuk membuat kebijakan, tetapi data seharusnya menjadi pintu masuk untuk memahami realitas, bukan menutupinya.
Sebagai contoh, program subsidi pupuk sering diumumkan dengan angka triliunan rupiah. Namun di lapangan, petani sering mengeluh sulit mendapatkannya. Artinya, antara statistik nasional dan kenyataan lokal masih ada jurang yang menganga.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang: petani bukan objek statistik, melainkan subjek pembangunan. Caranya bisa melalui koperasi tani, akses ke teknologi digital, hingga pendidikan anak petani agar mereka bisa meneruskan usaha pertanian dengan cara yang lebih modern.
Kisah sukses seperti petani milenial yang memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk bisa menjadi contoh. Mereka bukan hanya menghasilkan pangan, tetapi juga mengemas pertanian sebagai gaya hidup yang keren. Dengan begitu, generasi muda tidak lagi alergi pada sawah atau ladang.
Jika kita terus memandang petani hanya sebagai angka, maka masalah pertanian hanya akan berputar pada siklus laporan tahunan. Tetapi bila kita memandang petani sebagai manusia dengan segala cerita, maka kita akan sadar bahwa mendukung mereka berarti mendukung masa depan bangsa. Sebab, apa artinya pertumbuhan ekonomi jika rakyat masih kesulitan makan?
Dalam sebuah peribahasa Jawa disebutkan, “sapa nandur bakal ngundhuh” siapa yang menanam akan menuai. Tetapi dalam kenyataan, sering kali yang menuai justru pihak lain, sementara petani hanya kebagian sisanya. Tugas kita bersama adalah memastikan petani benar-benar menikmati hasil jerih payahnya.
Petani memang bisa dihitung dalam statistik, tetapi kehidupan mereka tidak boleh berhenti di situ. Mereka adalah wajah konkret dari perjuangan bangsa menjaga dapur tetap mengepul.
Angka boleh naik-turun, tetapi martabat petani seharusnya selalu naik. Karena tanpa mereka, kita hanya akan menjadi penonton kelaparan di negeri yang katanya subur makmur.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |