
TIMESINDONESIA, PAMEKASAN – Kerusakan lingkungan hidup di berbagai daerah Indonesia adalah fenomena sekaligus problematika serius yang mengundang keprihatinan berbagai pihak. Kritikan dari akademisi, praktisi, dan berbagai organisasi banyak menghiasi ruang-ruang media sosial (medsos). Bahkan di berbagai media cetak dan online, kritik demi kritik terhadap pemerintah maupun pemerintah daerah yang dianggap kurang peduli terhadap masa depan lingkungan hidup selalu muncul.
Upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif) yang dilakukan oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum belum menunjukkan keberhasilan yang maksimal. Salah satu contohnya adalah maraknya aktivitas pertambangan yang pure economic oriented dan business oriented untuk proyek pembangunan maupun kepentingan infrastruktur lainnya. Aktivitas tersebut berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup dan telah menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak menjadi shock therapy serta terkesan gagal total.
Advertisement
Proteksi konstitusi terhadap lingkungan hidup sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 28H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian UU HAM Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, semua itu hanyalah harapan yang berbanding terbalik dengan kenyataan.
Perlindungan hak asasi lingkungan hidup yang dituangkan dalam norma konstitusi dan UU HAM justru berbanding terbalik dengan realitas kondisi lingkungan hidup saat ini, dengan tingkat degradasi pada titik kulminasi yang mengkhawatirkan. Pemanfaatan lingkungan hidup secara berlebihan (monopoli) dan bebas (res nullius) oleh segelintir pemilik modal berimplikasi terhadap pemanfaatan lingkungan hidup untuk kepentingan umum (res commune) serta mereduksi hak asasi lingkungan hidup secara kolektif.
Urgensi Mengkaji Ulang dan Mengevaluasi
Sebagai bagian dari HAM yang diatur dalam konstitusi, eksistensi lingkungan hidup harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Pemanfaatan yang melampaui batas dan praktik monopoli sumber daya alam yang lost control tidak hanya mereduksi hak asasi lingkungan hidup serta melanggar konstitusi, tetapi juga dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya.
A.M. Yunus Wahid (2018) menyatakan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup menganut sistem dalam arti luas dan berjenjang, meliputi tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif adalah prioritas untuk penataan dan pemenuhan ketentuan hukum (yang bersifat compliance) melalui sosialisasi, pelatihan, dan upaya meyakinkan orang secara bijaksana menuju penataan hukum.
Prioritas ini sejalan dengan konsep sinergitas dan keterpaduan berbagai pihak dalam mengatasi problematika lingkungan hidup yang harus dipecahkan dengan pendekatan inter dan multidisipliner serta lintas sektoral sesuai dengan sifatnya yang multikompleks. Hal tersebut dipandang lebih baik daripada konfrontasi yang mengeskalasikan konflik sebagaimana tercermin dalam penegakan represif lewat sanctioning strategic dengan penal style sebagai karakteristiknya.
Upaya konkret yang harus dilakukan adalah mengevaluasi dan mengkaji ulang berbagai norma di dalam undang-undang bidang lingkungan hidup, baik yang sifatnya lex generalis maupun lex specialist, dengan tiga hal:
Pertama, menjadikan sarana pemidanaan sebagai langkah utama (primum remedium), terutama bagi pengusaha bisnis lingkungan hidup yang melanggar hukum dengan tidak mengantongi izin (ilegal).
Kedua, penguatan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak hanya kewenangan menggugat perdata sebagaimana Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), tetapi juga kewenangan sebagai pengadu/pelapor dugaan tindak pidana lingkungan hidup.
Ketiga, mendorong penguatan pelibatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup terhadap hak gugat perdata dan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 91–93 UU PPLH, yang tentunya gayung bersambut dengan komitmen perlindungan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Jika tiga hal tersebut diwujudkan, maka penegakan hukum lingkungan hidup akan berjalan dengan baik. Aturan hukumnya tidak lagi menyisakan pertentangan norma yang dapat menghambat optimalisasi penegakan hukum lingkungan hidup pada ranah empiris saat ini maupun di masa yang akan datang. Selain itu, masyarakat semakin yakin bahwa pemerintah dan pemerintah daerah tidak setengah hati menerapkan aturan hukum lingkungan hidup yang bermuara pada tindakan preventif dan represif. (*)
***
*) Oleh: Ribut Baidi, Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |