Kopi TIMES

Gonjang Ganjing Makan Bergizi Gratis: Kesalahan Kebijakan atau Inkompetensi Pengelola

Senin, 29 September 2025 - 09:23 | 6.46k
Prof. Mangku Purnomo. PhD. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Prof. Mangku Purnomo. PhD. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

TIMESINDONESIA, MALANG – Lebih dari lima ribuan siswa keracunan diberbagai daerah setelah menyantap makanan MBG (Makan bergizi Gratis). Versi kantor staff kepresidenan itu angka kecil.

Tentu angka kecil secara statistik dari 80 juta target, tetapi berkait nyawa kita tidak boleh berdebat angka. Wal-hasil muncul wacana menghentikan atau perubahan skema MBG. Drastis, dari memberikan makan matang dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ke bentuk tunai.

Advertisement

Masyarakat juga para ahli terpecah dalam masalah ini. Kelompok penolak ada yang menyarankan ke pola direct, yakni bantuan tunai ke rumahtangga dan ada yang langsung menghentikan.

Kelompok penerima terbagi menjadi dua, pakai bundling langsung seperti rangsum tentara artinya pabrikasi atau pola saat ini dengan memodifikasi proses. Yang menolak atau menerima keduanya bisa jadi belum paham konsep MBG, atau bisa jadi juga sumpek dengan cara kerja dan sikap para pejabat kita selama ini.

Hingga hari ini korupsi dan berbagai inefektiftas program pemerintah terjadi dimana-mana. Meskipun kita juga tahu penegakan hukum terkait korupsi juga luar biasa. Mungkin karena saking lamanya diprank penegak hukum, rakyat akhirnya cenderung apatis.

Tentunya wajar jika rakyat berprasangka MBG tak lebih sebagai bentuk baru korupsi bersama. Sebagaimana rusuh Agustus, gonjang ganjing MBG ini sedikit banyak disebabkan oleh rasa mulai “eneg” atau “muak” dengan retorika.

Para penyelengara MBG pasti bilang kondisi sangat baik. Sekian juta terlayani! Keracunan hanya nol koma nol nol nol dua persen saja! Maklum kami lembaga baru! Atau bla-bla-bla, yang semakin mengkristalkan keapatisan masyarakat. Faktanya keracunan terjadi.

Laporan buruknya kualitas makanan selalu ada! Jika terus berlanjut, akan sangat fatal, bisa mendorong penolakan massal. Apabila keputusan MBG diberhentikan atau diubah skemanya tanpa kajian mendalam, saya takut sebagai bangsa kita mengalami kerugian bersama.

Makan Bergizi, Kembali ke Basic Needs

Secara konseptual makanan termasuk dalam kategori basic needs. Bersama dengan pendidikan dan kesehatan serta rumah, energi dan air bersih.

Secara teori, MBG memiliki landasan ilmiah yang kuat. Penelitian Esther Duflo, Abhijit Banerjee, dan Michael Kremer—pemenang Nobel Ekonomi 2019—membuktikan intervensi pendidikan dan gizi berpengaruh besar terhadap pengentasan kemiskinan. Indonesia sendiri adalah contoh riset Duflo terkait program SD Inpres.

MBG juga sejalan dengan praktik global. Data Global Child Nutrition Foundation (GCNF) 2024 mencatat 169 negara telah mengadopsi program serupa dengan manfaat bagi 407,8 juta anak. Artinya, MBG bukan kebijakan asal-asalan.

Pendekatan basic needs ini juga menjadi jawaban atas semakin tingginya kesenjangan sosial.

Pertumbuhan ekonomi tidak secara langsung mengalir pada lapis bawah. Memberi mereka support langsung dengan memberi tambahan asupan gizi menjadi sangat rasional. Strategi pemerintah tentu ini tidak sigle track, digabung dengan berbagai bantuan sosial lain.

Jadi, kita tinggal kupas kebijakan dan pengelolaanya! Apakah kebijakannya yang tidak proper? Atau pengelolanya yang tidak kompeten? Mari kita kupas satu persatu agar bisa mengambil kesimpulan dengan tepat, tidak berdasar commonsense belaka.

Saya termasuk yang takut sebuah program bagus, hanya karena deleverinya yang kurang optimal harus dihapus!

Pertama, MBG adalah program yang dicita-citakan semua negara di dunia terutama negara miskin dan berkembang. Negara maju hampir semua sudah menerapkan. Global Child Nutrition Foundation (GCNF) tahun 2024 mencatat sebanyak 169 negara mengadopsi program ini dengan 407,8 juta anak-anak menerima manfaatnya.

Dilihat dari sebaran negara mulai dari Eropa, Asia, Amerika Latin hingga Afrika dan besarnya jumlah anak-anak yang dilayani, mengatakan MBG kebijakan abal-abal tentu tidak mendasar. Oleh karena itu, maka kita harus membedah kebijakan itu sendiri dan bagaimana deliverinya sehingga kita tidak mengambil keputusan tergesa-gesa dan keliru.

Kedua, MBG adalah dukungan terhadap investasi sumberdaya manusia, untuk masa depan. Investasi manusia untuk memastikan keberlangsungan bangsa. Merekalah yang akan produktif sementara kita menua, sehingga persiapan harus dilakukan sejak dini.

Anak-anak yang kita kasih makan sekarang adalah investasi tidak langsung kita. Meskipun kita memiliki harta berlimpah jika para penerus kita adalah generasi buruk, maka kita juga akan jatuh miskin.

Artinya pensiun kita bisa hilang jika ekonomi bangsa buruk. Karena jangka panjang, maka investasi ini harus negara yang mengambilnya. Sementara kita tahu innovasi adalah kunci, innovasi akan lahir dari generasi yang sehat dan cerdas. Itulah kenapa MBG dicita-citakan oleh hampir seluruh bangsa.

Ketiga, MBG membuka peluang baru bagi new supply chain pangan. Ini sangat erat dengan keluhan pembangunan pertanian hingga saat ini. Produksi terus meningkat sementara kesejahteraan petani stagnan. Biang kerok ada pada supply chain yang kurang adil terutama keberadaan tengkulak. Komoditi pertanian bahkan yang memasok industri saja terus rendah nilainya.

Dengan pembelian langsung, maka MBG membuka peluang itu. Delapan puluh juta siswa merupakan pasar besar untuk komoditas pertanian. Dari sini, melihat MBG hanya sekedar program memberi makan tentu kurang konteks. Inilah salah satu multiple effect dari sisi petani dan kelembagaan pemasaran produknya.

Keempat, MBG akan menjadi suplemen bagi pengentasan kemiskinan mendampingi bansos dan berbagai program lainnya. Sama dengan program negara mengambil anggota keluarga miskin dengan memberi pendidikan gratis melalui Sekolah Rakyat.

Dalam skala kecil, dengan memberi makan siang maka anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan sebesar RP. 330.000,_ setiap bulan dengan asusmsi masuk 22 hari dan RP. 15.000,_ tiap porsinya. Jika garis kemiskinan (GK) per kapita adalah Rp. 600.000,_  maka negara telah mengangkat mereka lebih dari 50 persen beban pengeluaran individual. Tentu, ini belum termasuk berapa jumlah tenaga kerja setiap SPPG yang menyediakan makanan setiap harinya, jika mereka juga berasal dari keluarga miskin.

Kelima, menumbuhkan investasi karena seluruh pembangunan fasilitas SPPG adalah swasta. Setiap SPPG butuh anggaran pembangunan berkisar antara 2 hingga 3 milyard rupiah. Jika 80 juta target penerima manfaat lalu tiap 3 ribu siswa sekolah dilayani satu SPPG maka akan ada 26 ribu SPPG, atau setara dengan 54 triliun investasi swasta.

Jumlah yang sangat besar apalagi pembangunan SPPG termasuk menyerap banyak tenaga kerja. Ini belum belanja alat masak dan trasportasi. Jika berjalan stabil maka tenaga kerja yang akan terekut sebanyak 1,3 juta. Ini secara tidak langsung akan menompang lebih dari 4 juta penduduk. Lapangan kerja yang tentu saja sulit dibuat oleh industri manapun dalam waktu singkat.

Melihat lima kondisi di atas, maka program ini sangat proper. Wacana pengalihan program MBG menjadi pemberian bantuan tunai atau apapun bentuk program pengganti butuh kajian serius. Artinya, secara program MBG sangat proper baik tujuan langsungnya ataupun multiple effectnya. Penghentian MBG akan memperlambat upaya untuk mempercepat proses pengentasan kemiskinan. Apalagi jika MBG juga berkembang kepada ibu hamil dan menyusui. Digabungkan dengan program Posyandu Plus dimana pengantar dan bayinya juga makanan tambahan-MBG bisa menjadi sebuah kerja mengelevasi kapasitas SDM bangsa secara cepat.

Sebagaimana kita mahfum, pada masa lalu ratusan triliun rupiah telah digelontorkan pemerintah untuk program stunting, hasilnya nol besar! Prevalensi stunting kita 2021 sebesar 24,4 persen dan hanya turun menjadi 19,8 persen pada tahun 2024.

In Efisiensi Proses atau In-kompentensi Pengelola?

Untuk secara langsung menvonis pengelola kurang cakap, tentu tidak adil! Kami mengerti kita semua ingin berbuat terbaik untuk bangsa. Mengorbankan diri untuk bangsa jika merujuk sumpah jabatan. Korban waktu, tenaga juga reputasi tentunya. Tetapi kurang gercep ke publik menjelaskan berbagai tudingan miring juga langkah salah. Meski niat kita baik, program juga baik, tetapi tidak berani tampil ambil inisiatif juga bisa menjadi bencana.

Kami yakin, pengelola mengerti konsep dan proses implementasi secara mendalam. Berbagai simulasi dan evaluasi juga telah dilakukan.

Tentu sebagai pengelola merasa sudah mengambil kebijakan paling akurat dan optimal. Itu adalah naluri manusiawi. Tetapi kenyatannya mulai banyak yang bicara. Mengkritik dengan berbagai data pendukung.

Sebagian akurat sebagian tidak. Tetapi setidaknya desakan menghentikan sudah sangat kuat. Dan jika kondisi ini terus berlanjut, pada saat bersamaan para orang tua tidak memperbolehkan anak-anaknya makan. Maka program yang sedemikian proper terancam hilang.

Kembali pada tata kelola. Dari sisi pelibatan stakeholder terutama yang fungsional rupanya kurang memadai, seperti asosiasi gizi, para penggiat pangan sehat, juga infleuncer-influencer pangan. Stakeholder yang “dipersepsikan” masyarakat hingga hari ini jika ngomong MBG selalu “tentara”, polisi, dan Ormas atau yayasan.

Jika dipersepsi demikian, sementara simbol-simbol itu krediblitasnya juga masih agak “diragukan” maka potensi fitnah sangatlah besar. Tidak semua orang percaya tentara, polisi, ormas besar apalagi yayasan.

Generasi muda juga masyarakat umum yang tidak terafiliasi mulai menganggap mereka sebagai “gurita” yang ikut-ikutan mengambil kue negara untuk golongannya saja. Apalagi di daerah. Itu lagi itu lagi, yang secara psikologis semakin menimbulkan kecemburuan.

Mestinya stakeholder fungsional di atas dilibatkan, bahkan orang tua murid juga harus dilibatkan. Diinformasikan dari SPPG mana  anaknya akan mendapat makan siang. Mereka bisa ikut mengawasi sesuai porsinya, dan menjadi sistem kontrol tambahan. SPPG nakal dapat hukuman sosial. Ini jauh lebih efektif daripada moniroting resmi pemerintah, bahkan aparat. Medsos sangat membantu partisipasi dan kontrol sosial masyarakat. Ini adalah problem pertama dan utama tetapi krusial!

Kedua, kesiapan supply bahan baku. Hampir disemua SPPG pasti mengalami kendala. Jika tujuannya memberdayakan petani produsen, saya yakin masih jauh panggang dari api. Ada kemungkinan, yayasan selain sebagai pemilik SPPG juga menjadi suplayer. Jika demikian, maka uang hanya akan berputar disekeliling orang-orang yayasan saja. Tiga puluh juta rupiah untuk 3 ribu porsi yang mustinya meluncur ke petani produsen akan kembali ke yayasan pengelola, perusahaan atau siapaun mitra BGN. Alhasil, dipastikan tidak terjadi multiple effect ke bawah apalagi hingga petani produsen. Mereka pasti akan mengambil barang apakah sayur, buah, protein dari pedagang-pedagang eksisting kemudian mengambil marjin lagi.

Muncul tengkulak baru yang menengkulaki tengkulak reguler pada suplay chain pangan kita. Tujuan untuk membangun suplay chain baru tidak terwujud. Jika ada larangan khusus dan ditegakkan maka dengan sendiri akan terbangun supply chain baru yang lebih kompetitif. Kemungkinan ini sangat terbuka jika tidak diatur secara rigid. Meski mampu memberi harga lebih murah, tetap saja ada potensi korup. Terlebih, indikator harga lebih murah juga relatif “sumir”.

Manajemen yang baik mengedepankan profesionalitas dan konflik kepentingan harus dihindari. Membeli langsung ke pasar-pasar sayur dan daging jauh lebih baik daripada dimonopoli yayasan. Seiring dengan itu, pemberdayaan petani produsen juga dilakukan.

Ketiga, di lapangan, kita belum melihat teman-teman dari Kementerian Pertanian yang punya beras, ayam, sapi, dan buah belum bergerak. Padahal mereka mendampingi kelompok produsen pangan sejak Indonesia merdeka. Kementrian perikanan dan kelautan yang tahu peta produksi ikan dan mendampingi tempat-tempat pelelangan ikan juga belum terlihat gregetnya.

Entah kami yang tidak tahu atau memang semua masih meraba-raba karena Badan Gizi Nasional adalah lembaga baru. Padahal selama ini kendala utama para produsen pangan adalah pasar. Jika SPPG bisa menjadi offtaker, tentu masalah puluhan tahun pemberdayaan petani sedikit terselesaikan.

Keempat, potensi MBG bisa memunculkan nilai tambah di sentra-sentra produksi juga tidak akan tercapai. Kenapa, karena SPPG mengambil bahan baku material dasar tanpa diolah. Jika pengolahan paling tidak hingga tingkat medium dilakukan di desa, akan menyerap tenaga kerja lebih besar.

Hal ini juga potensial mengurangi kemiskinan pedesaan yang tinggi. Sampah sisa olahan seperti gagang sayur, kulit sayur dan buah, juga berbagai kulit rempah dapat dikembalikan ke lahan jika pengolahan setengah jadi ada di desa. Mungkin sudah dipikirkan dan sedang dikerjakan. Sekali lagi kami masyarakat belum mendapatkan info yang memadai. Selain nilai tambah, menggeser pekerjaan dasar ke desa akan mengurangi beban kerja di SPPG.

Kelima, beban manajemen. Mempekerjakan 50 orang mulai dari jam 12 malam hingga siang hari bukan perkara mudah. Butuh tenaga-tenaga tidak hanya trampil juga berdedikasi tinggi. Ketrampilan dapat dilatih, tetapi ketahanan butuh waktu lama.

Jika bahan baku dari sentra produksi sudah setengah jadi, maka dapur SPPG hanya tinggal memasak tanpa mempersiapkan bahan baku dari awal. Ini akan bedampak ganda, menumbuhkan nilai tambah di pedesaan dan mempercepat pekerjaan di SPPG. Hasilnya makanan matang akan diterima oleh siswa dalam keadaan fresh. Potensi busuk berkurang, beban kerja kecil dan nilai tambah produk pertanian meningkat.

Kita hanya butuh hitungan berapa equivalen jumlah tenaga kerja yang dikurangi dari setiap SPPG untuk mengerjakan kegiatan itu di desa, sentra produksi pangan.

Jika secara ekonomi lebih efisien meskipun harga beli bahan lebih mahal karena setengah jadi, pilihan ini bisa menjadi pertimbangan. Biaya operasional akan berkurang, dan jika terkompensasi dengan pengurangan tenaga kerja akan menjadi salah satu solusi. Selama ini pemberdayaan yang dilakukan masih sekedar pada penyediaan bahan baku kasar sehingga nilai tambah tidak terbentuk.

Jadi, MBG sebagai program sangat proper. Baik langsung untuk perbaikan gizi siswa sekolah, juga instrumen pengentasan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi dari proses bisnis atau tata kelola masih butuh banyak pembenahan.

Terutama dari sisi “flow of goods” dari produsen bahan pangan, pengolahan, distribusi hingga sampai di meja siswa.

Masih butuh perombakan mendasar dari sisi tata kelola untuk menjadi stabil. Dari sisi kegercepan dalam menyelesaikan masalah dan komunikasi publik saja terlihat masih sangat lemah.

Tentu ini dari kami sebagai masyarakat. Pengelola pasti bilang sudah optimal. Wajar, itu termasuk kinerja. Tetapi kegaduhan ini terjadi tentu saja karena ada problem yang harus diselesaikan.

Buka Telinga, Lapang Dada, dan Berbenah

Sekali lagi, MBG bagi yang belajar ilmu pembangunan jelas memiliki dasar ilmiah yang kuat. Nilai strategic sebagai program sangat memadai bahkan melampui standard program biasa.

Proses delivery dan bisnis prosesnya yang membutuhkan perombakan. Ada usulan cluster, prioritas untuk SD dan SMP karena disana anak orang miskin belajar, memilih kawasan paling miskin dan lain-lain termasuk usulan teknis yang saya sampaikan diatas musti dikaji.

Partisipasi publik dan komunikasi publik juga musti bagus dibangun. MBG selalu jadi desas-desus, jangankan bagi kalangan bawah, kita yang diperguruan tinggi saja juga masih menerka-nerka.

Kebiasaan buruk elit masa lalu musti dihilangkan. Seringkali para pejabat secara sadar merendahkan pandangan sahabat dan kolega yang mengritik dan memberi saran. Adalah celaka jika kita menganggap mereka tidak tahu konteks masalah. Sebagaimana sering kita dengar dari gestur model klarifikasi para pejabat selama ini.

Sikap yang sering menafikan saran dan kritik masyarakat, para pelaku dan peneliti di daerah. Ingatlah, dari Jakarta teman-teman bisa meneropong kondisi daerah, tetapi banyak ruang gelap dibalik tebing-tebing curam. Ingat, secanggih apapun teropong banyak ngarai-ngarai yang tidak terlihat. Disitulah masalah keracunan, porsi berkurang, dan berbagai kasak kusuk tumbuh berkembang. Kuncinya adalah transparansi dan imparsial. Transparansi proses dan kesetaraan semua warga untuk bisa mengakses informasi.

Terakhir, kejujuran pejabat menjadi kunci utama. Jujur tidak hanya tidak korupsi. Jujur termasuk didalamnya menginformasikan keadaan sesungguhnya. Bahwa tahun ini baru mampu sekian juta. Baru sekian ribu SPPG yang prudent dan siap.

Jangan menggebu-gebu bicara jutaan. Masyarakat sudah muak dengan angka-angka. Bualan-bualan! Sementara keracunan terus terjadi. Mereka butuh kejujuran. Kami yang paham bagaimana impact besar MBG sangat takut jika program ini disuntik mati. Bukan karena ketidak properan program, lebih karena “in-kompetensi pengelola”.

Dalam APBN masih tetap jumbo anggarannya. Program aman. Tetapi jika polanya menjadi bundling atau pabrikasi serta tidak melibatkan proses pemberdayaan petani sebagai produsen pangan, maka MBG percuma juga untuk dilanjutkan. (*)

***

*) Oleh : Prof. Mangku Purnomo. PhD. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

__________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES